Beranda / Romansa / Karma(penyesalan) / Gagal Bertemu Amira

Share

Gagal Bertemu Amira

Penulis: Nadaaulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Wisma terus memacu kendaraannya dengan kecepatan penuh. Ia takut kalau Amira akan melahirkan diperjalanan. Melihat kondisinya, Amira memang akan melahirkan sebelum waktu yang ditentukan. Menurut perasaannya, Ia merasakan kontraksi karena stress, dan terlalu kecapaian. Mengingat kali ini saja, Amira masih memaksakan dirinya untuk menaiki motor, yang seharusnya itu tak ia lakukan.

"Kau memang keras kepala Amira!!" Gerutu Wisma sambil terus melihat kearah Amira. Yang kini semakin memperlihatkan ekspresi kesakitannya. Amira tak membalas lagi protesan Wisma. Jangankan untuk membalasnya, membuka mata saja ,mungkin ia sudah tak sanggup.

"Bersabarlah sebentar Amira, semua akan baik baik saja." Pintah Wisma pada Amira. Ia mencoba menenangkan Amira. Berharap Amira sedikit rileks. Sehingga tak mempengaruhi keadaan jiwanya. Lama sudah mereka berada diperjalanan. Akhirnya mereka sampai di klinik milik Wisma. Wisma dengan siaganya, langsung mengangkat tubuh Amira kedalam kliniknya.

"Pera
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Karma(penyesalan)   Kembalinya Adinda

    Adinda, ya..wanita yang masuk ke ruangan Herman kali ini adalah Adinda. Ia sudah sembuh dari sakitnya. Kini ia berjalan perlahan, mendekati Herman yang terduduk lemah diatas ranjang pesakitannya. Matanya nanar menatap Herman. Tersirat rasa bersalah didalam mata Adinda. Adinda yang statusnya kini masih sebagai istri sah Herman. Kini datang menemuinya. Entah untuk apalagi, yang jelas perasaan Adinda masih sangat dalam untuk Herman. Walaupun Herman telah memperlakukannya dengan buruk. Edwin memang kekasihnya, ia memang pemuas kebutuhan sex nya. Karena Herman yang sudah kurang bergairah, semenjak kepergian Amira dari hidupnya, Amira mencari lelaki pemuas kebutuhan birahinya. Tapi hatinya hanya untuk Herman. Sungguh hanya untuknya. Tak ada yang lain sampai saat ini. Herman yang sudah sangat muak dengan Adinda. Mencoba membuang mukanya. Ia tak mau lagi menatap sosok didepannya. Terbayangkan olehnya, bagaimana ketika ia melakukan hubungan terlarang itu, dan dengan mata kepalanya sen

  • Karma(penyesalan)   Busuknya Adinda

    "Amira sudah tahu tentang hubungan kita mas, jadi tak adalagi yang perlu ditutup tutupi. Kita bisa bebas menjalankan pernikahan kita." Ajak Adinda setengah memaksa. "Aku akan mencabut laporanku tentang penganiayaan itu, asal kau tak menceraikanku." Adinda mencoba memberikan tawaran pada Herman. Ia berharap, Herman akan menerima tawaran itu. "Aku tak perlu bantuanmu. Aku bisa bebas dengan usahaku sendiri." Jawab Herman dengan sombongnya. "Adinda tersenyum sinis. Ia meremehkan kekuatan Herman kali ini. Ia yakin, kalau akhirnya Herman akan menerimanya kembali. Karena ia sudah menyusun rencana, agar bisa membuat Herman kembali padanya. Akal busuk Adinda memang tak pernah ada habisnya. Ia selalu mempunyai cara untuk merebut Herman dari Amira. Adinda yang mengetahui kalau Amira akan menemui Herman, ia sengaja langsung datang ke tempat Herman terlebih dahulu, agar nanti jika Amira sampai, ia akan melihat Herman tengah bersama Adinda. Dan niat untuk bercerai dengan Herman menja

  • Karma(penyesalan)   Usaha Adinda Merebut Herman Kembali

    "Amira, apa kabarmu..aku dengar kau sudah melahirkan yah? selamat untuk kelahiran anak keduamu ya...Oiya Amira, kamu kan sebentar lagi mau bercerai dari Herman kan? berhubung kau sudah tahu siapa selingkuhan suamimu, kalau begitu, aku minta izin untuk memilikinya seutuhnya ya? Begitulah isi pesan dari Adinda untuk Amira. Memang dia wanita yang tidak punya rasa malu. Dan tepatnya lagi, tak punya hati. Ketika kemarin ia tertidur lemah, saat ajal hampir menjemputnya, Ia memohon maaf pada Amira, merasa khilaf telah melakukan kesalahan, merebut suami orang. Namun kini, saat ia sehat kembali. Ia ambil jurus seribu langkah untuk memanfaatkan keadaan. Dimana saat hubungan Amira dan Herman sedang tidak baik, justru ia dengan sengaja menjadi hama didalam hubungan mereka. Adinda tersenyum puas ketika pesannya sudah terkirim. Walaupun belum dibaca oleh sang pemilik, tetapi setidaknya, nanti Amira akan membacanya. Terlepas akan dibalas atau tidak, itu terserah. Yang terpenting baginya ada

  • Karma(penyesalan)   Amira di Rumah Sakit

    Kalau saja ia tak malu, mungkin sekarang ia sudah berjingkrak karena kebahagiaannya. "Boleh aku melihat baby girl yang imut itu gak? tanya Atika pada Wisma. Wisma menganggukan kepalanya. Pertanda menyetuji keinginan Atika. Dengan segera, ia berlari menuju ruangan bayi. Dilihatnya anak majikannya itu, yang nampak menggeliat lucu. Wajahnya mirip sekali dengan ayahnya. Mungkin saja, agar ayahnya tahu, kalau dia adalah anak Herman. Dipandangnya dengan lekat wajah imut bayi itu. Kemudian ia mengambil fotonya, dan menguploadnya di snap wa nya. Parman yang saat ini sedang memainkan ponselnya, tak sengaja melihat snap dari Atika. Dan langsung membelalakkan matanya. Ia yakin kalau foto bayi itu adalah anak dari Amira. Seketika, ia langsung berdiri, dan menuju ruangan Herman. Ia akan memberitahukan, kalau anaknya sudah lahir. Siapa tahu dengan begitu, Herman akan cepat pulih, dan penyelidikan kasus penganiayaan kemarin akan segera diproses. Ia sudah lelah harus menunggui Herman, dan meng

  • Karma(penyesalan)   Fitnah Keji Adinda

    "Hai kau, apa apaan kau Adinda?!!" Herman berteriak dengan emosi. Melihat Adinda yang dengan garangnya menyobek kerah baju Herman. Kemudian ia lanjutkan kembali menyobek bajunya sendiri, dibagian dada dan tangannya. Ia kemudian berteriak minta tolong sekuat tenaga. Dan berusaha memanggil dokter dan suster. "Tolooong, tolooong aku..!!" Ia terus berteriak. Meronta ronta sendiri. Herman tak tahu apa yang sedang Adinda lakukan. Dengan terpaksa, ia memaksakan dirinya untuk berdiri, dengan menumpu pada satu kaki, ia berdiri, dan mencoba menutup mulut Adinda. Namun sayang, ia kalah cepat dengan dokter dan polisi yang terlanjur sudah masuk kedalam ruangan. Sehingga mereka melihat seolah Herman sedang membekap mulut Adinda. Dan dengan keadaan baju Adinda yang sudah koyak bagian depan dan tangannya. Serta kerah baju Herman yang ikut sobek pula. "Haii...hentikan!! apa yang kau lakukan Herman!!" Bentak salah satu polisi yang melihat kejadian itu. Serentak ia langsung melepaskan bekap

