Pria Dingin-----Selain rasa penyesalan, karena telah membuat orang lain celaka karena kelalaianku, aku bahkan sempat berpikir negatif tentang dirinya. Betapa bodohnya aku."Ambillah cuti besok, buat dirimu rileks sebelum kembali bekerja."Kalimat Al terngiang di telinga. Dia memberiku potongan agar aku bisa menyegarkan dan melemaskan urat syaraf dari ketegangan. Dan dia benar, aku memang sangat lelah akhir-akhir ini. Bahkan beberapa hari terkahir, aku tidak bisa tidur nyenyak. Suara rengekan anak Risa, terdengar hampir setiap malam, entah apa yang dilakukan wanita itu, sehingga anaknya sering menangis.Hari masih terlalu pagi, aku ingin melanjutkan tidur kembali dan berniat jalan-jalan ke pantai setelahnya.Tapi... suara ketukan di pintu membuatku menahan keinginan.Tok tok tok...."Mbak!" Terdengar suara panggilan di antara ketukan pintu. Dan aku mengenal suara itu. Kuraih jaket sebelum keluar kamar.Benar saja, begitu aku membuka pintu, kulihat Risa berdiri di depan pintu dengan w
Titip Mayla-----"Kak Marina sedang tidak bercanda, kan?"Rahma kembali bertanya, sepertinya dia belum percaya kalau aku bertemu dengan Risa dan bahkan rumah kami bersebelahan."Kakak tidak bercanda, Kakak serius," jawabku."Kak Marina harus menjelaskan padaku sekarang!" Todong Rahma, kali ini dia terdengar marah.Kutarik napas dalam, bingung harus memulai cerita dari mana. Lagi pula, aku tidak mungkin menceritakan semuanya pada Rahma, tidak akan selesai dalam waktu satu hari."Sebenarnya... aku bertemu dengan Risa di sini. Bukan itu saja, kami bahkan bertetangga," jelasku."Apa? Lelucon apa lagi, ini, Kak?!" Suara Rahma meninggi.Aku sangat mengerti kenapa Rahma seperti itu, karena dia sangat tahu bagaimana hubunganku dengan Risa dulu.Pasti tidak mudah baginya untuk menerima kenyataan itu."Kak Marina, kamu serius?" "Iya." Lirikku. Aku menarik napas sebelum kembali melanjutkan ceritaku."Risa tinggal tepat di sebelah rumah kontrakanku, Rahma. Dia tinggal bersama dengan Mayla, anak
Titip Anakku---Tidak biasanya rumah Risa sepi, bahkan sejak kemarin, aku belum melihatnya keluar dari rumah. Bahkan celoteh Mayla tidak kudengar."Apakah mereka baik-baik saja?" pikirku.Sekali lagi, aku menoleh ke samping, dalam hati aku berharap Mayla keluar dari pintu sambil memanggil namaku. Namun aku harus menelan kekecewaan, karena sosok bocah itu tidak kelihatan.Aku menarik napas dalam, sebelum melangkahkan kaki menuju tempat kerja. Dari belakang, terdengar suara motor yang semakin mendekat lalu tiba-tiba berhenti tepat di depanku."Hai ... kita bertemu lagi," ucap pria itu setelah membuka kaca helm."Devan?""Kita satu arah, naiklah!" ucapnya lagi sambil memberikan isyarat agar aku naik ke atas motornya."Tidak, aku ... jalan kaki saja, toh tidak terlalu jauh," tolakku halus."Kamu menolak?" tanyanya."Tidak, tapi ...." Aku tidak melanjutkan kalimatku, dan hanya mengangkat kedua bahu sambil memperhatikan motor Devan.Begitu menyadari sesuatu, Devan menutup wajahnya dengan s
Pergulatan Batin ****Sudah dua hari Mayla tinggal bersamaku, hal itu membuat Rahma yang awalnya akan segera pulang begitu masa liburannya berakhir, memutuskan untuk tinggal menemaniku selama beberapa hari lagi.Sementara Mayla? Entahlah. Sampai detik ini, aku tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap bocah kecil itu. Meskipun aku tidak membencinya, namun sisi lain dari diriku juga belum bisa menerima kehadirannya dalam kehidupan. Terlebih lagi setiap kali aku melihat wajah polosnya, setiap kali itu pula kenangan masa lalu seolah hadir dan menari-nari di depan pelupuk mata.“Mbak, sampai kapan kamu akan seperti ini?” tanya Rahma yang sudah duduk di tepi tempat tidur. Aku menurunkan selimut yang menutup seluruh tubuhku sampai batas leher, jeda mata kami bersirobok. Terlihat Rahma menghela nafas dalam dan terlihat Bersiap untuk mengeluarkan kalimat berikutnya, namun aku buru-buru menutup kembali wajahku dengan selimut.“Setidaknya, makanlah dulu biar punya tenaga untuk mengurus anak or
