Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis.
Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang harus aku biasakan sebagai seorang istri.” “Kalau kamu butuh bantuin ngoreksi tugas anak-anak, bilang ya. Aku bantuin.” Amara mengangguk, tapi sebelum sempat menjawab, ponselnya bergetar. Nama “Ima” muncul di layar. “Halo?” “Maaf mengganggu, Bu. Ibu Sumiati rewel sejak tadi. Tidak mau sarapan, katanya nungguin Bu Amara yang masak sendiri .…” Amara menutup mata sejenak. Suara Ima terdengar sabar, tapi Amara tahu benar betapa keras kepala ibunya. “Aku pulang cepat hari ini. Tolong sabar ya, Ima. Kasih bubur dan teh hangat. Bilang aja Amara nitip kecupan di kening lalu kamu cium keningnya.” “Baik, Bu.” Setelah menutup telepon, Amara bersandar sebentar. Rania menatapnya khawatir, tapi tidak bertanya lagi. Mereka berdua tahu batas mana yang tak bisa dipaksa untuk diucap. Sementara itu di kantor pusat CitraKredit. Arga duduk di ruang rapat dengan tim legal, tapi pikirannya entah di mana. Seseorang sedang mempresentasikan analisis risiko hukum dari platform baru mereka. Tapi Arga hanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar membaca isinya. “Kenapa ekspresi dia masih terbayang?” Arga membatin. “Kenapa suara napasnya, bahkan gerakan tangannya menata piring, lebih mengganggu daripada suara Zeno yang cerewet?” Masih suara dalam benak Arga. Arga menggenggam pulpen, menekannya berulang kali. “Arga?” suara Zeno pelan di sampingnya. “Lo denger enggak barusan?” Arga menoleh. “Ulangi poin terakhir.” Zeno menyipitkan mata, lalu tersenyum menyebalkan. “Kepikiran sesuatu … atau seseorang?” Arga hanya menjawab dengan tatapan tajam. Tapi dalam diamnya, satu hal ia sadari: Semakin ia ingin menjauh, bayangan Amara justru semakin dekat. Mungkin karena tinggal bersama seorang wanita adalah hal baru bagi Arga, dia hanya belum terbiasa. *** Amara turun dari ojek online dengan wajah letih tapi penuh rindu. Ia membawa tas belanja kecil berisi makanan kesukaan ibunya—bubur ayam tanpa santan, pisang rebus, dan susu hangat. Begitu memasuki rumah sederhana itu, aroma kayu tua dan minyak gosok langsung menyambutnya. “Ibu…,” panggil Amara pelan sambil membuka pintu kamar. Ima berdiri di samping ranjang, tersenyum lega melihatnya. “Ibu nungguin dari pagi,” ujar Ima lirih, lalu permisi keluar kamar untuk memberi ruang. Di atas ranjang, Sumiati menoleh pelan. Mata setengah buramnya langsung berbinar. “Ra… kamu datang,” bisiknya. Amara duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan ibunya yang dingin. “Maaf baru bisa datang sekarang, Bu. Tadi ada pelajaran tambahan. Tapi sekarang Amara di sini.” Sumiati menatapnya lama, seperti sedang menelaah wajah anaknya yang kini lebih dewasa, lebih kalem, tapi juga lebih lelah. Dia terus memindai Amara dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Ra … Ibu nanya sesuatu, boleh?” Amara mengangguk. “Boleh, Bu. Apa?” “Kenapa kamu pakai cincin kawin?” Suara ibu itu kecil. Tapi seperti petir menyambar di dada Amara. Amara terdiam sejenak. Jemarinya otomatis menyembunyikan tangan kirinya di balik paha. Sumiati melanjutkan, “Ibu ini memang enggak bisa banyak gerak, tapi Ibu belum buta. Dan kamu… anak Ibu. Kalau ada yang berubah, Ibu pasti tahu.” Padahal tadi Ima keceplosan saat Sumiati bertanya tentang asal-usul Ima, awalnya hanya obrolan ringan tapi kemudian Ima mengatakan kalau dia dibayar oleh pak Arga-suaminya Bu Amara. “Bu Amara harus tinggal di rumah pak Arga jadi Ima dipekerjakan untuk merawat Ibu Sumiati.” Itu kalimat yang terucap polos dari bibir Ima. Amara menunduk. Napasnya gemetar. Suaranya pelan nyaris tak terdengar saat menjawab. “Maaf, Bu… aku… aku memang udah menikah.” Sumiati menggenggam tangan Amara lebih erat. “Kapan?” kejar Sumiati dengan tatapan tak percaya. “Baru kemarin.” “Dengan siapa? Kenapa Ibu enggak tahu apa-apa? Kenapa kamu enggak bilang dari awal?” Suara Sumiati mulai bergetar. Tangannya mencengkeram selimut. Amara buru-buru meredakan. “Bu, ini pernikahan yang… rumit. Aku enggak bisa cerita semuanya. Tapi, aku janji, aku baik-baik aja. Suamiku orang baik… setidaknya, dia menjaga aku dan Ibu.” “Pernikahan bukan soal dijaga, Ra. Pernikahan itu seumur hidup. Kamu selalu bilang enggak akan menikah sebelum Ibu sehat, kamu ingat?” Air mata Amara mulai jatuh. Ia mencium tangan ibunya dengan gemetar. “Aku tahu. Tapi keadaan memaksaku, Bu. Aku… enggak punya pilihan. Tadinya aku enggak mau Ibu tahu utangnya Rendy. Aku enggak mau rumah ini disita. Jadi aku ambil jalan pintas.” “Apa maksud kamu?” Kerutan di kening Suamiati kian dalam. “Rendy berhutang sebanyak satu koma dua milyar ke perusahaan pinjol untuk membiayai judi online … tapi pemilik pinjol menawarkan pernikahan kontrak karena dia membutuhkan seorang istri—“ Belum sempat Amara melanjutkan kalimatnya, Sumiati memalingkan wajah, menahan tangis. “Anak Ibu menikah tanpa restu. Ibu enggak ada di sana… enggak pegang tanganmu… enggak lihat kamu pakai kebaya…dan ironisnya, pernikahan kamu adalah pernikahan kontrak … ibu harus mempertanggung jawabkan dosa kamu di akhirat nanti, Amara.” Sumiati menangis. Amara memeluk ibunya erat. “Biar aku yang bertanggung jawab, Bu … aku yang memilih ini agar kita masih punya tempat tinggal.” Sumiati malah meraung. “Rendy! Pulang kamu Rendy! Jahat kamu Rendy sama kakak kamu.” “Bu, sudah Bu.” Dan untuk sesaat, dua perempuan itu tenggelam dalam pelukan, di tengah kamar kecil yang jadi saksi pengorbanan seorang anak … dan hati seorang ibu yang remuk karena putrinya menikah kontrak. *** Rumah tua itu begitu sunyi. Ima sudah tertidur di ruang tengah, dan Sumiati pun akhirnya terlelap setelah menangis lama di pelukan putrinya. Amara menatap wajah ibunya satu kali lagi sebelum bangkit pelan dari sisi ranjang. Ia merapikan selimut, memastikan selang oksigen tidak tertekuk, lalu mencium kening ibunya dengan lembut. “Selamat tidur, Bu. Maaf… untuk semua yang tidak sempat Ibu saksikan hari itu.” Ia berjalan keluar rumah dengan langkah ringan, meski tubuhnya seolah ingin ambruk. Nafasnya pelan. Matanya sembab. Tapi ia tetap kuat berdiri. *** Amara sampai di rumah tepat pukul sepuluh lewat tiga puluh malam. Lampu sensor di halaman menyala otomatis ketika Amara turun dari mobil online yang membawanya pulang. Tubuhnya masih mengenakan blazer dan celana bahan, sepatu datarnya berdebu karena gang sempit di rumah ibunya. Tepat saat itu sebuah mobil sport hitam berhenti perlahan di sisi rumah. Arga turun dari balik kemudi, mengenakan setelan kerja yang mulai kusut. Dasinya sudah dilepas dan wajahnya menunjukkan lelah yang sama seperti milik Amara. Tatapan mereka bertemu dalam diam saat berada di teras. “Kamu baru pulang?” tanya Arga, nada suaranya datar tapi tak mengandung marah. Amara mengangguk pelan. “Dari rumah Ibu.” Jawabannya singkat. Tapi suara itu serak. Matanya merah, sembab. Hidungnya kemerahan. Dan bahunya tampak sedikit bergetar seperti habis menahan tangis dalam perjalanan pulang. Arga mengerutkan kening. “Kenapa … kamu nangis?” Arga membuka pintu. Amara tak menjawab. Arga menghentikan langkah di tengah rumah membuat Amara ikut menghentikan langkahnya juga. Lalu Arga berbalik dan maju satu langkah mendekat. “Aku enggak marah. Aku cuma tanya .…” Mata cantik Amara yang masih terdapat jejak buliran kristal menatap Arga lekat lantaran terkejut mendengar panggilan aku-kamu keluar dari mulut pria itu yang biasanya formal. “Aku tahu,” potong Amara pelan. “Aku tahu kamu enggak marah.” Amara menyahut sama santainya. Dan seketika Arga tersadar kalau mereka sudah menggunakan panggilan tidak formal. Amara melengos pergi tanpa bicara, menaiki tangga menuju kamarnya—masih dengan langkah tenang, tapi seperti robot yang kehilangan daya. Arga berdiri di ujung tangga paling bawah selama beberapa detik. “Apa yang terjadi di rumahnya … sampai dia pulang seperti ini?” Pertanyaan itu menggantung di benak Arga. Tapi seperti biasa, ia memilih tidak menyelami terlalu dalam. Karena dalam perjanjian mereka, perasaan tidak termasuk di dalam kontrak.Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk
Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa
Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal
Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli
Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in
Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”
“Utangnya atas nama siapa?” Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang
Amara menggenggam koper kecil di pangkuannya, duduk di pojok gerbong LRT yang nyaris kosong. Jam delapan pagi dan langit Jakarta seperti ikut menyimpan rahasia yang hendak ia telan bulat-bulat. Tubuhnya diam, tapi batinnya gemuruh. Nafasnya pendek-pendek dan sesekali ia menyeka keringat di pelipis yang tak kunjung berhenti meski AC menyala. Matanya menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi berkelebat cepat, secepat langkah hidupnya berubah semalam. Dari guru sederhana jadi calon istri seorang CEO—dalam waktu kurang dari 24 jam. Bukan karena cinta. Tapi karena utang. Karena adiknya. Karena tak ada pilihan lain. “Sebentar lagi kamu menikah, Ra…” “Dengan pria asing … yang bahkan enggak pernah tersenyum padamu.” Suara itu bergaung di kepalanya. LRT berhenti di stasiun Dukuh Atas. Amara berdiri, menyeret kopernya lalu bergegas masuk ke toilet umum di pojok terminal. Tangan Amara gemetaran saat membuka kancing blus, menggantinya dengan kebaya puti
Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”
Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in
Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli
Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal
Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa
Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk
Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru
Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran
Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di