Amira sedikit merasa ada yang aneh. Pasalnya ,tadi dia menanyakan keberadaan Herman, Andi pun tak mengetahui keberadaan suaminya itu. Suara dibalik telepon tadi, sangat ia kenal. Ia tak mungkin salah mendengar. Tapi akalnya menepisnya. "Untuk apa juga Herman bareng Adinda...gak mungkin lah.." Ia mencoba menghilangkan pikiran negatifnya. Amira memasuki ruangan kerjanya. Ruang pribadi yang belum pernah ia pakai sebelumnya. Ia dudukan tubuhnya dikursi. Ia sibakkan semua pikiran yang membuatnya gundah. Akhirnya ,ia mulai mengecek pembukuan dilaptopnya. Dia hilangkan semua prasangka yang membebaninya. Ia kembalikan niat awalnya untuk datang ke toko. Barusaja ia membuka laptopnya, ia melihat beberapa kabcing kemeja yang berserakan. Kancing dengan merek kemeja yang selalu Herman pakai. Dipungutnya kancing itu. Dia tatap dengan lekat. Perasaan tak enak mulai menghantuinya lagi. " Kancing kemeja mas Herman, kenapa bisa berantakan seperti ini? lagipula untuk apa mas Herma
Hilang sudah harapannya untuk mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Herman. Permintaan terakhir mama Hana tentang pernikahan yang abadi, tak lagi ia gubris. Kini, keinginannya untuk berpisah semakin kuat. Rasa cinta, hormat, dan mengagumi yang masih tersisa ,kini menghilang semua. Terbang bersama pengkhianatan yang Herman lakukan. Seperti tak punya perasaan, Herman tega melakukan iti dibelakangnya. Janji manis yang selalu ia yakinkan, ternyata hanya untuk menutupi kebobrokannya. Semua hilang memuai. Kini tinggal rasa benci, benci, dan benci yang menguasai hati Amira. Keadaan ruangan yang kedap suara ,membuatnya menangis sebebasnya. Ia luapkan semua rasa kecewanya. Menangis adalah hal yang paling ia inginkan saat ini. Rasa sakit yang sesakitnya, kini tengah ia rasakan. Sentuhan yang dia kira hanya untuknya ,ternyata mampu Herman lakukan dengan wanita lain. Ciuman dan dekapan lembut, ternyata bukan hanya padanya Herman lakukan. Ternyata dia bukanlah wanita
"Apa kita panggil tuan saja nyonya?" tanya Parman ,yang sudah siap memberitahu Herman, tentang sakitnya Amira. Dengan cepat Amira menggelengkan kepalanya. Dia tak mau lagi melihat wajah Herman. Jangankan untuk bertemu ,mengucapkan namanya saja ,ia sudah sangat malas. Baginya ,Herman sudah menajdi sebuah kenangan. Ia tak mau lagi mengingat semua tentang Herman. Apapun itu. Luka yang Herman torehkan dihatinya ,terlalu dalam. Sehingga ia tak bisa lagi untuk menahannya. Terlalu banyak pengorbanan Amira yang sudah Herman sia-siakan. Untuk ke sekian kalinya, Amira merasa hidupnya harus terbebas dari Herman. Parman tetap bergeming melihat majikannya. Ia tahu, alasan Amira tak ingin bertemu dengan suaminya. Wajar saja, karena ia pun akan melakukan hal yang sama, andai berada di posisi Amira. Ponsel Parman berbunyi. Seseorang telah mengirim pesan padanya. Dibukanya pesan itu, Dokter Dhani yang sudah mengiriminya pesan. "Parman, setelah cek darah Amira ,ternyata Dia hamil."
