Pengkhianatan
“Kyla?!”
Sofie setengah tak percaya menatap wanita di hadapannya. Dia memang sedikit mengenal wanita yang bernama Kyla itu. Seorang manager restoran di hotel tempat Sofie bekerja yang terkenal dengan elok tubuh dan mulut manisnya. Semua pelanggan bahkan memujanya. Tidak jarang banyak gosip yang beredar tentangnya. Entah sedang bersama bos kaya atau dengan suami orang dan kini wanita itu sedang menatap Sofie dengan angkuh sambil melipat kedua tangan di dadanya. Seolah merasa menang telah berhasil menaklukkan kekasihnya.
Tidak lama kemudian Fabian keluar dari dalam apartemen dengan kondisi yang sama kusutnya. Wajah Fabian sama terkejutnya dengan Sofie, tidak menyangka kekasihnya bisa mengetahui apa yang selama ini selalu berusaha dia sembunyikan. Sofie yang sangat terguncang hanya terpaku menatap mereka berdua yang terlihat seperti habis bercinta.
“SOFIE! Sedang apa kamu di sini?” Fabian segera menghampiri Sofie.
“Apa yang sudah kalian lakukan?” tanya Sofie getir dengan suara parau bergetar berusaha menahan amarahnya.
“Sayang, memangnya kamu belum bilang padanya tentang hubungan kita? Apa kamu masih belum putus juga dengan dia?” tanya Kyla sinis.
“Apa selama ini kamu tidak pernah menjawab teleponku karena sedang bersenang-senang dengannya? Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?” Sofie menatap Fabian tajam. “Kamu benar-benar jahat!” Sofie sungguh muak melihat dua manusia di depannya ini, dia berbalik pergi sambil berusaha menahan air mata yang nyaris meluncur turun.
“Dengar dulu penjelasanku, Sofie!” Fabian menyusul Sofie dan meraih tangan gadis itu. Namun Sofie terlanjur terluka. Dia menepis tangan Fabian dan berlari pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan sesak di dadanya.
“Tunggu Sofie!” panggil Fabian sambil berusaha mengejar Sofie hingga ke lobi apartemen.
Sofie tidak menggubris dan terus berlari hingga ke parkiran mobil sambil menyeka air mata yang sempat menetes. Pria seperti Fabian tidak pantas untuk ditangisi. Sofie bahkan tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari pria itu. Namun Fabian tidak berhenti mengejarnya. Begitu jarak keduanya menyempit, Fabian kembali menarik tangannya kemudian mencengkeramnya dengan erat.
“Apa yang kamu lakukan? Lepaskan tanganku!” bentak Sofie sambil berusaha melepaskan diri.
“Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku, Sofie!” Fabian masih tetap menggenggam erat tangan Sofie.
“Tidak ada lagi yang perlu aku dengarkan! Aku sudah lihat semuanya! Sekarang lepaskan aku!” sahut Sofie ketus.
“Aa-aku dan wanita itu hanya ketidaksengajaan. Aku masih mencintaimu Sofie!” Fabian mencoba meyakinkan Sofie.
“Ketidaksengajaan? Setelah kamu mencium dan memeluknya dengan mesra. Bahkan kamu membiarkan wanita itu ada di apartemenmu di malam selarut ini dan kamu bilang hanya ketidaksengajaan? Omong kosong! Mulai sekarang jangan temui aku lagi. Kita putus!” pungkas Sofie sambil berusaha melepaskan tangannya yang masih dipegang erat. Rasanya dia ingin segera kabur, tetapi tangan Fabian kembali menahannya.
“Oke-oke. Aku memang salah. Aku minta maaf. Jadi berhentilah merajuk! Kita lupakan saja semua yang sudah berlalu dan memulainya lagi dari awal. Ya?”
“Omong kosong! Berhentilah membual dan lepaskan aku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!” teriak Sofie kesal berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Fabian yang semakin erat mencengkeramnya.
“Kenapa kamu begitu marah dia bermalam di tempatku? Sedangkan kamu sebagai pacarku selalu menolak saat kuajak bermalam di sini. Apa kamu tidak sadar, pria mana yang tahan berpacaran dengan wanita kolot dan kaku sepertimu?” ucap Fabian dengan nada mencemooh. “Aku butuh wanita yang bisa membuatku nyaman dan merasa dicintai. Bagaimana bisa kamu membuatku nyaman dengan sikapmu yang sok suci itu! Aku bahkan ragu kamu benar-benar mencintaiku dengan sikap kakumu itu,” tudingnya lagi.
