Aroma bawang putih yang ditumis lembut menusuk hidung Arga. Pria itu menggeliat pelan, matanya terbuka setengah, lalu terbelalak begitu melihat jam di nakasnya: 07:36.“Shit!” Arga bangkit sambil merutuki dirinya sendiri. Baru kali ini dia bangun terlambat sejak … bertahun-tahun menjadi CEO CitraKredit.Arga melangkah cepat ke kamar mandi, air menyiram wajahnya yang masih setengah kantuk, mencoba membangunkan otaknya yang berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah rapi dengan kemeja putih bersih dan celana bahan abu gelap. Rambutnya disisir ke belakang, parfum maskulin menyelimuti tubuhnya.Arga pergi ke dapur dengan langkah panjang dan yang pertama dilihatnya adalah punggung Amara.Sang istri mengenakan apron biru muda, rambut dikuncir rendah, tangan sibuk mengaduk sup di panci.Arga mendengus panjang, dan dalam sekejap marahnya langsung meledak.“Kamu enggak belajar dari semalam, ya? Masih sempat-sempatnya masak segala!” hardiknya tajam dari ambang pintu.Amara yang sedang memo
Langit siang itu cerah, tapi hati Amara tak begitu. Mobil mewah dengan kaca gelap berhenti tepat di depan gerbang sekolah tempatnya mengajar. Seorang sopir berseragam formal keluar, membukakan pintu dengan sopan. Amara turun, sedikit kikuk. Pandangan beberapa guru yang sedang duduk di bangku depan ruang guru langsung tertuju padanya.“Wuih, Bu Amara! Itu mobil siapa? Jangan bilang suaminya artis sinetron!” celetuk bu Wulan, guru Bahasa Inggris.“Minimal crazy rich! Kaca filmnya hitam pekat, yang turun juga cantik banget,” sahut bu Ema dengan gaya bercanda khasnya.Amara hanya tertawa kecil. “Iya, itu sopir kantor suami saya.”“Lho, jadi kamu beneran udah nikah?” Suara berat itu datang dari arah lapangan.Amara menoleh dan mendapati pak Ricky, guru olahraga menghampiri mereka dengan langkah santai. Seragam olahraganya sedikit basah karena keringat, rambutnya masih basah setelah selesai melatih.“Kenapa enggak ngundang kita?” Ricky mengangkat alis. “Padahal aku udah siap jas dari
Suasana restoran mewah itu seharusnya membawa kehangatan bagi pasangan mana pun mengingat sedang digelar acara tunangan di sana.Tapi bagi Arga, makan malam bersama Amara justru menghadirkan kegelisahan yang tak biasa.Ia duduk tegap, menyendok sup krimnya dengan sikap formal, tapi matanya—matanya terus melirik ke arah wanita yang duduk di seberangnya.Amara terlihat santai. Gerakannya lembut. Matanya jernih. Bibirnya sesekali tersenyum kecil. Ia tidak tampak seperti wanita yang sehari sebelumnya hampir pingsan karena alergi. Justru, ketenangannya yang tak terjangkau itu… membuat Arga gusar.Saat Amara mengangkat sendok kecil berisi saus dan mencicipinya dengan ujung bibir, Arga langsung menegakkan punggung. Ada sesuatu yang menggelegak di dadanya. Sesuatu yang beberapa hari ini dia coba hindari, tapi kini muncul seperti api yang menyambar bensin.Arga menarik napas dalam-dalam, lalu buru-buru meneguk air dingin. Ia tidak tahan.“Udah selesai makannya?” tanyanya tiba-tiba, suara
“Utangnya atas nama siapa?” Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang
Amara menggenggam koper kecil di pangkuannya, duduk di pojok gerbong LRT yang nyaris kosong. Jam delapan pagi dan langit Jakarta seperti ikut menyimpan rahasia yang hendak ia telan bulat-bulat. Tubuhnya diam, tapi batinnya gemuruh. Nafasnya pendek-pendek dan sesekali ia menyeka keringat di pelipis yang tak kunjung berhenti meski AC menyala. Matanya menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi berkelebat cepat, secepat langkah hidupnya berubah semalam. Dari guru sederhana jadi calon istri seorang CEO—dalam waktu kurang dari 24 jam. Bukan karena cinta. Tapi karena utang. Karena adiknya. Karena tak ada pilihan lain. “Sebentar lagi kamu menikah, Ra…” “Dengan pria asing … yang bahkan enggak pernah tersenyum padamu.” Suara itu bergaung di kepalanya. LRT berhenti di stasiun Dukuh Atas. Amara berdiri, menyeret kopernya lalu bergegas masuk ke toilet umum di pojok terminal. Tangan Amara gemetaran saat membuka kancing blus, menggantinya dengan kebaya puti
Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di
Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran
Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru
Suasana restoran mewah itu seharusnya membawa kehangatan bagi pasangan mana pun mengingat sedang digelar acara tunangan di sana.Tapi bagi Arga, makan malam bersama Amara justru menghadirkan kegelisahan yang tak biasa.Ia duduk tegap, menyendok sup krimnya dengan sikap formal, tapi matanya—matanya terus melirik ke arah wanita yang duduk di seberangnya.Amara terlihat santai. Gerakannya lembut. Matanya jernih. Bibirnya sesekali tersenyum kecil. Ia tidak tampak seperti wanita yang sehari sebelumnya hampir pingsan karena alergi. Justru, ketenangannya yang tak terjangkau itu… membuat Arga gusar.Saat Amara mengangkat sendok kecil berisi saus dan mencicipinya dengan ujung bibir, Arga langsung menegakkan punggung. Ada sesuatu yang menggelegak di dadanya. Sesuatu yang beberapa hari ini dia coba hindari, tapi kini muncul seperti api yang menyambar bensin.Arga menarik napas dalam-dalam, lalu buru-buru meneguk air dingin. Ia tidak tahan.“Udah selesai makannya?” tanyanya tiba-tiba, suara
Langit siang itu cerah, tapi hati Amara tak begitu. Mobil mewah dengan kaca gelap berhenti tepat di depan gerbang sekolah tempatnya mengajar. Seorang sopir berseragam formal keluar, membukakan pintu dengan sopan. Amara turun, sedikit kikuk. Pandangan beberapa guru yang sedang duduk di bangku depan ruang guru langsung tertuju padanya.“Wuih, Bu Amara! Itu mobil siapa? Jangan bilang suaminya artis sinetron!” celetuk bu Wulan, guru Bahasa Inggris.“Minimal crazy rich! Kaca filmnya hitam pekat, yang turun juga cantik banget,” sahut bu Ema dengan gaya bercanda khasnya.Amara hanya tertawa kecil. “Iya, itu sopir kantor suami saya.”“Lho, jadi kamu beneran udah nikah?” Suara berat itu datang dari arah lapangan.Amara menoleh dan mendapati pak Ricky, guru olahraga menghampiri mereka dengan langkah santai. Seragam olahraganya sedikit basah karena keringat, rambutnya masih basah setelah selesai melatih.“Kenapa enggak ngundang kita?” Ricky mengangkat alis. “Padahal aku udah siap jas dari
Aroma bawang putih yang ditumis lembut menusuk hidung Arga. Pria itu menggeliat pelan, matanya terbuka setengah, lalu terbelalak begitu melihat jam di nakasnya: 07:36.“Shit!” Arga bangkit sambil merutuki dirinya sendiri. Baru kali ini dia bangun terlambat sejak … bertahun-tahun menjadi CEO CitraKredit.Arga melangkah cepat ke kamar mandi, air menyiram wajahnya yang masih setengah kantuk, mencoba membangunkan otaknya yang berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah rapi dengan kemeja putih bersih dan celana bahan abu gelap. Rambutnya disisir ke belakang, parfum maskulin menyelimuti tubuhnya.Arga pergi ke dapur dengan langkah panjang dan yang pertama dilihatnya adalah punggung Amara.Sang istri mengenakan apron biru muda, rambut dikuncir rendah, tangan sibuk mengaduk sup di panci.Arga mendengus panjang, dan dalam sekejap marahnya langsung meledak.“Kamu enggak belajar dari semalam, ya? Masih sempat-sempatnya masak segala!” hardiknya tajam dari ambang pintu.Amara yang sedang memo
Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”
Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in
Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli
Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal
Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa
Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk