Ia menangis meraung. Berteriak histeris. Merasa tak berarti pengorbanannya selama ini, setelah Herman memutuskan untuk pergi meninggalkannya. "Kau bahkan lebih memilih untuk pergi mas!!" Amira terus berteriak. Sebenarnya bukan ini keinginannya. Melainkan ,ia hanya menginginkan Herman menyadari kesalahannya, meminta maaf pada Wisma, Dan semua selesai. Amira ingin rumah tangganya baik-baik saja. Tidak ada kebohongan didalamnya. Apalgai kesalahan Herman yang sangat fatal kali ini. Ia melakukan rencana pembunuhan. Itu yang tidak Amira suka. Dhina yang mendengar Amira menangis histeris, sambil berteriak, berlari menuju kamar nynyanya itu. Spontan ia peluk tubub Amira ,yang terkulai lemas. Wajahnya yang dipenuhi airmata, membuatnya terlihat sangat buruk. Dhina yang terbawa suasana, ikut menangis melihat kejadian seperti itu. "Tenanglah nyonya ,tenangkan dirimu...ada apa ini?" Suara Dhina ikut bergetar. Tubuhnya ikut berguncang karena memeluk Amira yang sedang menangis deng
Andi tak mengerti ,kenapa Amira bisa bersikap kasar. Hal yang jauh dari sifat asli seorang Amira. Dengan tangan bergetar, Andi mengambil koper diatas meja ,yang diserahkan Amira. Ia berdiri, dan berpamitan untuk pergi. Sesaat sebelum Andi melangkah, Amira berpesan terlebih dulu."Satu hal lagi, Wisma belum meninggal. Jadi hati-hati lah kalian, lebih baik meminta maaf dan berdamai ,daripada nanti kena maslalah yang lebih rumit!!" Pesan Amira dengan nada mengancam. Ia tahu, Wisma tidak akan membiarkan mereka begitu saja. Setiap perbuatan, pasti akan ada balasannya. Apalagi yang Herman lakukan, sudah masuk ranah kriminal. Itu yang akan Wisma uruskan sampai selesai. Andi yang mulai merasa takut, berusaha menyembunyikan perasaannnya. Dihadapan siapapun,Anidi harus bersikap pemberani. Ia tak boleh menampakkan ketakutannya. "Tak ada yang bisa menakutiku nyonya." Balasnya singkat, sambil membungkukkan badannya, lalu pergi meninggalkan Amira. "Sombong sekali ,kau sama p
Amira sedikit merasa ada yang aneh. Pasalnya ,tadi dia menanyakan keberadaan Herman, Andi pun tak mengetahui keberadaan suaminya itu. Suara dibalik telepon tadi, sangat ia kenal. Ia tak mungkin salah mendengar. Tapi akalnya menepisnya. "Untuk apa juga Herman bareng Adinda...gak mungkin lah.." Ia mencoba menghilangkan pikiran negatifnya. Amira memasuki ruangan kerjanya. Ruang pribadi yang belum pernah ia pakai sebelumnya. Ia dudukan tubuhnya dikursi. Ia sibakkan semua pikiran yang membuatnya gundah. Akhirnya ,ia mulai mengecek pembukuan dilaptopnya. Dia hilangkan semua prasangka yang membebaninya. Ia kembalikan niat awalnya untuk datang ke toko. Barusaja ia membuka laptopnya, ia melihat beberapa kabcing kemeja yang berserakan. Kancing dengan merek kemeja yang selalu Herman pakai. Dipungutnya kancing itu. Dia tatap dengan lekat. Perasaan tak enak mulai menghantuinya lagi. " Kancing kemeja mas Herman, kenapa bisa berantakan seperti ini? lagipula untuk apa mas Herma
Hilang sudah harapannya untuk mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Herman. Permintaan terakhir mama Hana tentang pernikahan yang abadi, tak lagi ia gubris. Kini, keinginannya untuk berpisah semakin kuat. Rasa cinta, hormat, dan mengagumi yang masih tersisa ,kini menghilang semua. Terbang bersama pengkhianatan yang Herman lakukan. Seperti tak punya perasaan, Herman tega melakukan iti dibelakangnya. Janji manis yang selalu ia yakinkan, ternyata hanya untuk menutupi kebobrokannya. Semua hilang memuai. Kini tinggal rasa benci, benci, dan benci yang menguasai hati Amira. Keadaan ruangan yang kedap suara ,membuatnya menangis sebebasnya. Ia luapkan semua rasa kecewanya. Menangis adalah hal yang paling ia inginkan saat ini. Rasa sakit yang sesakitnya, kini tengah ia rasakan. Sentuhan yang dia kira hanya untuknya ,ternyata mampu Herman lakukan dengan wanita lain. Ciuman dan dekapan lembut, ternyata bukan hanya padanya Herman lakukan. Ternyata dia bukanlah wanita
"Apa kita panggil tuan saja nyonya?" tanya Parman ,yang sudah siap memberitahu Herman, tentang sakitnya Amira. Dengan cepat Amira menggelengkan kepalanya. Dia tak mau lagi melihat wajah Herman. Jangankan untuk bertemu ,mengucapkan namanya saja ,ia sudah sangat malas. Baginya ,Herman sudah menajdi sebuah kenangan. Ia tak mau lagi mengingat semua tentang Herman. Apapun itu. Luka yang Herman torehkan dihatinya ,terlalu dalam. Sehingga ia tak bisa lagi untuk menahannya. Terlalu banyak pengorbanan Amira yang sudah Herman sia-siakan. Untuk ke sekian kalinya, Amira merasa hidupnya harus terbebas dari Herman. Parman tetap bergeming melihat majikannya. Ia tahu, alasan Amira tak ingin bertemu dengan suaminya. Wajar saja, karena ia pun akan melakukan hal yang sama, andai berada di posisi Amira. Ponsel Parman berbunyi. Seseorang telah mengirim pesan padanya. Dibukanya pesan itu, Dokter Dhani yang sudah mengiriminya pesan. "Parman, setelah cek darah Amira ,ternyata Dia hamil."
Herman yang melihat istrinya merajuk, mencoba memeluknya, dan memberikan untuknya ciuman lembut dipucuk kepala Adinda. Kita sudah habiskan waktu seharian bersama. Kini saatnya aku pulang. Besok kita bertemu lagi ok!!" Herman melepaskan pelukannya, dan bersiap berangkat. Dia masuki mobilnya itu ,kemudian ia mulai menjalankan mobilnya dengan kekuatan penuh. Tak lupa ia membelikan Amira sekuntum mawar merah, dengan wangi yang romantis. Ia sengaja membelinya ,untuk memberikan kejutan pada Amira. Juga dibelinya sebuah cincin emas, yang berbentuk hati. Ia berharap, Amira akan sangat senang, dan bertambah cinta padanya ,karena kejutan yang sudah ia siapkan. sepanjang perjalanan, Herman terus tersenyum. Hari ini ia merasa bahagia luar biasa. Bukan hanya Karena Amira yang kembali padanya, juga karena perusahaannya yang kembali berjalan normal. Dan itu semua berkat Amira. Maka selayaknya Amira mendapatkan sebuah kejutan manis darinya. Begitulah pikirnya Herman. Kini, ia s
Ditatapnya wajah pucat Amira. Dia singkapkan rambut yang sedikit menutupi wajah cantik Amira. Amira yang membuka perlahan matanya. Seketika memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia tak mau disentuh oleh lelaki didepannya. Rasa muak dan jijik yang ia rasakan tak bisa lagi ditahan. Dengan kasar, ia singkirkan tangan suaminya, tangan yang sentuhannya selalu ia rindukan. Tangan yang selalu ia cium, saat hendak bekerja. Kini ia merasa tangan itu tak pantas untuk menyentuhnya. Tangan itu telah kotor. Mata Amira merah padam. Bibirnya terkunci. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang menggebu. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!!" Amira membentak suaminya. Perlahan, tubuhnya berdiri. Menjauh dari Herman. Darah Herman berdesir melihat perubahan sikap pada Amira. Dalam seumur hidupnya, ini kali pertama Amira mengeluarkan taringnya. Entah alasan apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Herman sungguh tak mengerti dengan semua ini. Kejutan yang sudah ia siapkan, terlupa
"Kau coba pikirkan kembali Amira, perkataanmu sudah lewat batas!!" Herman memohon sambil melangkahkan kakinya beberapa langkah. Amira yang melihat Herman mendekatinya, sontak langsung mundur menjauhi Herman, lagi ,lagi dan sampai sangat jauh. "Kubilang jangan pernah mendekat. Aku sudah sangat muak denganmu. Tak ada lagi alasan untuk kita bertahan!!" "Tapi bagaimana dengan Vino? dia masih membutuhkan orang tua yang utuh?" Herman mencoba menjadikan Vino sebagai senjatanya. Berharap Amira akan luluh oleh kata-katanya. Amira menyeringai sinis. Vino yang dijadikan alasan oleh Herman sudah tak mempan lagi baginya. Toh, seperti biasanya juga Herman tak pernah mempedulikan Vino. Waktu untuk bertemu saja, tak pernah ia sempatkan. Jadi, tak ada yang memberatkan Amira saat berpisah nanti. "Alasanmu basi, memang kau peduli dengan anakmu? Apa kau tahu sejauh mana perkembangan anakmu sekarang?" Amira mencoba mengetes Herman. Bahkan sampai sekarang saja, Herman belum pernah
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang