"Pergilah mas..selamatkan Adinda sekarang juga ,ia bisa berbuat nekad!" Perintah Adinda pada Herman, yang sampai saat ini masih memeluknya. Sedsngkan Herman tak peduli sama sekali dengan Adinda. "Tak mungkin aku meninggalkanmu lagi Amira, itu hanya kesalahanku dulu. Aku tak ingin mengulanginya lagi." "Tak penting dengan perasaanku mas, nyawanya lebih penting dari perasaanku." Amira berderai airmata. Sakit yang tak bisa diungkapkan. Membuat Amira hanya bisa berbuat pasrah. Herman sendiri tak tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus mengikuti keinginan Amira? atau tetap bersamanya? Mengingat Adinda yang bisa saja berbuat nekad jika tak dipenuhi keinginannya, kemudian ia melangkah dengan pelan, mencoba mendekati Adinda. "Jangan bermain main dengan senjata itu. Aku akan ikuti apa maumu okey!!" Pinta Herman, yang terus melangkah mendekati Adinda. Langkahnya yang perlahan, kini semakin mendekati Adinda. Dengan satu sergapan saja, Herman kini mengambil Alih senjata yang ada ditang
Mobil yang ditumpangi Amira ,kini sudah sampai dirumah kontrakan Amira. Dengan perlahan,Amira turun dari mobilnya. Ia pulanh dengan membawa luka dalam dihatinya. Sunggu hari ini membuatnya sangat lelah. Lelah hati, fikiran dan tubuhnya. Ia yang berangkat dengan semangatnya, kini pulang dengan wajah kusuh, dan muka yangs semrawut. Langkahnya pun sangat pelan. Ia masih terus terngiang akan kata kaata Adinda tentang hubungan mereka. Tak lama, Herman menyusulnya. Ia keluar mobilnya dengan berlari sekencangnya. Amira yang tak sadar kalau Herman mengikutinya, masih terus berjalan menuju rumahnya. Tiba tiba sebuah tangan memeluknya dari belakang. Tangan kekar yang sudah lama tak ia genggam. Kini berada tepat dipinggangnya. Sambil berbisik pelan ,dan deru nafas yang terengah engah, Herman terus membisikkan kata maaf yang tak hentinya. "Maafkan aku Amira, aku mohon maafkan aku. Kau jangan pernah pergi lagi dariku. Aku sungguh tak sanggup jauh darimu dan anak anak kita." Herman memejam
Adinda kini sudah berada didalam mobil Herman. Ia terus mengembangkan senyumnya. Bahagianya ia bukan main, saat Herman kembali menjemputnya. Ia bwepikiran bahwa Herman masih sangat mencintainya. Buktinya, ja membawanya kembali, dan bahkan sekarang, Herman sanggup berterus terang tentang hubungan mereka pada Amira. Herman sudah berniat untuk menceraikan Adinda, namun Amira menolaknya. Ia tak ingin suaminya itu mejadi lelaki bejad. Yang hanya akan menikmati tubuh wanita itu, saat ia menginginkannya, kemudian membuangnya begitu saja, saat ia sudah bosan. Rencana Amira sungguh diluar batas nalar Herman. Ia tak tahu apa yang sedang Amira sembunyikan darinya. Entah apa yang akan ia lakukan, jika sampai satu rumah dengan Adinda. "Kau akan mengajakku tinggal dirumahmu mas?" Dengan wajah berseri, Adinda bertanya pada Herman yang masih terdiam. Wajahnya tak bersahabat sedikitpun. Ia benci melakukan ini, hanya saja Amira yang menyuruhnya. Sehingga ia tak bisa menolaknya begitu saja. "Ka
Mereka sudah sampai dirumah Herman. Amira lansgung turun dari mobilnya. Ia menatap rumah yang sudah hampir 1 tahun tak ia tempati lagi. Matanya mengelilingi sekitar rumah. Taman yang biasanya terjaga rapi, dan rumput hijau yang selalu ia rawat, kini tak adalagi. Semua terlihat sangat usang. Sejak kepergian Amira dari rumah Herman, Suasana rumah itu menjadi mengerikan. Tak adalagi air mengalir ditaman, tak adalagi bunga bunga warna warni, yang biasa Amira rawat. Semua hilang bersama perginya Amira. Dan kini Amira telah kembali. Ia akan mengembalikan semua yang pernah hilang dari rumah ini. Seperti kisah cintanya yang saat ini usang, ia akan berusaha kembali merajut kisah mereka, yang sebenarnya sangat sulit dan butuh waktu lama untuk mengembalikannya seperti semula. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun langkahnya terhenti, saat ia menatap ke arah balkon, disana tengah berdiri seorang wanita yang menatap ke arahnya dengan tatapan yang menusuk. Dialah Adinda. Dengan tanp
