Share

Tubuh Yang Terikat

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-07 20:32:27

Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong.

Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri.

Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu.

“Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan.

Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga.

Amara memalingkan wajah.

Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu.

Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru terlihat semakin maskulin. Ia masuk ke ruang makan seperti biasa—tanpa kata, tanpa ekspresi.

Amara buru-buru mengambil dua piring dan menata makanan.

“Saya enggak tahu kamu suka sarapan apa jadi saya buat ini aja,” katanya pelan sambil meletakkan satu piring di hadapan Arga.

Pria itu hanya duduk tidak merespon, mengaduk sendok tanpa banyak bicara. Hening membentang di antara mereka. Bukan keheningan nyaman—tapi asing. Kaku. Seperti dua orang yang tak mengenal satu sama lain, meski tubuh mereka baru saja saling menyatu semalam.

Arga makan perlahan tanpa memprotes meski menu sarapan paginya hanya telur dan sawi. Sesekali matanya menatap ke arah luar jendela, seperti ada beban tak kasatmata yang menekan kepalanya.

Amara lebih sering menunduk. Sesekali mencicipi makanannya sendiri, tapi tak bisa merasakan apa-apa.

“Zeno akan kirim list menu makanan yang bisa kamu buat untuk sarapan pagi dan makan malam,” ucap Arga tiba-tiba.

Amara menoleh. “Baiklah… saya akan memasak menu kesukaan favorite kamu itu.”

Arga tak menjawab. Hanya mengangkat gelas berisi air putih dan meneguknya pelan.

Setelah beberapa menit, ia bangkit dari kursi lalu menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Amara mencuci piring satu per satu. Lalu mengepel lantai, membersihkan meja, dan menyemprot ruang tamu dengan pengharum ruangan.

Ia mencoba merasa berguna. Tapi rumah itu tetap dingin.

“Tubuhku milik dia. Tapi hatiku masih milikku sendiri,” bisiknya.

Karena entah kenapa, setiap kali mengingat suara Arga semalam—napasnya, ciumannya, keterkejutannya saat tahu dirinya masih perawan—ada bagian di dada Amara yang ikut berdenyut … bingung.

“Jangan berharap,” katanya sendiri.

“Karena di rumah ini, tak ada tempat untuk hati.”

Setelah Amara selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, Arga turun dari lantai dua dengan tubuh segar dibalut pakaian rapih yang biasa dia kenakan untuk bekerja.

“Saya pulang malam, jangan menunggu dan jangan lupa minum pil KB setiap hari untuk berjaga kalau saya sedang menginginkanmu.”

Amara memejamkan mata sekilas, demi apa itu kalimat Arga sangat menusuk di jantungnya.

“Baik.” Amara menjawab datar.

“Tentang semalam…”

Amara menahan napas menunggu kalimat Arga selanjutnya.

“Jangan bawa itu ke hati. Jangan berpikir terlalu jauh.”

Arga menoleh. Tatapannya datar. Ada bayangan aneh di mata itu—seperti keraguan yang tak jadi lahir.

“Saya enggak akan menganggap itu apa-apa,” jawab Amara pelan, tapi tegas.

Arga mengangguk sekali. Lalu mengambil kunci mobil dari gantungan.

“Pastikan semua lampu dan kompor mati juga semua pintu terkunci saat kamu tinggal.” Arga berpesan sebelum akhirnya melewati pintu dan terdengar suara pintu tertutup.

Sekali lagi, Amara berdiri sendiri. Rumah itu kembali sunyi.

Amara pergi ke kamar untuk bersiap pergi mengajar, ia mencoba melupakan apa yang terjadi tadi malam dan pagi ini, dia mencoba… merasa normal.

Tapi rasa sakit di tubuhnya, tatapan dingin Arga tadi dan suara detak jam yang nyaring membuat semua usaha itu sia-sia.

Ia mengangkat wajah ke arah langit-langit tinggi kamar itu.

Dan bertanya dalam hati, “Berapa lama aku bisa bertahan tanpa dicintai … dan tanpa jatuh cinta?”

***

Mobil sport hitam itu melaju tenang keluar dari cluster.

Arga memegang kemudi dengan satu tangan. Sedangkan tangannya yang lain meninju stir pelan, frustrasi diam-diam yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan logika.

“Dia terlalu tenang,” gumamnya dengan raut wajah kesal.

Amara tidak menangis, tidak menempel, tidak manja. Ia memasak, berbicara seperlunya, dan bahkan bisa menjawab dingin dengan wajah datar. Tapi justru itu yang membuat Arga terusik.

“Dia seperti bukan bagian dari pola.” Arga bergumam.

[FLASHBACK – tujuh tahun lalu]

Sore itu, di rooftop hotel bintang lima. Langit Jakarta berwarna oranye keemasan. Arga berdiri dengan tuksedo lengkap di sebuah pesta pernikahan sahabatnya, sementara Cassandra—wanita yang ia cintai sejak kuliah—berlutut sambil menyodorkan cincin.

“Maukah kamu menikah denganku, Arga?”

“Karena aku enggak mau menunggu kamu siap lebih lama lagi.”

Orang-orang bersorak. Para tamu pesta langsung mengangkat kamera untuk mengabadikan momen tersebut padahal bukan mereka sang pemilik pesta.

Dan Arga, yang selama ini terlalu rasional, terlalu kaku, akhirnya luluh. Ia mengangguk.

