Share

Rumah Yang Sunyi

Aвтор: Erna Azura
last update Последнее обновление: 2025-04-07 20:19:05

Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat.

Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci.

Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga.

Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening.

Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi.

Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Dingin.

Amara menatap koper yang belum dibuka. Lalu memutuskan turun kembali ke dapur.

Dapur terbuka. Lemari steril. Wastafel bersih. Kompor tanam menyala otomatis.

Ia membuka kulkas. Ada beberapa bahan dasar: telur, roti, dada ayam beku dan sayur segar yang sepertinya baru dimasukkan pagi tadi. Mungkin oleh Zeno atau kurir online.

Amara menyingsingkan lengan seragam kerjanya dan mulai memasak. Memotong sayur, menggoreng telur, menanak nasi di rice cooker mungil yang terletak di sudut.

“Selamat datang di kehidupan istri kontrak,” gumamnya lirih.

Saat semuanya matang, ia menata piring hanya untuk satu orang. Karena Arga bilang akan pulang malam, dan ia terlalu lelah untuk pura-pura jadi istri penuh.

Amara makan sendiri di meja makan. Sunyi. Lampu gantung menyala kuning temaram, bayangan tubuhnya menyatu dengan meja kayu yang dingin.

“Rumah ini seperti museum. Cantik tapi tak berjiwa.” Dia menggerutu.

Setelah makan, Amara mencuci piring, menyapu lantai, bahkan sempat melap permukaan meja dapur. Ia terbiasa mengurus rumah, tapi di sini… ia merasa seperti pembantu yang dibayar dengan harga tubuh.

Jam delapan malam, Amara naik ke kamar. Mandi. Mengenakan piyama satin biru yang telah disiapkan dalam lemari. Menyemprotkan sedikit parfum vanila.

Lalu duduk menanti.

Malam ini adalah malam pertama yang mereka sepakati dalam kontrak.

Setiap detik seperti berdetak terlalu nyaring.

Setengah sembilan.

Sembilan lewat lima.

Setengah sepuluh.

Amara berdiri di dekat jendela, menatap ke bawah. Tak ada suara mobil. Tak ada tanda kehidupan.

“Dia bilang akan pulang malam… kalau sibuk kenapa enggak bilang kalau malam pertamanya besok aja.” Amara menggerutu, dia lelah menunggu.

Eh, tapi. Kenapa dia jadi bersemangat?

Amara hanya ingin tugasnya selesai, dia orang yang penuh tanggung jawab.

Ia menyalakan lampu meja. Menyandarkan kepala ke ranjang. Tapi tubuhnya terlalu tegang untuk bisa rebah tenang.

Lalu…

Bunyi mesin mobil diikuti suara pintu tertutup.

Langkah kaki mendekat. Pintu utama terbuka, lalu tertutup pelan.

Langkah itu menaiki tangga.

Berhenti.

Lalu—

Tok.Tok

Pintu kamar diketuk dua kali.

Amara menahan napas. Pintu terbuka perlahan.

Arga berdiri di ambang pintu. Kemeja putihnya masih membalut tubuh, tapi lengannya digulung. Tatapannya menyisir tubuh Amara dari atas ke bawah.

“Kamu siap?”

Suara itu datar, namun ada bara yang menunggu menyala.

Dan Amara tahu…

Inilah awal malam yang tak bisa lagi ia tolak.

***

Amara berdiri di depan cermin, hanya mengenakan daster tipis berbahan satin warna biru muda. Rambutnya tergerai, tubuhnya diam mematung di kamar yang asing.

Dan ketika pintu terbuka perlahan, suara langkah kaki berat itu terdengar seperti palu pemutus takdir.

Arga berdiri di ambang pintu. Masih mengenakan kemeja kerja putih, lengan digulung sampai siku. Tatapannya tidak menilai, tapi… menuntut.

“Kamu siap?”

Pertanyaan Arga itu membuat tubuh Amara menegang.

“Buka bajunya.” Suaranya rendah, nyaris perintah.

Amara memejamkan mata sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di ujung ranjang dengan raut wajah penuh keraguan.

“Kamu udah minum pil KB?”

“Udah,” jawab Amara lirih.

“Kalau begitu, mari kita mulai bagian dari kontrak yang paling penting ini.”

Jari-jarinya menyentuh dagu Amara. Mengangkat wajah itu agar menatapnya. Ia tidak menemukan ketakutan di sana, hanya pasrah. Tapi pasrah bukan tunduk. Itu… bertahan.

Lalu jarinya menyentuh bahu Amara, menyeret tali tipis dasternya ke bawah. Kulit bersentuhan. Suhu ruangan seolah berubah drastis.

Satu yang Arga bisa nilai dari fisik Amara adalah sempurna, parasnya yang cantik dan tubuhnya putih mulus.

“Saya enggak akan menyakiti kamu … tapi saya juga enggak akan memanjakanmu,” bisiknya tepat di dekat telinga Amara.

Amara menahan napas.

Arga menunduk, mengecup bibir Amara pelan. Sekali. Lalu lagi. Dan berubah—keras, dalam, menuntut.

Amara terkesiap, tangannya mencengkeram seprai. Punggungnya refleks mundur, Arga mendorongnya pelan hingga punggungnya menyentuh kasur.