Herman yang melihat istrinya merajuk, mencoba memeluknya, dan memberikan untuknya ciuman lembut dipucuk kepala Adinda. Kita sudah habiskan waktu seharian bersama. Kini saatnya aku pulang. Besok kita bertemu lagi ok!!" Herman melepaskan pelukannya, dan bersiap berangkat. Dia masuki mobilnya itu ,kemudian ia mulai menjalankan mobilnya dengan kekuatan penuh. Tak lupa ia membelikan Amira sekuntum mawar merah, dengan wangi yang romantis. Ia sengaja membelinya ,untuk memberikan kejutan pada Amira. Juga dibelinya sebuah cincin emas, yang berbentuk hati. Ia berharap, Amira akan sangat senang, dan bertambah cinta padanya ,karena kejutan yang sudah ia siapkan. sepanjang perjalanan, Herman terus tersenyum. Hari ini ia merasa bahagia luar biasa. Bukan hanya Karena Amira yang kembali padanya, juga karena perusahaannya yang kembali berjalan normal. Dan itu semua berkat Amira. Maka selayaknya Amira mendapatkan sebuah kejutan manis darinya. Begitulah pikirnya Herman. Kini, ia s
Ditatapnya wajah pucat Amira. Dia singkapkan rambut yang sedikit menutupi wajah cantik Amira. Amira yang membuka perlahan matanya. Seketika memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia tak mau disentuh oleh lelaki didepannya. Rasa muak dan jijik yang ia rasakan tak bisa lagi ditahan. Dengan kasar, ia singkirkan tangan suaminya, tangan yang sentuhannya selalu ia rindukan. Tangan yang selalu ia cium, saat hendak bekerja. Kini ia merasa tangan itu tak pantas untuk menyentuhnya. Tangan itu telah kotor. Mata Amira merah padam. Bibirnya terkunci. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang menggebu. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!!" Amira membentak suaminya. Perlahan, tubuhnya berdiri. Menjauh dari Herman. Darah Herman berdesir melihat perubahan sikap pada Amira. Dalam seumur hidupnya, ini kali pertama Amira mengeluarkan taringnya. Entah alasan apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Herman sungguh tak mengerti dengan semua ini. Kejutan yang sudah ia siapkan, terlupa
"Kau coba pikirkan kembali Amira, perkataanmu sudah lewat batas!!" Herman memohon sambil melangkahkan kakinya beberapa langkah. Amira yang melihat Herman mendekatinya, sontak langsung mundur menjauhi Herman, lagi ,lagi dan sampai sangat jauh. "Kubilang jangan pernah mendekat. Aku sudah sangat muak denganmu. Tak ada lagi alasan untuk kita bertahan!!" "Tapi bagaimana dengan Vino? dia masih membutuhkan orang tua yang utuh?" Herman mencoba menjadikan Vino sebagai senjatanya. Berharap Amira akan luluh oleh kata-katanya. Amira menyeringai sinis. Vino yang dijadikan alasan oleh Herman sudah tak mempan lagi baginya. Toh, seperti biasanya juga Herman tak pernah mempedulikan Vino. Waktu untuk bertemu saja, tak pernah ia sempatkan. Jadi, tak ada yang memberatkan Amira saat berpisah nanti. "Alasanmu basi, memang kau peduli dengan anakmu? Apa kau tahu sejauh mana perkembangan anakmu sekarang?" Amira mencoba mengetes Herman. Bahkan sampai sekarang saja, Herman belum pernah
POV Amira Hari ini, tubuhku terasa sangat lemas sekali. Kepalaku pusing. Seakan tak mempunyai tenaga, aku tak sanggup bahkan hanya untuk bangun saja. Kejadian kemarin, membuatku lebih dewasa. Bahwa, tidak semua cinta yang kita berikan, kebaikan yang kita suguhkan, akan dibalas dengan hal yang sama. Seperti yang ku alami sekarang ini. Aku rela mengorbankan ijazahku, hanya karena demi rumah tanggaku. Suamiku yang melarangku untuk bekerja, dan menginginkanku menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya. Mengorbankan semua cita dan harapaan masa kecil, hanya untuk berbakti pada suami. Namun hari imi, pwngorbanan sebesar itu, harus terenggut paksa, hanya karena ke egoisan yang namanya lelaki. Dulu ia bilang, kalau penampilanku suatu saat berubah, maka cintanya takkan pernah berubah sampai kapanpun. Tapi kemarin, janji manis itu telah ia langgar sendiri. Dengan alasan aku yang sudah tidak menarik lagi, semua kebaikan dan pengorbananku harus ku relakan sia-sia. Sebu
Apa yang dia lihat?" Herman bertanya, memastikan kalau Amira tak melihat kejadian dimalam peresmian itu. Parman langsung bersikap canggung, Ia bingung, darimana harus memulai bercerita. Ingin rasanya menceritakan apa yang sudah Amira lihat, yang menjadi penyebab menyulutnya Amarah Amira. Ia mencoba meraba mimik wajah Parman terlebih dulu, Setelah dikiranya semua akan baik-baik saja, Parman memulai ceritanya. "Sebelumnya aku minta maaf, kalau lancang." Dengan nada serius, Parman memulai ceritanya ,tentang apa yang dia lihat kemarin. "Sepertinya nyonya Amira kemarin melihat tuan melakukan...eemmm..." ia bingung meneruskan perkataannya. Herman langsung mengubah posisi duduknya. Ia mulai tegang. Seketika tubuhnya bergetar. Ia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Parman. "Kau yakin, dia melihatku melakukan itu dengan Adinda?" Herman mendekatkan wajahnya ke arah Parman. Dengan suara yang pelan. Ia tak mau ada yang mendengar pembicaraannya. "Iya, saya juga sempat