Beranda / Romansa / Karena Utang, Dinikahi Sultan / Nilai Yang Tak Bisa Dibayar

Share

Karena Utang, Dinikahi Sultan
Karena Utang, Dinikahi Sultan
Penulis: Erna Azura

Nilai Yang Tak Bisa Dibayar

Penulis: Erna Azura
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-07 20:16:04

“Utangnya atas nama siapa?”

Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya.

Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi.

Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.”

Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar.

Rp1.263.000.000.

Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti.

CitraKredit Corporation.

Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang.

“Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—”

“Ini tanda tangannya.” Sang pengacara menyodorkan salinan lain.

Amara melihatnya. Tak bisa membantah. Itu tulisan tangan Rendy.

Lututnya melemas. Ia nyaris menjatuhkan map itu, tapi menggigit bibir, menahan air mata. Tak boleh menangis. Bukan saatnya. Bukan di sini.

“Apa kalian datang untuk menyita rumah saya?” tanyanya lirih. “Saya masih tinggal bersama Ibu, dan rumah itu satu-satunya milik keluarga kami.”

Wanita itu saling pandang dengan asistennya, lalu menghela napas. “Kami tidak berniat menyita rumah, Ibu Amara. Justru kami… menawarkan penyelesaian alternatif.”

Amara mengerutkan kening.

“Penyelesaian?” Dia bergumam.

Detik berikutnya pintu ruangan terbuka. Seorang pria masuk. Setelan jas arang, dasi abu gelap, dan jam tangan hitam yang nilainya mungkin bisa membayar gaji Amara selama sepuluh tahun.

Langkahnya tenang. Matanya tajam seperti tidak punya waktu untuk buang emosi.

Dan satu kata lagi untuk mengakhiri semua itu adalah tampan.

Pria itu tampak dingin dan sangar tapi … tampan.

“Amara R. Kusuma?” tanyanya singkat.

Amara menoleh. “Iya, saya—”

“Ayo kita langsung saja. Saya Arga Baskara, CEO CitraKredit. Adik Anda berutang pada perusahaan saya dan menghilang. Tidak ada jaminan aset. Hanya jejak digital yang bodoh.”

Nada suaranya dingin, tajam, tanpa ampun.

Amara mengerjapkan matanya berulang kali, panik. “Saya bersedia mencicil, Pak. Saya bisa bekerja dua kali lipat. Saya—”

“Satu-satunya hal yang membuat saya tertarik mengurus kasus kecil ini adalah karena saya tidak suka ditipu,” potongnya. “Dan Anda, kebetulan, memiliki sesuatu yang bisa dibayar dengan cara lain,” sambar Arga membuat Amara membeku.

“Apa maksud Anda?”

Arga menoleh ke pengacara. “Keluarkan draft perjanjian.”

Pengacara menyerahkan map merah marun. Amara membukanya pelan-pelan… dan napasnya tercekat.

Perjanjian Nikah.

“Ini tidak masuk akal,” bisiknya.

“Masuk akal bagi saya,” jawab Arga, menatapnya lurus. “Saya butuh istri untuk urusan tertentu. Legalitas. Warisan. Citra bisnis. Kebutuhan Seksual. Tapi saya tidak punya waktu mencari pasangan hidup.”

Pria itu berjalan pelan, menghampiri jendela besar dan menatap keluar. “Saya sudah muak dengan permainan cinta. Saya ingin kesepakatan. Dan Anda, dalam situasi ini… tidak punya pilihan.”

“Pernikahan bukan lelucon,” ucap Amara mulai marah. “Ini hidup saya.” Dia menaikkan intonasi.

“Dan Anda pikir adik Anda memikirkan itu ketika menggadaikan masa depan keluarganya demi judi kripto?” balas Arga cepat dan tajam. “Saya beri waktu dua jam. Setelah itu, utang akan dialihkan ke jalur hukum dan kolektor akan bergerak.”

Amara berdiri. Napasnya berat. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya.

“Saya bukan barang.” Suaranya tercekat.

Arga berbalik. “Saya juga tidak butuh mainan. Hanya seseorang untuk mengisi kolom ‘istri’ dalam dokumen hukum. Selama setahun. Tidak lebih. Tidak kurang.”

Pria bertubuh tinggi atletis itu mendekat. Suaranya merendah, nyaris seperti bisikan.

“Dan tubuh Anda akan menjadi jaminannya.”

Amara menampar meja.

