Atika yang berjalan cepat, tak mengetahui kalau Herman tengah mengikutinya. Sedangkan Herman, ia terus mengikuti arah Atika ,yang berjalan semakin cepat. "Atika ,kaukah itu....Atika..tunggu!!" Herman terus berteriak. Mengejar Atika yang semakin menjauh.Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mengintip dibalik dinding. Melihat Atika yang sedang berbicara dengan seorang wanita. Berpenampilan sederhana. Namun berwibawa. Wajahnya kini nampak semakin cantik. Dengan omperutnya yang membuncit. Ia masih tampak elegan. Senyum menghiasai wajahnya, membuat hati Herman seperti layaknya taman yang tandus. Disirami ari hujan. sejuk dan membuat subur kembali. Dahaganya, kini terasa disiram kesejukan embun. Hilang semua rasa rindu yang menggelayut berat di pundaknya. Ia kini tengah melihat sosok Amira. Istrinya yang hampir membuatnya gila. Istrinya yang pergi darinya hampir satu tahun itu. Ingin rasanya ia memeluknya sekarang juga. Namun akal sehatnya masih berfungsi. Ia hanya mengawasi Amira dari
Aku mau bertemu dengan Amira. Aku ingin meminta maaf padanya." Terbaca ketulusan Adinda dikertas itu. Parman memicingkan matanya. Ia akhirnya paham, apa yang dikatakan Adinda. "Baiklah, akan kupertemukan kau dengannya." Ucap Parman sambil mengeluarkan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Amira. "Ada apa Parman?" Suara Amira dibalik teleponnya. Parman seketika merasa ragu, tetapi ini keinginan Adinda. Ia takut, kalau ini akan menjadi permintaan terakhirnya. Melihat kondisi Adinda yang sangat kritis. "Sebelumnya, aku minta maaf nyonya, tapi ini benar adanya. Ada yang ingin bertemu dengan anda, sekarang juga." Jawabnya pelan. Amira merasa heran. Ia mengira ,itu adalah Herman. Dengan cepat, ia menolak permintaan dari Adinda. Ia tak mau lagi berurusan dengan Adinda. "Jangan pernah kau berniat untuk mempertemukan kita lagi!! Karena itu hanyalah percuma!!! Bentak Amira ,tanpa mengetahui terlebih dulu, siapa yang ingin bertemu dengannya. "Maaf nyonya, saya tak bermaksud apapun. Aku hany
"Nyonya, memangnya siapa sih yang sakit?" Tanya Atika penasaran. Pasalanya, Amira tak memintanya dari awal, kalau ia akan menemui temannya yang sakit. Semuanya terkesan mendadak. "Hmm...sebenarnya, yang akan kita jenguk saat ini adalah seorang perempuan, yang dulu berselingkuh dengan Herman. Katanya, dia ingin bertemu denganku. Dia sakit, dan sedang dirawat disini." Amira memberikan penjelasan panjang lebar. Namun wajahnya terlihat sangat santai. Walau dalam hatinya, tetap saja, ada perasaan gugup yang menghinggapinya. Yang ia takutkan adalah, usahanya untuk melupakan semua kesakitan dimasa silam, akan terusik kembali. Ia takut akan teringat semua perasaan yang membuatnya terjatuh setahun yang lalu. "Hahhh...anda serius nyonya? anda mau bertemu dengan wanita yang sudah merusak rumah tangga anda? sudahlah nyonya...lebih baik kita pulang saja. " Balas Atika. Ia khawatir akan kesehatan Amira. Berhubung, saat ini Amira sedang hamil tua. Amira hanya tersenyum menimpali
Parman mengangguk pelan. Ia mengiyakan apa yang Amira lihat. Parman mulai mendekati Amira. Dengan rasa yang sangat berat, ia katakan. Kalau wanita yang selama ini menjadi selingkuhan Herman, tak lain adalah Adinda. Atau Ania, yang Amira kenal. Adinda menatap sayu. Matanya memerah, cairan bening itu, keluar dari ujung matanya. Rasa bersalah yang teramat dalam, kini tengah ia rasakan. Tangannya melambai, memanggil Amira untuk mendekat. Dada Amira terasa sangat sesak. Seperti ada tali yang terikat kuat di kerongkongannya. Ia merasakan berat, sangat berat didadanya. Bahkan untuk bernafas saja, ia merasa sangat kesulitan. Dia mencoba mengatur nafasnya. Langkahnya tak bisa maju. Ia seperti sebuah patung. Yang terdiam tak bergerak. Inikah kenyataannya? inikah yang harus ia hadapi saat ini? Amira bergetar. Ia tak bisa memaksakan dirinya, untuk mendekati Adinda saat ini. Sedangkan Adinda, yang saat ini, tubuh dan wajahnya dipenuhi dengan kabel dan selang infus, terus melambaikan ta