Sofie menggeretakkan rahangnya. Sudah cukup dia menahan sabar dengan apa yang telah dilihatnya. Sudah cukup dadanya terasa sesak dikhianati seperti ini. Hingga sebuah tamparan mendarat sempurna di permukaan pipi Fabian. Kini Sofie menatap pria itu seolah menantangnya. Menatap tajam tepat di kedua netra pekat yang balas menatapnya tak percaya.
“Apa wanita itu membuatmu nyaman dengan cara seperti itu? Apa harus seintim itu denganmu baru kamu merasa nyaman dan benar-benar dicintai?” tanya Sofie sinis sambil menatap Fabian dengan penuh rasa kemarahan.
“Aku memang bukan wanita sempurna, tapi aku tahu batasannya. Aku hanya ingin memberikan semua yang kupunya termasuk tubuhku hanya pada pria yang menjadi suamiku, pria yang akan menemaniku sampai akhir usiaku. Untuk apa kamu menyatakan kamu mencintaiku kalau nyatanya kamu tidak bisa menjaga wanitamu bahkan dari nafsumu sendiri. Apa aku salah? Kupikir kamu benar-benar memahamiku tapi ternyata kamu sama sekali tidak mengerti aku! Kalau kamu tidak bisa menghargai prinsipku, sebaiknya hubungan kita selesai di sini saja!” dengan napas nyaris terengah Sofie memuntahkan semua isi hatinya.
“Tapi Sofie—" Fabian kembali menarik lengan Sofie. “Kamu menuntutku untuk memahamimu, tapi apa kamu juga sudah memahami diriku? Aku rasa tidak. Aku bahkan merasa kamu tidak benar-benar memberikan cintamu padaku!”
“Kalau cinta yang kamu maksud adalah harus tidur denganmu, jelas tidak akan pernah kuberikan!” bentak Sofie sambil berusaha melepaskan cengkeraman Fabian dari tangannya.
“Lepaskan tanganku!” teriak Sofie mulai frustrasi. Cengkeraman itu semakin membuat tangannya kesakitan. Namun Fabian masih mencengkeram erat tangan Sofie sambil menatap wanita itu tajam. “Kubilang lepaskan tanganku!” Suara Sofie mulai terdengar dingin, sedingin tatapannya kepada Fabian.
“Dia bilang lepaskan tangannya!” Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Sofie dari cengkeraman Fabian.
“Kamu ini siapa? Berani-beraninya mencampuri urusan kami!” bentak Fabian kesal pada pria yang menarik tangan Sofie. Tatapannya tajam menghunjam menatap pria bertopi dan berkacamata hitam yang berdiri di samping Sofie.
“Aku temannya dan sikapmu sudah keterlaluan,” sahut pria yang tidak lain adalah Rexa yang sudah tidak tahan menyaksikan perdebatan Sofie dan Fabian dari kejauhan. “Ayo kita pergi!” Rexa menggandeng tangan Sofie dan berjalan cepat menjauh dari Fabian tanpa menghiraukan teriakan dan makian dari pria itu. Sedangkan Sofie hanya mengikuti Rexa sambil mengusap genangan air mata yang memenuhi pelupuk matanya.
“Sepertinya pria menyebalkan itu tidak mengejarmu lagi,” kata Rexa sambil mengeluarkan kunci mobilnya. “Pria seperti itu tidak pantas untuk kamu tangisi! Jangan sia-siakan air matamu yang berharga itu!” katanya sambil memberikan sebuah sapu tangan sutra berwarna biru laut.
“Siapa yang menangis. Mataku kelilipan debu!” sungut Sofie dengan bibir mengerucut. “Tapi, terima kasih sudah menolongku tadi,” ucap Sofie tulus dengan suara nyaris berbisik. Sedikit keki perdebatannya dengan Fabian dilihat Rexa.
“Sekarang kita impas.” Rexa pun naik ke mobilnya dan pergi meninggalkan Sofie yang terbengong-bengong melihat kelakuan Rexa yang pergi tanpa berbasa-basi mengajaknya serta.