“Jangan berpikir,” bisik Arga. “Tubuhmu tahu bagaimana caranya menikmati.”

Daster itu tersingkap perlahan, kain satin jatuh dari pundak, menyingkap kulit putih yang gemetar. Arga mengecup tulang selangka Amara, lidahnya bermain sesaat, membuat napasnya terhenti.

Dan di saat yang bersamaan Arga menanggalkan seluruh pakaiannya.

Amara menutup mata. Ia benci bagaimana tubuhnya bereaksi.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Tubuhnya panas. Dadanya naik turun. Tapi otaknya… kosong. Ia bukan kekasih. Ia bukan pasangan. Ia hanya istri kontrak.

“Kalau kamu merasa ini salah,” bisik Arga di telinganya, “Memohon lah agar saya berhenti. Tapi kalau kamu enggak menolak… saya akan menganggap kamu menerimanya.”

Amara membuka mata. Menatap pria itu lekat-lekat. “Saya… enggak akan lari dari tanggung jawab.”

Itu cukup.

Saat bibir Arga mendarat di lehernya, bukan rasa manis yang menyambut—tapi panas. Terbakar. Dingin yang berubah jadi bara hanya dalam hitungan detik.

Sentuhan pria itu kasar. Rakus. Tapi bukan tanpa arah.

Amara ingin menolak. Ingin menarik diri. Namun tubuhnya lemas. Dan matanya tak mampu menatap balik.

Arga mencium bibirnya lagi kali ini lebih keras, penuh gairah, dan membuat jantung Amara nyaris berhenti. Itu bukan ciuman seorang kekasih. Itu adalah tanda milik. Sebuah deklarasi.

Namun di sela nafas yang terengah, Arga terdiam sejenak.

Ia menatap mata Amara.

Dan untuk sepersekian detik—hanya sekejap—ada keraguan. Ada luka.

“Saya enggak percaya cinta, Amara,” ucapnya lirih. “Jadi jangan berharap apa pun dari saya.”

“Saya enggak akan berharap,” jawab Amara, jujur.

Itu yang mematikan rem dalam tubuh Arga.

Ia membawa tubuh Amara perlahan ke tengah tempat tidur, mencumbu garis rahangnya, dada, perut, hingga pangkal paha dengan gerakan terukur, dominan, dan intens.

Gairah itu menyiksa. Tapi bukan karena sakit melainkan karena tidak diiringi rasa.

Amara menutup matanya.

Arga kembali mencium bibir Amara yang kali itu berubah menjadi sentakan. Nafas, desahan, dan tubuh yang beradu tanpa kasih, tapi penuh gairah.

Arga menguasai. Memimpin. Tapi tidak menyakiti.

Tangannya menjelajah lembut tapi pasti. Setiap sentuhan membuat tubuh Amara mengejang. Dada mereka saling bersentuhan, kulit pada kulit. Suara lembut keluar dari tenggorokan Amara, tanpa izin.

“Arga ...,” desahnya di antara napas yang memburu.

Arga berhenti sesaat. Tatapannya gelap, penuh badai.

“Jangan panggil nama saya seperti itu … kecuali kamu ingin saya kehilangan kendali.”

Amara langsung memejamkan mata, menggigit bibir. Dan saat itu, Arga menekannya penuh. Membuat tubuh mereka benar-benar menjadi satu.

Dentuman pertama itu menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi adalah fakta bahwa tubuhnya… menerimanya.

Arga sempat berhenti menatap wajah Amara sebentar.

“Kamu … perawan,” katanya dengan nada terkejut.

Amara tidak mempedulikan ucapan Arga itu karena tubuhnya sedang menggigil.

“Emh ….” Suaranya pecah. Tapi pelan-pelan, sakit itu berganti dengan sensasi asing yang membuatnya ingin merintih.

Arga bergumam rendah, mencium leher Amara sambil bergerak ritmis. Tak ada kata cinta. Hanya napas, detak, dan insting primitif yang tak bisa disembunyikan.

Di dalam kamar itu, suara napas, decak lembut, dan desahan pelan jadi bahasa baru yang tak mereka mengerti tapi tak bisa mereka hentikan.

Tubuh mereka menyatu. Keras dan lembut. Diam dan gaduh. Nafas dan luka.

Amara menggigit bibir saat lengannya melingkar lemah di punggung Arga. Entah sejak kapan… ia mulai menggigil bukan karena takut tapi karena menikmati.

Tubuh mereka saling mengisi. Saling melawan. Tapi pada akhirnya … menyerah.

Ketika semuanya reda dan napas mereka mulai tenang, Arga tidak bicara sepatah kata pun. Ia hanya bangkit dari ranjang, meraih kemejanya kembali, dan berjalan ke arah pintu.

“Sarapan pagi jam 6. Jangan terlambat.”

Pintu tertutup.

Amara berbaring terlentang, menatap langit-langit gelap.

Tangannya menyentuh bawah perutnya yang masih berdenyut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Yang Terikat

    Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran

    Последнее обновление : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

    Последнее обновление : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

    Последнее обновление : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

    Последнее обновление : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

    Последнее обновление : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

    Последнее обновление : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

    Последнее обновление : 2025-04-13
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

    Последнее обновление : 2025-04-14

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Yang Terikat

    Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Rumah Yang Sunyi

    Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status