"Sudah ku tegaskan padamu, kalau kau disini hanyalah tamu. Aku sengaja membawamu kemari, agar kau mengerti posisimu!!" Amira berkata dengan nada tegas. Sambil merapatkan giginya. Sedangkan kedua tangannya merobek salah satu baju milik Adinda. Melihat Amira yang dengan beraninya merobek baju miliknya, Adinda semakin tersulut emosinya. Ia berdiri, dan mendekati Amira. Tangannya sudah bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan manis untuk Amira. Namun dengan sekali tangkap, Amira mampu menangkis tangan Adinda yang kini sudah dekat dengan pipinya. "Jangan coba kau untuk menamparku. Kau pikir aku bisa kau kalahkan?" Amira membuang tangan Adinda dengan kasar. Hal itu membuat Adinda semakin memanas. Ia mencoba menjambak rambut Amira. Namun sebuah teguran keras membuatnya menghentikan sikapnya. "Hentikan!!" Kau berani beraninya menampar Amira dirumahnya sendiri?" Tangan kasar Herman menghentikan sergapan tangan Adinda, yang sebentar lagi akan mendarat di pipi Amira. Amira semakin m
Seketika, Andi mendapatkan ide yang menurutnya bisa menjadi jalan keluar untuk masalah yanh dihadapi tuannya itu. Masalah hati sungguh lebih pelik dari urusan kantornya. "Hmm..istri kedua anda adalah seorang player. Ia bahkan bisa dengan mudah tergoda oleh lelaki lain, yang bisa memuaskannya." Terang Andi, sambil ia membayangkan, saat dimana Adinda merayunya tanpa rasa malu. Herman berpikir keras. Ia heran, kenapa Andi bisa mengetahui sifat istrinya itu. Ia tak tahu, kalau Adinda pernah merayunya beberapa saat yang lalu. "Darimana kau tahu kalau dia seorang player?" Herman memicingkan sebelah alisnya. Andi tersedak saat mendengar tuannya bertanya demikian. Hampir saja dia keceplosan, dan memberitahukan kalau Adinda pernah merayunya. "Apa Anda lupa, dulu anda pernah memergokinya dengan lelaki lain? bahkan anak yang ia kandung bukankah bukan darah daging anda?" Andi mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia takut, kalau sampai Herman akan mengetahui tentang peristiwa tak menyen
Adinda terlihat sangat kecewa, saat usahanya untuk menyediakan makanan tak dihargai Herman. Makanan yang banyak, dengan segala ragam, ia lewati begitu saja. Tanpa ia menyentuhnya sedikitpun. Amira melirik sinis pada Adinda. Yang mengerucutkan bibirnya."Kau lihat kan? dia tak tertarik dengan hidanganmu!" Ucap Amira, sambil melengos meninggalkan Adinda yang berdiri dalam kekecewaannya. Melihat Amira yang berjalan menyusul Herman, Adinda semakim marah. "Hai...mau kemana kau?" Amira hanya menoleh, lalu melambaikan tangannya dengan menang pada Adinda. Ia kini tengah menyusul suaminya ke kamar. Dalam hatinya, ia bersorak kegirangan karena bisa mengalahkan Adinda. Dan membuat Herman tak berpaling pada masakan yang Adinda masak. "Maaas.." Amira masuk kamar, dan mendapati Herman sedang tidur meringkuk. Ia nampak tidak bersemangat."Hmm...iya, masuklah!""Kau darimana saja mas? kenapa kau tak bilang padaku kalau mau pergi?""Apa kau peduli?""Kenapa kau bilang begitu? tentu saja aku
Herman kini tengah mandi. Ia yang merasa kesal karena keinginannya tak terpenuhi. Ia gagal melakukan hubungan yang sudah lama ia mimpikan dengan Amira. "Aah..aku sangat kesal. Harusnya tadi aku sudah melakukannya dengan Amira." Ia terus mengguyur tubuhnya yang terasa panas, karena menahan hasratnya.Dengan terpaksa, ia menuntaskan keinginannya itu sendirian. "Aku memilki dua istri, namun untuk hal ini saja, aku harus menyelesaikannya sendiri. Sungguh miris hidupku." Herman menggerutu kesal. Ia meratapi nasibnya yang buruk. Selepas mandi, ia bergegas memakai pakaiannya kembali. Sebentar lagi, Andi akan datang bersama lelaki yang akan menggoda Adinda. Ia harus menyiapkan strategi agar Adinda bisa masuk dalam perangkapnya. Barusaja ia selesai berpakaian, Andi sudah berada didepan rumahnya. Ia datang bersama laki laki. Yang dari penampilannya sungguh membuat mata terpukau. Herman saja bisa takjub melihatnya. Sungguh laki laki itu sangat nyaman dipandang. Terutama paras