“Dasar pria menyebalkan! Kenapa menolongku setengah-setengah! Setidaknya kamu antarkan aku ke stasiun terdekat. Sudah selarut ini mana ada kendaraan yang lewat di jalan ini.” Sofie mendengkus jengkel.
“Argh ... benar-benar hari yang gila!” gerutu Sofie kesal sambil berjalan meninggalkan halaman apartemen menuju jalan raya dan berharap masih ada taksi yang lewat.
****
Sejak pagi berita di televisi, surat kabar, tabloid, sampai ke media internet semuanya menayangkan berita ketika Rexa sedang berlari bersama seorang wanita di hotel tempat B-Men mengadakan konser. Bahkan di internet sudah banyak komentar yang ditulis oleh para penggemar B-Men juga penggemar fanatik Rexa di bawah foto ketika Rexa memeluk Sofie yang hampir terjatuh karena tertabrak. Semua berita itu begitu cepat menyebar sebagai gosip di mana-mana.Manajer B-Men, Nick tidak henti-hentinya menerima telepon dari berbagai pihak terkait berita tentang Rexa. Dia bahkan berusaha mengklarifikasi perihal kejadian tersebut untuk menyelamatkan citra artisnya. Sedangkan di rumahnya, Sofie mendengar Sonya, sahabat satu rumahnya berteriak memanggilnya dengan tidak sabar karena berita gosip tersebut.“Sofie! Kamu harus lihat ini!” Sonya menunjukkan berita infotainment yang ditontonnya pagi itu. “Apa yang kamu lakukan sampai masuk berita infotainment di semua media?” tanya Sonya heran sambil menarik S
Sebuah mobil van dan satu mobil escalade berwarna hitam berhenti tepat di depan gedung perusahaan pakaian ternama di negeri ini. Kelima mamber B-Men berjalan memasuki gedung mewah tersebut sambil bersenda gurau. Hari ini B-Men akan melakukan sesi pemotretan produk terbaru mereka. Karena terlalu asik mengobrol Vino, member B-Men yang berjalan paling depan tanpa sengaja menabrak seorang wanita yang sedang kerepotan membawa beberapa pakaian di kedua tangannya.“Aduh!”“Maaf, ya. Aku benar-benar minta maaf,” ucap Vino sambil membantu mengambil pakaian yang terjatuh kemudian menyerahkannya pada wanita itu.“Hmm, tak apa.”“Oh ya, So-nya?” Vino melirik nametag yang dipakai wanita di hadapannya. “Apa ini pakaian untuk sesi foto kami?”Untuk sesaat wanita itu kembali melihat beberapa pria yang berdiri di hadapannya dan tersadar. “B-Men? Oh ya, benar! Semua pakaian ini untuk sesi foto kalian,” jawab Sonya sambil tersenyum. “Baru saja mau aku antarkan ke ruangan kalian.”“Kalau begitu, sini bi
Dalam keremangan lampu kelab malam, seorang wanita mengampiri Rexa dan menemaninya minum. Rexa tahu kalau wanita itu hendak menggodanya. Sudah beberapa malam ini wanita itu menemaninya minum. Sesekali wanita itu menggodanya dengan sentuhan lembut yang membuat Rexa tidak bisa menghindarinya. Rexa menarik wanita itu dan mulai mengecup bibirnya dengan rakus. Entah kenapa malam ini Rexa harus melampiaskan ganjalan yang ada di hatinya. Walaupun hanya sebagai pelampiasan semata, tetapi wanita itu terlihat tidak keberatan dengan perlakuan Rexa padanya. Wanita itu justru menanggapi aksi Rexa dengan ritme yang sama menggairahkannya dan menikmati keintiman yang sedang terjalin di antara mereka berdua. Hingga tiba-tiba Rexa melepaskan pagutan mereka dan menggeram kesal. Tanpa bicara apa pun, Rexa pergi meninggalkan wanita tersebut begitu saja. Rexa berjalan sempoyongan keluar dari kelab malam tersebut. Setengah sadar dia naik taksi yang memang sudah dipanggil pegawai kelab malam sebelumnya. S