Tapi anehnya satu tahun kemudian, Cassandra kabur bersama CEO muda dari perusahaan investasi Singapura.

Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya satu pesan singkat:

“Aku mencintai kamu, tapi aku enggak bisa hidup sebagai nomor dua dalam hidupmu. Maaf.”

Bayangkan bagaimana malunya Arga?

Pasalnya lamaran Cassandra itu disaksikan oleh banyak orang yang mengenalnya, belum lagi Cassandra sudah diperkenalkan kepada kedua orang tuanya yang ternyata juga mengenal kedua orang Cassandra.

Lalu tiba-tiba kabar Cassandra berpacaran dengan pengusaha muda Singapura menjadi trending Topic di circle-nya.

Arga harus mendapati tatapan iba dari orang-orang selama beberapa tahun.

Sejak itu, Arga berubah.

Ia bekerja keras mengembangkan CitraKredit yang telah dibangunnya dari nol yang rencana awalnya untuk menghidupi mereka dan anak-anak mereka di masa sekarang hingga masa depan.

Namun dengan kerja keras dan fokusnya setelah dikhianati Cassandra, hanya dalam waktu beberapa tahun saja, Arga berhasil mengembangkan perusahaan berbasis logika, sistem, angka tersebut hingga setara dengan bisnis besar lainnya di Indonesia.

Menurut Arga, cinta adalah investasi paling bodoh. Penuh harapan, tapi tanpa jaminan balik modal.

Ia tak pernah lagi membiarkan siapa pun menyentuh hatinya.

Semua hubungan adalah transaksi.

Dan semua perempuan, datang karena butuh uang.

Termasuk Amara.

“Jangan terlalu polos, Amara. Aku tahu kamu cuma ingin menyelamatkan keluargamu. Dan itu… sama saja dengan perempuan yang lain.”

***

Arga memasuki ruangannya dengan wajah datar. Ia sudah menuntaskan tiga rapat, menjawab dua puluh lima email, dan menolak dua panggilan dari Gunawan.

Tapi satu hal masih menempel di pikirannya sejak tadi pagi: Amara.

Kenapa tubuhnya masih terasa di ujung jarinya?

Kenapa wajahnya masih terbayang?

Pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan.

“Selamat siang, Tuan Baskara,” sapa Zeno dengan gaya berlebihan, satu tangan meniru pelayan kerajaan. “Saya datang bukan untuk menyerahkan laporan, tapi untuk—menanyakan malam pertama Anda!”

Arga mengerutkan kening. “Keluar lo.”

“Eits, jangan galak dulu dong. Gue cuma penasaran… lo serius semalam tidur bareng cewek yang bahkan baru lo kenal kemarin?” Zeno menarik kursi dan duduk tanpa izin di depan meja Arga.

Arga menghela napas. “Itu urusan pribadi.”

Zeno menyandarkan punggung. “Oke, fine. Tapi… gimana rasanya? Biasa aja? Atau… mindblowing?” Zeno membulatkan matanya.

Lalu dia berbisik, nakal, “Lebih oke dari Cassandra, enggak?”

Arga menegang. Wajahnya berubah seketika.

Zeno mengangkat kedua tangan. “Eh, sorry… gue becanda.”

Tapi Arga tetap mematung dengan tatapan kosong.

Ingatannya ditarik mundur ke sepuluh tahun lalu di sebuah kamar hotel.

Cassandra duduk di atas seprai putih, tertawa pelan saat Arga menyentuh pipinya. Malam itu adalah pertama kalinya mereka tidur bersama.

Tapi… sekarang ketika ia ingat kembali….

Tidak ada rasa canggung.

Tidak ada hambatan.

Tidak ada… rasa sakit.

Waktu itu, ia berpikir Cassandra hanya sangat percaya diri. Tapi malam tadi dengan Amara—dengan tubuh yang gemetar, napas yang tertahan, dan darah yang menyisakan tanda—membuat Arga sadar satu hal:

“Cassandra mungkin tidak pernah jujur sejak awal.” Arga bergumam pelan.

Tangannya mengepal di atas meja. Zeno memperhatikan perubahan ekspresi itu.

“Arga? Lo kenapa?”

Arga menatap layar MacBook kosong di hadapannya, tapi pikirannya jauh ke malam sebelumnya.

Kenapa perasaan itu masih ada?

Kenapa gadis itu justru membuat semua luka lama kembali terasa?

“Gaaa!” Zeno melambaikan tangannya di depan Arga.

“Keluar Zeno, gue lagi emosi.” Arga mengatakannya dengan nada rendah tanpa menatap wajah Zeno dan sebagai sahabat Zeno tahu kalau Arga sedang marah besar, entah karena apa.

Tapi jika memang karena kesalahannya, Zeno akan meminta maaf nanti.

Untuk sekarang, Zeno haru lari terbirit-birit keluar dari ruangan Arga dulu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

    Last Updated : 2025-04-07
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

    Last Updated : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

    Last Updated : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

    Last Updated : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

    Last Updated : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

    Last Updated : 2025-04-13
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

    Last Updated : 2025-04-14
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Nilai Yang Tak Bisa Dibayar

    “Utangnya atas nama siapa?” Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang

    Last Updated : 2025-04-07

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Yang Terikat

    Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Rumah Yang Sunyi

    Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status