  • Karma(penyesalan)   Kelahiran Anak Kedua Herman

    Dirasakan sedikit linu dibagian perutnya. Kemudian ia mengusapnya lembut. "Kau sudah melahirkan anakmu Mira, dia sangat cantik sepertimu." Ucap Wisma, sedikit menggoda Amira. Amira tertegun mendengar perkataan Wisma, yang menyebutkan kalau anak keduanya adalah seorang perempuan. Bahagianya ia bukan main. Amira tersenyum tipis. Rasa sakitnya kini hilang begitu saja, saat mendengar anak bayinya selamat. Ia coba bergerak, ingin sekali rasanya melihat segera bayinya. "Dimana dia? aku ingin memangkunya." Ucapnya pelan. Wisma mencoba menenangkan Amira. Lukanya masih sangat basah. Ia harus beristirahat dulu untuk beberapa jam ke depan, baru boleh beranjak dari ranjangnya. "Sabarlah dulu Mira, kau baru saja menjalankan operasi. Nanti juga kau akan melihatnya setiap hari." Ucap Wisma. Ia sangat faham kalau Amira memang sudah tidak sabar ingin melihat bayi kecilnya. "Kau sudah tak ingin bertemu ayah bayimu lagi kan?" Goda Wisma pada Amira, yang kini tak lagi membahas Herman. Padaha

  • Karma(penyesalan)   Rayuan Adinda

    "Aku bersumpah demi anak dan istriku, aku takkan pernah sekalipun meminta pertolonganmu." Ucap Herman dengan tegas, saat Adinda menemuinya, dan memaksanya untuk meminta bantuan padanya. Tekad Herman sudah bulat. Apapun yang akan terjadi, Herman takkan pernah kembali pada Adinda. Mendengar Herman yang menolaknya, Adinda tersenyum licik. Ia mengetuk ngetuk ponselnya dimeja. "Semua terserah padamu, aku hanya menawarkan bantuan saja." Ucapnya sambil mendekatkan wajahnya pada Wajah Herman yang tegang. Adinda bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Ia bisa saja melakukan hal yang keji pada Amira, asal Herman bisa kembali padanya. Tak ada laki laki lain yang membuatnya sangat terobsesi. Selain Herman, yang selalu membuatnya ingin memilikinya. "Sadarlah Adinda, kau sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, bukan cinta jika begini caranya!!" Herman mulai berteriak. Kesabarannya sudah mulai habis. Herman pun berdiri dari duduknya. Dan akan kembali kedalam sel nya. Ya.

  • Karma(penyesalan)   Penyesalan Herman yang Luar Biasa

    Sampai Adinda benar benar tak terlihat lagi, ia kemudian memukul jeruji besi itu dengan keras. Ia merasa menyesal karena tak bisa berada disamping Amira. Setiap kata kata Adinda, terngiang jelas ditelinganya. Saat diaenyebutkan kalau Amira sudah melahirkan anak keduanya. Dan seorang bayi perempuan yang lucu kini sudah hadir didunia. Rasa ingin melihat darah dagingnya itu, sangat menyiksanya. Tubuhnya beringsut kebawah. Ia menangisi nasib buruk yang terjadi padanya. Hidupnya kini serasa hancur. Berpisah dari istri dan anaknya, dan kemudian ia harus hidup didalam jeruji besi ini. Dan entah sampai kapan ia akan berada didalam kegelapan itu. Ia tundukkan kepalanya diatas kedua lututnya. Dipeluknya kakinya yang terlipat itu dengan kedua tangannya. Sungguh keadaannya kini sangat memprihatinkan sekali. "Hemm..." Suara deheman seorang pria, membuatnya terbangun. Dan mencoba menegakkan tubuhnya. Dilihatnya dari bawah, ujung sepatu sampai tiba dia melihat muka lelaki yang kini berada di

Bab terbaru

  • Karma(penyesalan)   Akhir Kisah Amira dan Herman

    Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.

  • Karma(penyesalan)   Nyatakah Ini?

    Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri

  • Karma(penyesalan)   Berkabung

    "Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya

  • Karma(penyesalan)   Selamat Jalan Adinda

    "Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay

  • Karma(penyesalan)   Menyesal

    Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka

  • Karma(penyesalan)   Adinda Koma

    Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.

  • Karma(penyesalan)   Menyambut Adinda

    Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"

  • Karma(penyesalan)   Welcome Adinda

    Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal

  • Karma(penyesalan)   Ikhlas Walaupun Berat

    "Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang

DMCA.com Protection Status