Dukungan Orang Terdekat------Kuremas ponsel yang ada di genggaman, aku tidak tahu jika Alvaro begitu mengkhawatirkanku. Meskipun aku belum membaca pesan yang dia kirimkan, namun melihat pesannya yang berderet, adalah sebuah bukti. Terlebih setelah mendengar semua penjelasannya tadi, semua itu membuatku kehilangan kata-kata.“Maaf, aku tidak sempat memberitahukan padamu. Aku bahkan tidak meminta ijin cuti ….” Kataku dengan suara lirih.“Yah, aku tahu itu. Dan itu bukan sebuah perilaku yang bagus, terlebih kamu termasuk pegawai baru,” ucap Alvaro dengan suara berat.“Aku minta maaf karena ….”“Tapi kamu jangan khawatir, aku dan pegawai yang lain tahu apa yang saat ini sedang terjadi.” Alvaro memotong cepat ucapanku. “Tapi lain kali kamu tidak boleh nelakukan hal seperti itu lagi,” Sambungnya.Aku menarik napas lega mendengar penuturan Al, setidaknya, dia tidak marah padaku karena tidak masuk kerja tanpa ijin, bagaimanapun juga, dia masih tetap bosku, orang yang memberiku gaji. Untuk
Kisah Kelam****Alvaro tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya melirik sekilas ke arahku sebelum kemudian dia tiba-tiba memutar arah mobil. Di momen itu, aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun padanya. Melihat mimik serius wajahnya, aku yakin kalau dia sedang menghadapi suatu masalah serius.Mobil melaju pelan, aku mengeluarkan pandangan ke sekeliling. Tempat yang belum pernah aku kunjungi meskipun sebenarnya berada tidak jauh dari tempat tinggalku. Seperti sebuah monumen yang berada di tengah taman. Al memarkir mobil di bahu jalan."Maukah kamu menemaniku sebentar di sini?" Tanyanya pelan.Aku menatapnya heran, lalu buru-buru mengangguk dan menjawab, "Tentu saja, tempat ini sangat bagus dan udaranya sejuk."Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, memindai satu per satu yang ada di sekitarku. Sebuah taman kecil yang berada di pinggir kota. Sebuah patung berukuran cukup besar berdiri kokoh tepat di tengah, sementara di bawahnya ada kolam kecil dengan air mancur dan berbagai ikan h
Bagai Menggenggam Bara -------“A—apa maksudmu?” tanyaku gugup. Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang dibicarakan atau pun maksud dari ucapan Alvaro.Dendam? Dia tidak terlihat seperti seseorang yang pendedam, terlebih, dia juga yang saat itu memberiku sebuah nasehat untuk menatap ke depan daripada terus terkungkung dalam balutan masa lalu dan sakit hati di saat Risa mencoba untuk masuk kembali ke dalam kehidupanku saat itu.Alvaro menatapku tajam, cukup lama dia memandangku hingga membuatku sedikit kikuk. Hingga kemudian dia berkata dengan suara lirih; "Aku ingin bercerita padamu, cerita yang menjadi bagian dari hidupku. Sebuah kisah yang sudah kusimpan dan berusaha kulupakan selama lebih dari dua puluh tahun."Dia berhenti, menjeda kalimatnya sebentar lalu kembali berkata, "Ketika aku bercerita, cukup dengarkan saja. Jangan banyak bertanya padaku terlebih dulu.""Al ...." Panggilku, membiarkan kalimatku mengambang dan menguap begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya i
Mencari Keberadaan Sang Kakak****Aku tidak sanggup lagi untuk melanjutkan kalimatku saat itu. Pikiran menjadi kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebagai anak laki-laki yang saat itu berusia 14 tahun, apa yang saat itu menimpa keluargaku adalah hal yang belum bisa ku cerna dan aku nalar sepenuhnya. Namun sebagai seorang anak dan adik, aku tahu kalau kakak dan ibuku dalam bahaya saat itu. Namun aku tidak tahu harus berbuat apa."Kamu tidak apa-apa?" Tanya pak Sulaiman padaku sambil memerhatikanku dengan seksama."Saya ... saya ingin mencari kakak saya, Pak. Tapi tidak tahu ke mana harus mencarinya," ucapku sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.Lelaki itu mengulurkan tangannya pelan, kemudian mengusap bahuku. "Ini sudah malam, sebentar lagi tugas bapak selesai dan akan digantikan dengan penjaga yang lain. Biar bapak antar pulang," ucapnya tulus.Aku memandang wajah pak Sulaiman dengan tetangga nanar. Ada perasaan haru sekaligus senang, setidaknya ada seseorang yang be