Sofie menutup telepon dengan wajah kesal. Ini sudah yang kesekian kalinya ada telepon salah sambung yang membuat Sofie hampir naik darah. “Telepon itu lagi?” tanya Lydia. “Hmm. Kenapa banyak sekali telepon nyasar ke sini, sih?” gerutu Sofie jengkel. Belum selesai sampai di situ, ketika jam makan siang ada seorang kurir pesan antar sebuah rumah makan mengirimi Sofie sepuluh kotak makan siang lengkap. Sofie yang merasa tidak memesan makanan tersebut enggan menerimanya, tetapi kurir itu bilang kalau makanan tersebut belum dibayar. Mau tak mau Sofie yang harus membayarnya. Apalagi melihat si kurir terlihat sedih bercampur bingung. Seperti takut dimarahi atasannya. Hal ini sudah terjadi dari beberapa hari yang lalu. Selain bisa membuat Sofie bangkrut, hal ini juga membuat Sofie kesulitan melakukan pekerjaannya. Sofie bahkan merasa setiap orang yang dia lewati di jalan sedang memperhatikan sambil berbisik membicarakannya. Awalnya Sofie tidak peduli dengan keadaan aneh di sekitarnya, te
“Memang ada berita apa lagi, sih?” tanya Sofie bingung, sedangkan Sonya segera melihat ponselnya dan mencari unggahan terbaru tentang Rexa. “Ya ampun! Kamu benar-benar tidak tahu?” tanya Lydia heran. “Aku bahkan tidak mengerti apa yang kamu bicarakan dari tadi.” “Aduh ... itu loh, di lobi banyak sekali penggemar Rexa dan juga reporter gosip. Mereka semua cari kamu!” jelas Lydia. “Hah?! Buat apa mereka mencariku?” tanya Sofie kaget. “Itu karena foto kamu pelukan dengan Rexa semalam di depan pintu kamarnya. Berita itu sudah tersebar di internet tahu! Petugas keamanan kita di depan bahkan sudah kewalahan menahan mereka semua,” sahut Lydia lagi. “Hah! Siapa juga yang berpelukan dengan dia. Waktu itu aku hanya menolongnya karena hampir pingsan. Aduh, kenapa jadi begini, sih?” Sofie mulai panik. “Tapi kalau dilihat dari sudut pandang foto ini sih, kalian memang terlihat seperti berpelukan dengan mesra. Aku bahkan mengira kalian sedang ingin berciuman,” ucap Sonya jujur. “Apa?” Sofie
Setelah ucapan terima kasih yang Rexa ucapkan pada seluruh penggemarnya, pria itu pun kembali melangkah menarik Sofie menjauh dari kerumunan para penggemarnya. Rexa membawa Sofie masuk ke dalam lift lalu menuju kamarnya sambil menggandeng tangan wanita itu yang sedari tadi belum dia lepaskan. Lydia dan Sonya hanya mengikuti mereka tanpa banyak bicara, sedikit takut dengan aura dingin sang idola tersebut. “Kamu tidak apa-apa kan, Sofie?” tanya Sonya khawatir. “Hmm, aku tidak apa-apa. Hanya saja leherku terasa sedikit perih.” Sofie meringis sambil memegangi lehernya yang terluka. “Auuwh!!” teriak Sofie tiba-tiba. “Kenapa, Sof? Apa lagi yang sakit?” tanya Sonya dan Lydia bersamaan. Sedikit terkejut dengan teriakan sahabatnya itu. “Rexa! Haruskah kamu meremukkan tanganku juga?” tanya Sofie sambil meringis. “Apa?” Rexa balas bertanya dengan bingung, sedangkan Sonya dan Lydia terheran-heran menatap dua orang di depannya. “Ini! Dari tadi kamu meremas tanganku seperti remuk tulangku ra
Sofie merasa seperti buronan penjahat yang sedang dicari polisi, tidak bisa bebas berjalan ke mana pun dia mau. Ada rasa khawatir bila tiba-tiba penggemar Rexa dan para paparazzi menyerbunya lagi ketika dia sendirian.Setiap kali melangkah, kepala Sofie menoleh ke sekeliling dan matanya menatap waspada keadaan di sekitarnya. Bahkan saat tiba di halte bus, Sofie seakan mengendap-endap begitu melewati beberapa orang. Khawatir kalau mereka adalah penggemar fanatik Rexa.Kekhawatiran Sofie ternyata benar. Matanya Sofie kini menangkap beberapa gadis yang mengerjainya tempo hari sedang bersandar pada papan reklame di samping halte. Sofie segera memandang sekitar berharap ada tempat untuk bersembunyi. Dia sungguh tidak ingin berhadapan dengan mereka saat ini.“Hei, lihat! Itu kan, perempuan yang di hotel tadi!” Baru saja Sofie hendak meninggalkan halte ketika tiba-tiba salah satu dari mereka memergokinya.Sofie berdecak kesal. Kenapa juga dia harus sesial ini. Segera Sofie berbalik arah, ber
Satu jam kemudian, mobil Rexa berhenti tepat di garasi luas di sebuah rumah besar minimalis modern bernuansa putih cokelat. Rexa mematikan mesin mobilnya dan beranjak turun diikuti oleh Sofie yang terlihat bingung. “Ini di mana? Kamu tidak membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?” Sofie menyipitkan matanya menatap Rexa curiga. “Sudah kamu ikut saja! Ini tempat paling aman dari para paparazzi dan para penggemar gila itu.” Rexa melangkah masuk ke dalam rumah dan Sofie hanya mengikutinya dari belakang. “Waaah ... ada angin apa kamu pulang ke sini, Rex?” tanya Calvin heran melihat Rexa yang tiba-tiba muncul di ruang tengah rumah markas B-Men. Sesaat kemudian dengan setengah terkejut Calvin melihat Sofie yang muncul di belakang Rexa, “Oooh ... jadi karena dia, ya?” Calvin menjawab pertanyaannya sendiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hai, Sofie! Ayo sini kumpul bersama kami!” kata Vino ramah sambil menepuk sofa kosong di sebelahnya dan mengisyaratkan Sofie agar duduk. Sofie me
“Kita mau ke mana malam-malam begini?” tanya Sofie sambil memandangi jalanan yang tidak dia kenal di sekelilingnya.Bukannya menjawab Rexa hanya tersenyum tipis sambil terus melajukan mobilnya menyusuri jalan raya yang semakin lama semakin sepi.Melihat jalanan yang semakin sepi, Sofie mulai waspada dengan apa yang akan Rexa lakukan selanjutnya. Apalagi saat melihat wajah pria itu yang masih terlihat kesal sejak kejadian di studio foto tadi.Mobil Rexa berbelok memasuki gerbang besar sebuah tempat rekreasi. Setelah membayar tiket masuk, Rexa melajukan mobilnya mencari tempat parkir yang sepi. Pria itu sengaja mencari tempat yang jauh dari keramaian untuk menghindari kehebohan massa yang akan mengenal identitasnya.“Ayo turun!” perintah Rexa begitu selesai mematikan mesin mobilnya.Tanpa menjawab, Sofie ikut turun dari mobil. Hal yang pertama wanita itu lakukan adalah mengamati keadaan sekitar. Memahami di mana tepatnya dia berada agar kalau terjadi sesuatu padanya, dia bisa kabur meny
Gerutuan Sofie makin panjang terdengar begitu melihat pose Rexa memeluk Kaisha dari belakang. Segala macam caci maki wanita itu tujukan pada pria yang kemarin membuat jantungnya nyaris jungkir balik karena senang. Kini Sofie semakin yakin kalao pria itu hanya mengerjainya saja kemarin. Lagi pula mana mungkin Rexa menyukai wanita mungil cerewet seperti dirinya.“Waa!!!” Sofie tiba-tiba terpekik kaget ketika hawa dingin menyengat menggigit kulit pipinya. Wanita itu langsung menoleh untuk melihat siapa yang berani mengusiknya saat ini. Namun baru saja hendak mencaci maki orang yang mengganggunya memaki Rexa, Sofie justru terhipnotis senyuman manis dari pria yang berdiri sambil menyodorkan sekaleng minuman dingin di hadapannya itu. “Revano!”“Kenapa merengut begitu?” tanyanya sambil membukakan tutup minuman kaleng kemudian menyerahkannya ke tangan Sofie. “Cappuccino dingin, kesukaanmu, kan?” katanya lagi.Senyum Sofie semakin lebar, “Terima kasih.”“Cemburu, ya?” tanya Revano tepat sasara
Sofie membuka mata sambil tersenyum memeluk guling. Apa yang sudah terjadi padanya semalam? Kenapa dia jadi tersipu malu seperti sekarang? Ah ... semua kejadian itu seperti mimpi rasanya.Sofie berguling ke kanan dan kiri. Lalu menutup wajahnya dengan guling dan kembali membayangkan kejadian demi kejadian yang dialaminya semalam. Seulas senyum kembali mengembang di bibirnya. Hingga dering jam alarm membuyarkan semua angannya.Sofie bangkit dari tempat tidur. Tatapannya langsung tertuju pada gaun cream yang tergantung pada pintu lemari di hadapannya. Semburat kemerahan kembali menjalar di pipi Sofie. Ah ... lama-lama dia bisa berhalusinasi. Sofie menepuk pipinya pelan dan beranjak meninggalkan kamar.Masih pagi memang, tetapi Sofie tidak menemukan Sonya di mana pun. Hanya ada secarik kertas berisi catatan yang ditulis Sonya tertempel dengan magnet di pintu kulkas. Memberitahukan kalau sahabatnya itu tidak akan pulang malam ini karena harus kerja lembur.Sofie duduk di kursi meja makan.
