Sampai Adinda benar benar tak terlihat lagi, ia kemudian memukul jeruji besi itu dengan keras. Ia merasa menyesal karena tak bisa berada disamping Amira. Setiap kata kata Adinda, terngiang jelas ditelinganya. Saat diaenyebutkan kalau Amira sudah melahirkan anak keduanya. Dan seorang bayi perempuan yang lucu kini sudah hadir didunia. Rasa ingin melihat darah dagingnya itu, sangat menyiksanya. Tubuhnya beringsut kebawah. Ia menangisi nasib buruk yang terjadi padanya. Hidupnya kini serasa hancur. Berpisah dari istri dan anaknya, dan kemudian ia harus hidup didalam jeruji besi ini. Dan entah sampai kapan ia akan berada didalam kegelapan itu. Ia tundukkan kepalanya diatas kedua lututnya. Dipeluknya kakinya yang terlipat itu dengan kedua tangannya. Sungguh keadaannya kini sangat memprihatinkan sekali. "Hemm..." Suara deheman seorang pria, membuatnya terbangun. Dan mencoba menegakkan tubuhnya. Dilihatnya dari bawah, ujung sepatu sampai tiba dia melihat muka lelaki yang kini berada di
Mendengar penuturan dari Wisma. Herman hanya terdiam. Ia sudah berprasangka buruk terhadap mantan kekasih istrinya itu. Yang sebenarnya, tak selamanya musuh menjadi musuh. Kemudian, dengan perlahan, ia menerima sodoran tangan Wisma, dan menerima tawarannya. "Aku sebenarnya tak menginginkan perceraian itu, tetapi Amira sudah terlanjur membenciku, dan aku tak bisa melakukan apapun. Aku sungguh sangat menyesali perbuatanku menyia nyiakan anak dan istriku, hanya demi seorang perempuan, yang ternyata ia tak lain seorang srigala." Herman seolah meluapkan segala yang mengganjal dihatinya. Entah mengapa, ia merasa ingin memeberitahukan apa yang dia rasakan saat ini. Ia ceritakan semua keluh kesahnya selama Amira meninggalkannya. Semua kehidupannya berubah. Hampir tak ada senyuman lagi didalam hari harinya. Ia sangat terluka dengan kepergian Amira dari hidupnya. Mendengar penuturan Herman, Wisma merasa sangat iba. Akhirnya ia tahu, isi hati yang sebenarnya dari musuhnya itu. Sebagai s
"Cobalah kau pikirkan lagi Amira, anakmu membutuhkan ayahnya. Jangan kau kedepankan egomu." Wisma mencoba menasehati Amira dengan pelan. Mendengar apa yang dikatakan Wisma, Amira hanya pasrah. Dalam hati kecilnya sebenarnya Amira tak menginginkan perceraian itu hanya saja hatinya tak bisa lagi untuk diajak berkompromi. Mungkin saat ini, ia masih merasakan kesakitan yang sudah Herman berikan. Namun masih ada rasa cinta walau hanya sebiji jagung. "Entahlah Wisma, aku perlu waktu untuk memikirkan itu." Amira mencoba mengakhiri perbincangannya mengenai Herman. Rasa malas mulai menghampirinya, jika ia harus berurusan kembali dengan Herman. Besok adalah sidang perdana perceraian mereka, Wisma menyarankan agar Amira memikirkan kembali keputusannya. Setiap kata yang keluar dari mulut Wisma, terngiang dipikirannya. Sempat ada rasa ingin membatalkan ini semua. Namun ia belum yakin betul. Ia butuh waktu lebih lama untuk memikirkan hal ini. Amira yang telah siap untuk kembali ke ruma
Bobot tubuh Amira seakan tak terasa berat bagi Wisma. Ia begitu menikmati setiap langkahnya memeluk tubuh Amira. Sambil sesekali ia menatap ke arah wajah Amura. Yang menurutnya semakin lama, ia semakin cantik. "Kau sungguh membuatku tak bisa berkonsentrasi Amira." Wisma berbicara sendiri didalam hatinya. Langkahnya semakin ia percepat. Ia tak mau terlalu lama didalam bayangan Amira. Begitupun Amira yang merasa sangat gugup dengan sikap manis Wisma. Ia merasa sangat salah tingkah. "Aku berat yah ?" Tanyanya polos. Wisma hanya menggeleng pelan. "Aku suka berat badanmu." celetuk Wisma. Ia memang selalu berhasil membuat Amira salah tingkah. Wisma menidurkan tubuh Amira. Dan memperbaiki posisinya. Dengan sangat telaten, Wisma memperlakukan Amira begitu istimewa. "Andai suamiku seperti ini." Gumam Amira dalam hatinya. Ia sungguh mendambakan Herman bisa bersikap seperti itu padanya. Namun, itu hanya mimpi. Yang pada kenyataannya, Ia tak seromantis Wisma. Setelah Amira tidur dengan posisi
"Aku bisa saja merebut Amira darimu, jika aku mau. Tapi aku bukanlah dirimu yang mngedepankan ego sendiri. Bagiku, melihat Amira berbahagia, itu lebih dari cukup. Karena memang itulah tujuanku." Jawaban Wisma membuat Herman diam seribu bahasa. Ia benar benar mngunci rapat mulut Herman dalam satu jawaban. Memang sifat Wisma sangat jauh berbeda dari Herman. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya untuk memiliki Amira, sedangkan dia bisa saja untuk melakukan itu jika ia mau. Herman langsung mengalihkan pembicaraannya. Kini ia tak lagi membahas Amira. "Jadi untuk selanjutnya, apa yang akan kalian lakukan untuk membebaskanku?" Herman bertanya kembali pada Wisma dan Andi. "Anda hanya tinggal duduk manis saja, nanti akan ada lawyer pilihanku yang mengurus semuanya." ucap Wisma tenang. Pembawaan Wisma yang tenang dan berkharisma, menjadikan Herman merasa canggung berada didekat Wisma.G "Ba- baiklah..aku serahkan semuanya padamu!!" ucap Herman. Kemudian seorang polisi menghampiri
Ditengah perjalanan, ia membeli sebuah parsel, dan sebuh bucket bunga mawar. Ia akan memberikannya oada Amira. Tak lupa, ia membelikan mainan untuk Vino. Ia gunakan kesempatan ini, karena menurutnya, setelah nanti Amira kembali dengan Herman, ia tak mungkin lagi bisa seenaknya beetandang kerumah Amira. Ia memilih milih bunga yang akan dijadikan bucket. Dipilihnya beberapa mawar berwarna putih dan pink. Diciumnya bunga itu. Semerbak wanginya membuatnya tenang. "Aku yakin, kau akan suka ini Amira." Gumamnya pelan. Ia lengkungkan senyum dibibirnya. Kemudian ia menyerahkan bunga pilihannya pada karyawan di florist itu. Setelah semua selesai, ia melanjutkan kembali perjalanannya. Sambil terus tersenyum, sesekali ia mencium wangi bunga itu. Ia akan membawa kabar baik utnuk Amira, dan membawa beberapa hadiah untuknya. Tak lama, ia sampai. Dikihatnya Amira tengah duduk diatas ayunan ditama depan rumahnya. "Sungguh indah istri orang." Ia bergumam sendiri. Memandang Amira yang nampak
"Sebenarnya aku tak berniat kemari, ini semua rencana Wisma." Jawab Amira. Masih dengan tangan yang saling bermain diatas meja. Herman menghela nafas kecewa. Sungguh bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. "Apa kau bisa meninggalkan kami berdua saja Wisma?" Herman mencoba mengingtkan Wisma, kalau dirinya sedang ingin berdua dengan istri tercintanya itu. Wisma hanya melirik tajam. Rasa cemburu menjalar dihatinya. Tapi bukankah ini merupakan idennya? "Baiklah..aku akan keluar, kau panggil saja aku jika ada apa apa." Ucap Wisma sambil berlalu keluar dari ruangan besuk. Dengan terpaksa, ia keluar darisana. Ia faham betul, kalau Herman kini sangat merindukan Amira. Andai ini bukan dikantor polisi, mungkin entah apa yang akan Herman lakukan untuk meluapkan rasa rindunya itu. Tetiba tangan Herman memegang tangan lembut Amira. Ia menggengam erat tangan halus itu. Tangan yang dulu selalu menghangatkannya. Yang lama tak ia sentuh, kini bisa ia sentuh kembali. Ia memegang tangan Amira sa
Sehari setelah membesuk Herman bersama Amira, kini Wisma datang kembali bersama dengan seorang pengacara pribadinya. Pengacara itulah yang nanti akan membantu proses pengadilan Herman. "Ini orang yang akan memperjuangkanmu besok. Herman menyodorkan tangannya pada pengacara itu untuk diajak Bersalaman."Senang bekerja sama dengan Anda."Ucap Herman sembari memegang tangan pengacara itu. "Semoga kita bisa menjadi partner tidak hanya untuk kasus ini." Balas pengacara itu kembali. Mereka saling berpegang tangan, dan mengeratkan pegangannya. Lama mereka berbincang, sepertinya ada chemistry yang kuat diantara mereka. Itu menjadi sebuah kabar baik, karena mungkin ke depannya Herman akan terus menggunakan jasanya dalam segala kasusnya. Wisma dan engacaranya berpamitan. Mereka akan bertemu lagi besok. Di acara persidangan. Sedangkan Amira, yang kini tengah sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawanya besok. Ia akan membesuk Herman kembali, setelah pulang dari persidangan percera