Dirasakan sedikit linu dibagian perutnya. Kemudian ia mengusapnya lembut. "Kau sudah melahirkan anakmu Mira, dia sangat cantik sepertimu." Ucap Wisma, sedikit menggoda Amira. Amira tertegun mendengar perkataan Wisma, yang menyebutkan kalau anak keduanya adalah seorang perempuan. Bahagianya ia bukan main. Amira tersenyum tipis. Rasa sakitnya kini hilang begitu saja, saat mendengar anak bayinya selamat. Ia coba bergerak, ingin sekali rasanya melihat segera bayinya. "Dimana dia? aku ingin memangkunya." Ucapnya pelan. Wisma mencoba menenangkan Amira. Lukanya masih sangat basah. Ia harus beristirahat dulu untuk beberapa jam ke depan, baru boleh beranjak dari ranjangnya. "Sabarlah dulu Mira, kau baru saja menjalankan operasi. Nanti juga kau akan melihatnya setiap hari." Ucap Wisma. Ia sangat faham kalau Amira memang sudah tidak sabar ingin melihat bayi kecilnya. "Kau sudah tak ingin bertemu ayah bayimu lagi kan?" Goda Wisma pada Amira, yang kini tak lagi membahas Herman. Padaha
"Aku bersumpah demi anak dan istriku, aku takkan pernah sekalipun meminta pertolonganmu." Ucap Herman dengan tegas, saat Adinda menemuinya, dan memaksanya untuk meminta bantuan padanya. Tekad Herman sudah bulat. Apapun yang akan terjadi, Herman takkan pernah kembali pada Adinda. Mendengar Herman yang menolaknya, Adinda tersenyum licik. Ia mengetuk ngetuk ponselnya dimeja. "Semua terserah padamu, aku hanya menawarkan bantuan saja." Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya pada Wajah Herman yang tegang. Adinda bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa saja melakukan hal yang keji pada Amira, asal Herman bisa kembali padanya. Tak ada laki laki lain yang membuatnya sangat terobsesi. Selain Herman, yang selalu membuatnya ingin memilikinya. "Sadarlah Adinda, kau sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, bukan cinta jika begini caranya!!" Herman mulai berteriak. Kesabarannya sudah mulai habis. Herman pun berdiri dari duduknya. Dan akan kembali kedalam sel nya. Ya.
Sampai Adinda benar benar tak terlihat lagi, ia kemudian memukul jeruji besi itu dengan keras. Ia merasa menyesal karena tak bisa berada disamping Amira. Setiap kata kata Adinda, terngiang jelas ditelinganya. Saat diaenyebutkan kalau Amira sudah melahirkan anak keduanya. Dan seorang bayi perempuan yang lucu kini sudah hadir didunia. Rasa ingin melihat darah dagingnya itu, sangat menyiksanya. Tubuhnya beringsut kebawah. Ia menangisi nasib buruk yang terjadi padanya. Hidupnya kini serasa hancur. Berpisah dari istri dan anaknya, dan kemudian ia harus hidup didalam jeruji besi ini. Dan entah sampai kapan ia akan berada didalam kegelapan itu. Ia tundukkan kepalanya diatas kedua lututnya. Dipeluknya kakinya yang terlipat itu dengan kedua tangannya. Sungguh keadaannya kini sangat memprihatinkan sekali. "Hemm..." Suara deheman seorang pria, membuatnya terbangun. Dan mencoba menegakkan tubuhnya. Dilihatnya dari bawah, ujung sepatu sampai tiba dia melihat muka lelaki yang kini berada di
Mendengar penuturan dari Wisma. Herman hanya terdiam. Ia sudah berprasangka buruk terhadap mantan kekasih istrinya itu. Yang sebenarnya, tak selamanya musuh menjadi musuh. Kemudian, dengan perlahan, ia menerima sodoran tangan Wisma, dan menerima tawarannya. "Aku sebenarnya tak menginginkan perceraian itu, tetapi Amira sudah terlanjur membenciku, dan aku tak bisa melakukan apapun. Aku sungguh sangat menyesali perbuatanku menyia nyiakan anak dan istriku, hanya demi seorang perempuan, yang ternyata ia tak lain seorang srigala." Herman seolah meluapkan segala yang mengganjal dihatinya. Entah mengapa, ia merasa ingin memeberitahukan apa yang dia rasakan saat ini. Ia ceritakan semua keluh kesahnya selama Amira meninggalkannya. Semua kehidupannya berubah. Hampir tak ada senyuman lagi didalam hari harinya. Ia sangat terluka dengan kepergian Amira dari hidupnya. Mendengar penuturan Herman, Wisma merasa sangat iba. Akhirnya ia tahu, isi hati yang sebenarnya dari musuhnya itu. Sebagai s
"Cobalah kau pikirkan lagi Amira, anakmu membutuhkan ayahnya. Jangan kau kedepankan egomu." Wisma mencoba menasehati Amira dengan pelan. Mendengar apa yang dikatakan Wisma, Amira hanya pasrah. Dalam hati kecilnya sebenarnya Amira tak menginginkan perceraian itu hanya saja hatinya tak bisa lagi untuk diajak berkompromi. Mungkin saat ini, ia masih merasakan kesakitan yang sudah Herman berikan. Namun masih ada rasa cinta walau hanya sebiji jagung. "Entahlah Wisma, aku perlu waktu untuk memikirkan itu." Amira mencoba mengakhiri perbincangannya mengenai Herman. Rasa malas mulai menghampirinya, jika ia harus berurusan kembali dengan Herman. Besok adalah sidang perdana perceraian mereka, Wisma menyarankan agar Amira memikirkan kembali keputusannya. Setiap kata yang keluar dari mulut Wisma, terngiang dipikirannya. Sempat ada rasa ingin membatalkan ini semua. Namun ia belum yakin betul. Ia butuh waktu lebih lama untuk memikirkan hal ini. Amira yang telah siap untuk kembali ke ruma
Bobot tubuh Amira seakan tak terasa berat bagi Wisma. Ia begitu menikmati setiap langkahnya memeluk tubuh Amira. Sambil sesekali ia menatap ke arah wajah Amura. Yang menurutnya semakin lama, ia semakin cantik. "Kau sungguh membuatku tak bisa berkonsentrasi Amira." Wisma berbicara sendiri didalam hatinya. Langkahnya semakin ia percepat. Ia tak mau terlalu lama didalam bayangan Amira. Begitupun Amira yang merasa sangat gugup dengan sikap manis Wisma. Ia merasa sangat salah tingkah. "Aku berat yah ?" Tanyanya polos. Wisma hanya menggeleng pelan. "Aku suka berat badanmu." celetuk Wisma. Ia memang selalu berhasil membuat Amira salah tingkah. Wisma menidurkan tubuh Amira. Dan memperbaiki posisinya. Dengan sangat telaten, Wisma memperlakukan Amira begitu istimewa. "Andai suamiku seperti ini." Gumam Amira dalam hatinya. Ia sungguh mendambakan Herman bisa bersikap seperti itu padanya. Namun, itu hanya mimpi. Yang pada kenyataannya, Ia tak seromantis Wisma. Setelah Amira tidur dengan posisi
"Aku bisa saja merebut Amira darimu, jika aku mau. Tapi aku bukanlah dirimu yang mngedepankan ego sendiri. Bagiku, melihat Amira berbahagia, itu lebih dari cukup. Karena memang itulah tujuanku." Jawaban Wisma membuat Herman diam seribu bahasa. Ia benar benar mngunci rapat mulut Herman dalam satu jawaban. Memang sifat Wisma sangat jauh berbeda dari Herman. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya untuk memiliki Amira, sedangkan dia bisa saja untuk melakukan itu jika ia mau. Herman langsung mengalihkan pembicaraannya. Kini ia tak lagi membahas Amira. "Jadi untuk selanjutnya, apa yang akan kalian lakukan untuk membebaskanku?" Herman bertanya kembali pada Wisma dan Andi. "Anda hanya tinggal duduk manis saja, nanti akan ada lawyer pilihanku yang mengurus semuanya." ucap Wisma tenang. Pembawaan Wisma yang tenang dan berkharisma, menjadikan Herman merasa canggung berada didekat Wisma.G "Ba- baiklah..aku serahkan semuanya padamu!!" ucap Herman. Kemudian seorang polisi menghampiri
Ditengah perjalanan, ia membeli sebuah parsel, dan sebuh bucket bunga mawar. Ia akan memberikannya oada Amira. Tak lupa, ia membelikan mainan untuk Vino. Ia gunakan kesempatan ini, karena menurutnya, setelah nanti Amira kembali dengan Herman, ia tak mungkin lagi bisa seenaknya beetandang kerumah Amira. Ia memilih milih bunga yang akan dijadikan bucket. Dipilihnya beberapa mawar berwarna putih dan pink. Diciumnya bunga itu. Semerbak wanginya membuatnya tenang. "Aku yakin, kau akan suka ini Amira." Gumamnya pelan. Ia lengkungkan senyum dibibirnya. Kemudian ia menyerahkan bunga pilihannya pada karyawan di florist itu. Setelah semua selesai, ia melanjutkan kembali perjalanannya. Sambil terus tersenyum, sesekali ia mencium wangi bunga itu. Ia akan membawa kabar baik utnuk Amira, dan membawa beberapa hadiah untuknya. Tak lama, ia sampai. Dikihatnya Amira tengah duduk diatas ayunan ditama depan rumahnya. "Sungguh indah istri orang." Ia bergumam sendiri. Memandang Amira yang nampak