Rexa tidak yakin dengan apa yang sedang dilakukannnya sekarang. Rexa kembali seperti orang yang baru mengenal wanita. Saat ini bahkan dia rela terjebak dalam studio bioskop untuk sekadar menonton film bersama wanita yang memikatnya alih-alih kamar hotel yang nyaman. “Kita mau nonton film apa, sih?” tanya Sofie begitu mereka duduk di kursi masing-masing. “Horor,” sahut Rexa santai. Sedangkan Sofie terpekik kaget. “Horor?!” Sofie menegakkan tubuhnya menghadap Rexa. “Bukannya aku tidak suka film horor, hanya saja nonton di bioskop membuat film horor berpuluh-puluh kali lipat lebih menyeramkan. Efek suaranya selalu membuatku tidak bisa tidur setelah menontonnya.” Rexa hanya memperhatikan wanita itu berargumen dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. “Jadi, bolehkan ganti film yang lain?” tanya Sofie sambil menatap Rexa memohon. “Bagus, dong! Nanti aku temani supaya kamu bisa tidur nyenyak,” sahut Rexa dengan seringaian nakalnya. Sofie langsung mencubit lengan pria itu hingga Rexa meng
“Loh, kenapa kita ke sini?” tanya Sofie heran begitu wanita itu tersadar jalan yang mereka laluinya adalah jalan menuju Mall Savero di pusat kota. “Mau apa malam-malam gini ke mall? Sebentar lagi juga mallnya tutup,” ucap Sofie heran saat Rexa memarkirkan mobilnya di basement mall.“Bioskop masih buka sampai tengah malam.”“Untuk apa ke bioskop?”“Ya nonton, dong!” sungut Rexa kesal dengan kebodohan Sofie mencerna semua sikapnya. Sedangkan wanita itu hanya ber-oh ria.Rexa kembali menarik lengan Sofie dan meminta wanita itu berjalan di sisinya bukan di belakangnya. Keadaan ini membuat kewaspadaan Sofie naik level. Sejak memasuki mall, wanita itu selalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.Meskipun Rexa memakai topi hingga wajahnya tidak terlalu jelas terlihat, tetapi Sofie tetap merasa tidak aman. Wanita itu bahkan berharap tidak akan ada sedikit pun masalah yang muncul ketika mereka berjalan hanya berdua saja seperti ini.“Kamu kenapa? Seperti mau maling dompet pengunjung saja!” t
Rexa mulai melajukan mobilnya tepat di belakang mobil van para member B-Men. Rexa memang lebih suka mengendarai mobilnya sendiri. Sedangkan member B-Men lainnya lebih senang menggunakan mobil van milik perusahaan karena lebih praktis. Mereka semua tiba di Royal Restaurant saat semburat kemerahan mulai meredup dan berganti malam. Sutradara Erick dan seluruh kru pembuatan drama sudah menunggu mereka di sudut kanan ruangan. Para member B-Men pun bergabung dan membaur dengan semuanya. Rexa duduk diapit kedua wanita yang membuat hati Sofie bagai dilumat di atas papan penggilasan. Siapa lagi kalau bukan Kaisha dan Azalea. Terlebih lagi Azalea yang sedari tiba tidak pernah melepaskan Rexa sedikit pun, seakan sedang membalaskan kekesalannya di studio tadi. Ada saja cara yang wanita itu lakukan untuk mencoba menarik perhatian Rexa. Untunglah Sofie duduk di samping Revano dan Sonya. Setidaknya dia memiliki teman untuk berbincang. Walaupun harus menghindari tatapan tajam Rexa setiap kali Sofi
Semenjak pengakuan Rexa di villa, Sofie nyaris kewalahan menghadapi sikap pria itu yang tiba-tiba berubah posesif. Rexa benar-benar membuat Sofie selalu berada di sisinya. Tidak membiarkan wanita itu jauh dari jangkauannya. Bahkan mencari seribu cara agar Sofie tidak bisa berpaling darinya walau hanya sedetik saja. “Duduk di sini! Temani aku makan!” perintah Rexa pada Sofie saat istirahat syuting. Kali ini mereka sedang syuting episode terakhir di taman sebuah hotel bintang lima. Taman itu sudah didekorasi sedemikian cantik ala pesta pernikahan yang penuh bunga-bunga segar. “Kenapa masih berdiri? Kubilang duduk sini!” kata Rexa lagi sambil menunjuk sebuah kursi di hadapannya. Jangan lupakan tatapan mengintimidasi yang selalu membuat Sofie menuruti semua permintaan pria itu. “Untuk apa aku duduk di situ? Aku masih harus mengatur jadwal promosi dengan Kak Nick!” Kali ini Sofie memilih tidak menuruti Rexa. Sofie bisa mati gaya kalau hanya menemani Rexa makan siang seperti ini. Lagipu
Sofie membuka mata perlahan dan betapa terkejutnya dia begitu matanya membuka sempurna. Wajah Rexa adalah hal pertama yang dilihatnya. Pria itu tersenyum tipis sambil menatapnya dalam. Sofie langsung bangkit duduk bersandar pada punggung tempat tidur. Beberapa kali mengusap matanya untuk meyakinkan apa yang baru saja dilihatnya. Tentu saja wajah Rexa yang masih jelas dilihatnya. Pria itu dengan santai duduk bersandar di samping Sofie. Seringai tipisnya justru membuat Sofie bergidik. Sofie memandang sekelilingnya. Kamar yang lebih luas dari kamarnya dengan Sonya ini terasa asing. Sofie menatap Rexa dengan tatapan menyelidik kemudian segera memeriksa tubuhnya sambil berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. “Semalam ... apa yang terjadi?” tanya Sofie ragu. Wanita itu mengubah posisi duduknya dan menghadap Rexa sambil menatap pria itu penuh selidik. “Menurutmu apa yang bisa terjadi?” balas Rexa dengan senyuman menggoda dan membuat Sofie makin bergidik. “Ini kamar siapa?” tanya So
Sudah beberapa menit Sofie berguling di kasurnya dengan tidak nyaman. Berulang kali wanita itu mencoba memejamkan mata, tetapi masih belum bisa terlelap. Pada akhirnya Sofie pun memilih keluar kamar karena tidak ingin mengganggu Sonya yang sudah terlelap. Sofie menuju halaman belakang villa. Pemandangan di sana cukup indah dan membuat hati tenang. Mungkin suasana sunyi dan nyaman itu bisa sedikit mengurangi insomnianya. Namun ternyata bukan hanya Sofie yang sedang tidak bisa tidur. Di salah satu sofa rotan panjang di tepi taman, terlihat sosok Rexa yang sedang meneguk sebotol minuman. Pria itu pun mendongakkan kepala saat melihat Sofie mendekat. “Kamu belum tidur?” tanyanya pada Sofie. “Kamu sendiri kenapa masih di sini?” balas Sofie. “Suntuk!” sahut Rexa datar. “Terus kalau suntuk, harus ya ditemani minuman itu?” tanya Sofie lagi sambil menunjuk botol minuman beralkohol yang dipegang Rexa. “Cuma 5 persen kok!” jawab Rexa cuek sambil melirik minuman berwarna cerah di tangannya.