Tapi Arga hanya menatapnya datar. Tidak terguncang. Tidak marah. Seolah sudah terbiasa melihat orang jatuh di hadapannya.

***

Di toilet umum masih di gedung yang sama, Amara mengunci pintu, menatap cermin.

“Ini bukan hidup yang kamu impikan, Ra. Tapi ini satu-satunya jalan.” Amara melirih, akhirnya dia mengambil keputusan.

Tangannya gemetar ketika mengetik pesan untuk adiknya.

Kak Amara : Kamu berhasil menghancurkan hidupku, Rendy. Tapi aku enggak akan biarkan ibu ikut hancur. Sebentar lagi, aku bukan hanya kakakmu. Aku akan menjadi istri dari laki-laki yang kamu utangi.

Amara tidak peduli pesan itu terkirim atau tidak karena sejak dalam perjalanan ke sini dia sudah menghubungi adik dakzal-nya itu dan tidak pernah tersambung.

Akhirnya Amara memiliki kekuatan untuk keluar dari dalam toilet, dia kembali ke ruangan yang tadi sang pengacara dan sang CEO mengintimidasinya.

Arga dan pengacara masih ada di sana.

Amara melangkah masuk diiringi tatapan Arga dan pengacara setelah tadi gadis itu tiba-tiba mual lalu berlari keluar menuju toilet.

Dia duduk di tempat tadi.

“Kalau saya setuju… ada satu syarat.” Wajah Amara tampak pucat, tatapannya setengah memohon.

Arga menatapnya. “Sebutkan.”

“Ibu saya. Stroke. Saya merawatnya sendiri. Kalau saya harus tinggal di tempat Anda, maka saya ingin perawat profesional untuk beliau. Setiap hari. Penuh waktu.”

Pengacara mencatat, tapi Arga mengangguk duluan. “Sudah saya urus. Perawat dari klinik kami akan datang malam ini.”

Itu bukan simpati. Hanya efisiensi.

Amara menggigit bibir, lalu menunduk.

“Dia udah menyiapkan semua.” Amara membatin.

“Baiklah, kapan kita menikah?” Amara bertanya setelah mendongak menatap lekat pria tampan tapi dingin yang akan menjadi suaminya.

“Besok. Jam sembilan pagi. Nikah. Di firma hukum ini.” Sang pengacara yang menjawab.

FLASBACK ON

“Ayah beri waktu dua minggu, Arga. Kalau kamu belum menikah, Ayah akan umumkan pertunanganmu dengan Alena Wibisono.”

Gunawan Dirgantara berdiri di depan jendela besar, menatap Jakarta dengan tangan disilangkan di punggung. Suaranya pelan tapi penuh tekanan.

Arga menyandarkan tubuh ke kursinya, rahangnya mengeras.

“Ayah masih berambisi aliansi bisnis dengan keluarga Wibisono?” tanyanya, datar.

“Merger. Dan penggabungan lini kredit mikro dengan dana investasi milik keluarga Wibisono. Kamu tahu betapa kuatnya posisi mereka di OJK.”

“Ayah tahu aku tidak tertarik pada perjodohan. Dan setelah yang terakhir… aku makin yakin, cinta pun bisa menghancurkan,” balas Arga, nada suaranya mulai tajam.

“Cassandra adalah masa lalu. Dan kamu perlu bersikap dewasa soal citra perusahaan.”

“Atau Ayah ingin aku jadi boneka yang bisa ditukar kapan saja?”

“Ayah ingin kamu jadi CEO yang tahu bagaimana menjaga posisi, saham, dan nama keluarga. Dunia tidak peduli kamu pernah disakiti. Mereka hanya peduli siapa di sebelahmu saat konferensi pers.”

Gunawan berbalik, menatapnya dingin.

“Kamu harus menikah dalam dua minggu. Pilihannya ada padamu—kamu yang memilih siapa perempuannya atau Ayah yang akan memilihkan untukmu.”

Pintu tertutup pelan setelah Gunawan pergi.

Arga terdiam beberapa detik. Matanya menatap langit Jakarta yang kelabu.

Lalu ia menekan tombol interkom.

“Zeno. Ruanganku. Sekarang.”

Zeno langsung masuk ke ruangan Arga tanpa mengetuk pintu.

“Ayah mau gue menikah. Carikan solusinya. Cepat, legal, tanpa keterlibatan emosional.” Arga langsung mengutarakan maksudnya memanggil Zeno.

Zeno tersenyum kemudian mengotak-atik tablet dan menyodorkannya ke depan Arga.