Airmata Adinda yang terus mengalir, membuat matanya menjadi bengkak. Namun belum bisa meluluhkan hati Herman. Terlalu banyak rasa sakit yang telah Adinda torehkan dihatinya. Melihat keadaan Adinda yang hampir sekarat pun, tak membuat Amira memaafkannya dengan mudah. Gara-gara Adinda dan Herman, nasib anaknya kini menjadi seorang broken home. Yang semua orang tahu, bagaimana biasanya anak yang mengalami broken home. Akibat perceraian kedua orangtuanya, Vino dan calon anak keduanya yang akan menjadi korban. "Kau bisa meminta maaf sekarang, saat ajal hampir menjemputmu. Apa kau tak punya niat untuk itu sebelumnya?" Tanya Amira dengan ketus. Entah mengapa, hatinya yang lembut, dan mudah memaafkan. Kini berubah menjadi sekeras batu. Baginya, jika kebaikan seseorang selalu dipermainkan. Maka tak ada lagi alasan untuk menjadi seorang yang baik. Adinda terus menangis. Mulutnya seakan ingin berbicara, berteriak meminta maaf padanya. Hanya saja, lidahnya yang kaku. Membuatnya tak
Anak yang sangat pandai. Ialah yang selama ini menjadi alasan untuk Amira tetap bertahan dalam keterpurukannya. Mata bulat Vino, yang mempeihatkan betapa miripnya Vino dengan ayahnya. Membuat rindu Amira semakin kuat akan Herman. Namun, ia semakin kuat ingin menghapus Herman dari semua bayangan di pikirannya itu. Kekuatan itu selalu muncul, kala ia mengingat segala penghianatan yang Herman lakukan. "Mengapa aku tiba tiba merindukannya? Apa sebenarnya aku memang belum bisa melupakannya?" Amira bertanya pada dirinya sendiri. Memang sejauh ini, ia berhasil menghapuskan Herman dari ingatannya. Tetapi itu hanya sementara. Buktinya, saat ini ia sangat merindukan sosok yang pernah hadir didalam hidupnya dulu. Senyuman Herman tetiba datang membayangi pikirannya. Seperti jaelangkung, ia datang tanpa diundang. Dan pergi begitu saja, tanpa ia minta. Setelah merasa puas bermain main dengan Vino, Amira kembali menuju kamarnya. Ia ingin sejenak memanjakan tubuhnya. Direbahkann
Tubuh yang lelah, mata yang tak bisa lagi terbuka lebar. Memaksanya untuk tidur. Sehingga akhirnya, ia tertidur kembali didalam lelahnya.*** Herman tersenyum sendiri. Ia sangat berbahagia hari ini. Usahanya untuk bertemu kembali dengan Amira, kini sebentar lagi akan terwujud. Ia telah mengantongi nomor ponsel dan alamat lengkap Amira. Jika mau, sekarang juga ia bisa menemuinya. Tapi tak semudah itu. Ia harus sedikit bersabar, agar Amira tak pergi lagi dari sisinya. Sudah ia siapkan segala kejutan yang akan ia persembahkan saat pertemuannya dengan Amira nanti. Tinggal menghitung hari saja, ia akan kembali menatap wajah istrinya itu. Sementara, Herman sama sekali tak peduli dengan Keadaan Adinda. Setelah kejadian kemarin, ia pergi begitu saja. Mencuci tangan atas segala perbuatannya. Sedangkan Parman yang masih setia menunggui Adinda, kini ditemani kekasih dari Adinda. Gawatnya, lelaki yang menjadi kekasih dari Adinda, sudah melaporkan Herman ke pihak polisi. Dan saat ini, H
Waktu yang ditunggu tunggu akhirnya datang juga. Acara syukuran yang sudah direncanakan dengan sangat matang, kini akan segera dilaksanakan. Herman yang sudah menunggu hari spesial ini, sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan Amira. Dia siapkan penampilan yang paling terbaik, yang belum pernah ia gunakan sebelumnya. Cincin dan segala kado yang sudah ia siapkan untuk Amira, sudah siap diberikan pada Amira. Herman melihat dirinya dikaca, dia harus terlihat sempurna dimata Amira. Dengan menampilkan senyumnya yang paling manis. Ia kini sudah siap melangkah menuju kantornya. Andi yang sudah menunggunya daritadi, ternganga melihat penampilan Herman yang tak seperti biasanya. Ia terlihat jauh lebih tampan, dan rapi. Setelah kepergian Amira, Herman tidak mempedulikan lagi penampilannya. Bahkan ia terkesan tidak mementingkan lagi penampilan, dan keadaan tubuhnya. Yang dulu ia terlihat sangat atletis, tubuh yang sixpack, semua mata yang memandang, pasti akan terpesona melihatny