“Gue punya kandidat. Amara R. Kusuma. Guru. Kakak dari Rendy Ramadhan nasabah kita yang gagal bayar. Tapi Amara stabil secara kepribadian. Enggak narsis, enggak dramatis. Tanggung jawabnya tinggi. Dan… dia mungkin akan mempertimbangkan kontrak.”

“Bukan gold digger?” Arga sedang memindai biodata dan foto Amara.

“Enggak. Justru sebaliknya. Dia terlalu realistis.”

Arga membaca cepat, lalu mengangguk sekali.

“Siapkan semuanya.” Arga memerintah.

“Lo yakin?” Zeno bertanya hanya untuk memastikan.

“Pastikan dia enggak akan meminta lebih karena gue enggak akan memberi lebih.”

“Siaaaap!!!”

FLASHBACK OFF

***

Rumah kecil di pinggiran Jakarta itu sunyi, hanya suara mesin oksigen pelan di sudut kamar yang menyertai Amara ketika ia duduk di sisi ranjang ibunya.

“Ibu kelihatan lebih segar hari ini,” gumam Amara sambil menyisir rambut ibunya.

Sumiati tersenyum kecil. “Kamu capek, ya?”

“Enggak kok, kenapa Ibu bertanya seperti itu?” Suaranya pelan, meski begitu wajahnya tak bisa menyembunyikan kelelahan batin.

Sumiati menggenggam tangannya. “Ibu enggak tahu kenapa melihat kamu akhir-akhir ini tampak begitu lelah. Tapi kamu anak yang baik. Apa pun yang kamu pilih, Ibu percaya itu demi kita.”

Tangis Amara nyaris pecah. Tapi ia tersenyum dan mencium tangan ibunya.

Amara menoleh ke pintu, seorang wanita berpakaian seragam perawat masuk.

“Bu, kenalin ini Ima … perawat yang akan bantu Amara jagain Ibu di rumah. Orangnya baik. Ibu jangan takut.”

“Selamat pagi Bu ….” Ima menyapa Sumiati penuh hormat.

“Pagi ….” Sumiati tersenyum kaku.

“Kenapa seperti kamu mau pergi jauh?” Sumiati mengerutkan kening menatap Amara.

“Enggak jauh, Bu… cuma enggak bisa pulang tiap hari.”

“Pekerjaan baru? Menjadi guru ‘kan enggak menginap …,” cecar ibunya curiga.

“Iya Bu, ada pekerjaan tambahan … gajinya cukup besar ….” Amara tidak memberitahu Ibu tentang hutang pinjol adiknya yang kini kabur entah ke mana.

“Oh … Rendy mana? Kenapa belum pulang?” Ibu bertanya lagi.

“Rendy sedang ada pekerjaan di luar kota … nanti Rendy pasti hubungi Ibu.”

Sumiati mengangguk lemah.

“Aku pamit, ya Bu.”

Tangannya gemetar saat menggenggam koper kecil berisi beberapa helai pakaian.

Dan di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah kamar ibunya yang telah tertutup.

“Maaf, Bu… karena aku akan jadi istri seseorang. Tapi bukan karena cinta.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Akad Tanpa Restu

    Amara menggenggam koper kecil di pangkuannya, duduk di pojok gerbong LRT yang nyaris kosong. Jam delapan pagi dan langit Jakarta seperti ikut menyimpan rahasia yang hendak ia telan bulat-bulat. Tubuhnya diam, tapi batinnya gemuruh. Nafasnya pendek-pendek dan sesekali ia menyeka keringat di pelipis yang tak kunjung berhenti meski AC menyala. Matanya menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi berkelebat cepat, secepat langkah hidupnya berubah semalam. Dari guru sederhana jadi calon istri seorang CEO—dalam waktu kurang dari 24 jam. Bukan karena cinta. Tapi karena utang. Karena adiknya. Karena tak ada pilihan lain. “Sebentar lagi kamu menikah, Ra…” “Dengan pria asing … yang bahkan enggak pernah tersenyum padamu.” Suara itu bergaung di kepalanya. LRT berhenti di stasiun Dukuh Atas. Amara berdiri, menyeret kopernya lalu bergegas masuk ke toilet umum di pojok terminal. Tangan Amara gemetaran saat membuka kancing blus, menggantinya dengan kebaya puti

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Rumah Yang Sunyi

    Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Yang Terikat

    Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-12

Bab terbaru

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Yang Terikat

    Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Rumah Yang Sunyi

    Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status