Suasana restoran mewah itu seharusnya membawa kehangatan bagi pasangan mana pun mengingat sedang digelar acara tunangan di sana.Tapi bagi Arga, makan malam bersama Amara justru menghadirkan kegelisahan yang tak biasa.Ia duduk tegap, menyendok sup krimnya dengan sikap formal, tapi matanya—matanya terus melirik ke arah wanita yang duduk di seberangnya.Amara terlihat santai. Gerakannya lembut. Matanya jernih. Bibirnya sesekali tersenyum kecil. Ia tidak tampak seperti wanita yang sehari sebelumnya hampir pingsan karena alergi. Justru, ketenangannya yang tak terjangkau itu… membuat Arga gusar.Saat Amara mengangkat sendok kecil berisi saus dan mencicipinya dengan ujung bibir, Arga langsung menegakkan punggung. Ada sesuatu yang menggelegak di dadanya. Sesuatu yang beberapa hari ini dia coba hindari, tapi kini muncul seperti api yang menyambar bensin.Arga menarik napas dalam-dalam, lalu buru-buru meneguk air dingin. Ia tidak tahan.“Udah selesai makannya?” tanyanya tiba-tiba, suara
Pagi itu, aroma roti panggang dan telur rebus memenuhi dapur. Amara berdiri di dekat kompor, mengenakan piyama lengan panjang dan apron tipis. Wajahnya bersih tanpa riasan, tapi matanya sembab. Tidak ada senyum pagi ini. Hanya rutinitas.Arga turun dari lantai dua dengan tampilan sempurna seperti biasa—kemeja putih rapi, celana bahan gelap dan jam tangan kulit yang membungkus pergelangan tangan kirinya. Namun, langkahnya sedikit melambat ketika melihat punggung Amara di dapur.Tanpa kata, ia duduk di kursi meja makan. Tatapannya mengikuti gerakan Amara yang begitu efisien: menuang teh ke cangkir, menyajikan roti, lalu menaruh piringnya di hadapan Arga.Amara hanya menyajikan satu piring.“Enggak sarapan?” tanya Arga pelan, mencoba mencairkan suasana.Amara duduk di kursi seberang, meneguk teh hangat tanpa menyentuh roti. “Belum lapar,” jawabnya singkat.“Semalam…,” Arga sempat ingin bicara, tapi kalimatnya tertelan sendiri.Amara mengangkat pandangan menatap Arga, pria itu tamp
Sabtu sore. Udara sedikit panas, tapi langit terlihat cerah.Arga berdiri di depan pintu kamar Amara, sudah rapi dengan setelan jas hitam dan dasi abu-abu gelap. Tangannya mengepal pelan di sisi tubuh.Pintu kamar terbuka. Amara muncul dengan gaun sage green yang Arga pilihkan sebelumnya. Rambutnya disanggul setengah, anting mutiara menggantung manis di telinganya. Wajahnya tanpa riasan berat, hanya bedak dan lipstik nude tipis.Arga terdiam.Untuk sesaat, waktu seperti berhenti.Amara melirik ke arahnya. “Kita pergi sekarang?”Arga mengangguk. Tapi tak ada kalimat pujian seperti biasanya di drama romantis.Tidak ada “kamu cantik hari ini.”Tidak ada “aku senang kamu menemaniku.”Hanya hening.Namun di balik ketegangan itu, hati Arga berdetak dua kali lebih cepat.Entah matanya sudah tidak berfungsi dengan baik atau bagaimana karena dalam pandangan Arga-Amara begitu cantik memukau.***Di dalam mobil, keduanya duduk diam. Musik instrumental dari radio menyelimuti kehening
Baru beberapa menit mereka menikmati makanan ala pesta crazy rich itu, suara hak tinggi menghentak lantai marble menarik perhatian.Seseorang mendekat.Parfum bunga yang kuat menusuk hidung.Cassandra Wibisono.Dengan gaun berkilau warna champagne, rambut panjangnya ditata bergelombang sempurna, wanita itu tampak seperti model dari majalah fashion.“Arga,” sapa Cassandra, senyum manis di wajah, tapi matanya menusuk seperti pisau.Amara menegang di sisi Arga.Cassandra lalu berpura-pura baru menyadari keberadaan Amara. “Oh? Kamu bawa istri?”“Iya,” sahut Arga singkat.Kata itu membuat Cassandra mendengkus.Lalu Cassandra melirik Amara dari atas ke bawah.“Lucu ya, aku kemarin bertemu ayah kamu dan memberitahunya tentang pernikahan kamu, kamu tahu apa katanya?” Cassandra kembali melirik Amara seolah menilai barang dagangan.Arga hanya menatap Cassandra dingin. “Katanya kamu paling beli istri di online store.” Amara tersenyum tipis. Ia tak akan membalas serangan ini denga
Chapter 18 – Pelukan Tanpa SadarMinggu pagi.Udara di kompleks perumahan masih sejuk, angin berembus lembut membawa aroma rumput basah. Matahari baru naik setengah, sinarnya menerobos tipis di sela dedaunan.Arga baru saja selesai jogging. Kaus olahraganya basah di punggung, celana training panjang membungkus kakinya yang kuat. Napasnya masih sedikit berat, tapi langkahnya santai saat memasuki rumah.Begitu membuka pintu, ia langsung mencium aroma roti panggang dan kopi.Di dapur, Amara sedang sibuk. Rambutnya dikuncir kendor ke belakang, wajahnya segar tanpa make-up, hanya mengenakan kaus oversized yang mengekspose satu sisi pundaknya dan celana pendek kain yang membuatnya terlihat… nyaman dan juga seksi. Terlalu nyaman dan seksi untuk ukuran seorang ‘istri kontrak’.Arga berhenti sejenak di ambang pintu, memperhatikannya. Ada rasa aneh di dadanya—semacam kehangatan yang tidak biasa.“Permisi, Pak.” Bi Eti datang sembari membawa sapu dan pengki dari belakang Arga membuat pria
Gang kecil itu terasa sempit dan panas.Tapi anehnya, Amara tersenyum sepanjang jalan. Karena genggaman tangan Arga di tangannya terasa nyata, terasa menguatkan.Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar pendek dari besi berkarat. Cat tembok rumah itu sudah pudar, tapi tetap bersih dan rapi.Amara mengetuk pintu sambil berseru, “Imaaa!”Tak lama, seorang perempuan berambut pendek membuka pintu dengan wajah sumringah.“Bu Amara!” Ima-sang perawat tampak bahagia karena setiap kali Amara datang, pasien yang dia tangani yang tidak lain adalah ibunya Amara selalu kooperatif, mau minum obat, mau makan karena bahagia.“Masuk, Bu, masuk!”Amara tertawa pelan, lalu menoleh ke belakang. “Masuk, Ga.”Ima langsung mengangguk kepada Arga sebagai sapaan penuh hormat.“Pak Arga …,” gumamnya. Arga balas mengangguk kecil tanpa ekspresi.Amara menarik tangan Arga masuk ke dalam. Ruangan tamu itu kecil, beralas karpet tipis. Ada kursi kayu dengan bantalan usang, d
Sampai di rumah, Arga langsung masuk lebih dulu, membuka jaket dan melemparkannya asal ke sofa.Amara yang mengikuti di belakangnya, menggenggam ujung rok, merasa gugup karena ucapan Arga di mobil masih bergema di telinganya.“Aku mandi dulu,” kata Amara sambil berjalan cepat menuju tangga.Arga mengikuti Amara ke lantai dua, dia juga merasa tubuhnya lengket dan butuh mandi.Beberapa saat kemudian, Arga keluar dari kamar, sudah mengenakan celana pendek santai dan kaus hitam yang membingkai sempurna tubuh atletisnya. Rambutnya masih basah, ada sisa tetesan air di garis rahangnya.Amara berdiri kikuk di depan pintu kamarnya, dia juga baru selesai mandi. Rambutnya basah, kulitnya terlihat lebih cerah, aroma sabun lembut masih menempel.Mata mereka bertemu sejenak.Seketika ruangan terasa lebih kecil. Lebih sempit. Lebih… panas.Tanpa banyak kata, Arga melangkah menghampiri Amara.“Udah siap?” suaranya berat, nyaris serak.Amara mengangguk, meski napasnya sedikit tercekat.Dala
Pagi itu, Amara yang baru habis mandi membuka pintu kamar bersamaan dengan Arga yang tengah berjalan di lorong. Gara-gara momen bercinta pagi ini membuat mereka kesiangan. Amara berlari kecil di belakang Arga menuruni anak tangga dengan blazer yang belum dikancing dan rambut belum disisir apalagi make up. “Aku kesiangan,” kata Amara sembari mengoles roti asal-asalan dengan selai strawberry di dapur. “Kamu sih,” kata Arga bergumam setelah menenggak sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas. “Kamu yang ngajakin gituan pagi-pagi,” balas Amara tidak mau kalah sembari mengerucutkan bibir menggemaskan membuat Arga terkekeh. Arga menarik Amara lebih dalam ke area kitchen island setelah istrinya itu meletakan roti di atas piring. “Katanya kesiangan, tapi kamu mancing-mancing terus.” Arga bergumam sembari mengancingkan blazer Amara. Jantung Amara seketika berdetak sangat kencang. Setelah Arga selesai, Amara bergegas menjauh dengan gesture gugup yang kentara. Dia
Malam itu, setelah makan malam terakhir yang penuh kehangatan dan godaan dari para peserta gathering, Amara dan Arga kembali ke kamar villa mereka. Lorong menuju kamar terasa sunyi, hanya terdengar langkah kaki mereka yang beriringan. Keduanya berjalan berdampingan, namun tidak ada kata yang terucap.Udara dingin Ciwidey menyusup melalui celah-celah jendela, menambah keheningan yang menyelimuti villa. Sesampainya di kamar, Amara segera mengganti pakaiannya dengan piyama hangat, sementara Arga duduk di tepi ranjang, sambil memeriksa email di iPad yang selalu ia bawa ke mana-mana.Amara meliriknya sekilas lalu dengan ragu-ragu, ia berbaring di sisi ranjang, membelakangi Arga.Beberapa menit berlalu dalam keheningan.Terasa pergerakan Arga yang bangkit dari atas ranjang kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Tidak lama kemudian Arga keluar, wajahnya tampak segar lalu mengganti pakaian dengan pakaian tidur nyaman.Jantung Amara berdebar kencang saat Arga mematikan lampu.Malam in
Area taman belakang villa sudah dipenuhi pasangan-pasangan yang bersemangat.Panitia gathering memasang banner bertuliskan “Couple Fun Games”, lengkap dengan balon warna-warni dan deretan kursi untuk para peserta.Arga berdiri santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana training abu-abunya, sementara Amara berdiri di sampingnya—gelisah, memainkan ujung sweater oversized yang ia kenakan.“Kita akan lomba apa dulu ya?” bisik Amara, lirih.Arga meliriknya datar. “Apapun itu, kamu jangan bikin malu.”Amara memelototkan mata kecil. “Maksudnya aku yang bikin malu?”Arga hanya mengangkat alis sedikit, ekspresinya tetap malas seperti biasa.“Tuh ‘kan, ngeselin.” Amara bergumam pelan.Tapi anehnya, setelah itu Amara malah tersenyum kecil.Di atas panggung kecil, MC mulai membacakan lomba pertama:“Games pertama—balap kelereng di sendok! Tapi… yang megang sendok di mulutnya adalah suami, dan istri yang meletakkan kelerengnya!”Gelak tawa langsung pecah di seluruh area.Amar
Suasana kamar hanya diterangi lampu tidur berwarna kekuningan.Saat Amara merasa tangan besar itu mulai bergerak di perutnya, mengusap lembut, napasnya langsung tersendat.“Amara,” suara Arga terdengar berat dan serak di telinganya.“Ya?” balas Amara pelan, nadanya bergetar tak terkontrol.“Aku ingin kamu malam ini,” bisik Arga, nadanya dingin tapi dalam, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.Sebelum Amara sempat menjawab apa pun, Arga sudah membalik tubuh Amara menghadapnya.Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas Arga menghangatkan pipi Amara.Bibir Arga merengkuh bibir Amara dalam ciuman dalam yang langsung membakar udara di antara mereka.Bukan ciuman lembut—tapi penuh tuntutan. Penuh hasrat.Amara mendesah kecil, tangannya naik ke pundak Arga, berpegangan seolah tubuhnya bisa runtuh kapan saja.Arga menarik selimut ke atas, membungkus tubuh mereka berdua sebelum tangan-tangannya mulai menjelajahi kulit Amara.Setiap sentuhan Arga membuat Amara mengerang
Sabtu pagi datang dengan udara yang sedikit mendung, tapi justru terasa nyaman.Di lantai dua rumah mereka, kamar Amara tampak sedikit berantakan.Tas makeup, baju ganti, jaket, sepatu, hingga perlengkapan kecil-kecil berserakan di tempat tidur. Di tengah-tengah kekacauan itu, Amara berdiri, bingung sendiri.“Duh… ini bawa berapa baju ya? Kalau terlalu banyak nanti dikira lebay, kalau terlalu sedikit takut kurang…,” gumamnya sendiri sambil melipat satu dress berwarna pastel ke dalam koper.Sementara itu, dari kamar sebelah, suara Arga terdengar samar.Bersama dentingan hanger yang bersenggolan, pria itu tengah bersiap dengan sangat ….Cepat, praktis, tanpa drama.Beberapa menit kemudian, Arga sudah berdiri di depan pintu kamar Amara, mengetuk ringan.Tok.Tok.“Udah siap?”“Beberapa menit lagi!” balas Amara tergopoh, lalu buru-buru mendorong koper ke lantai.Arga bersandar di kusen pintu sambil menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pemandangan di depannya.Amara sibu
Chapter 22 – Detik-Detik yang Mengubah SemuanyaAmara turun dari mobil dan melangkah ringan menyusuri lorong, tote bag di pundak dan wajah yang tak bisa berhenti tersenyum.Momen singkat tadi—ciuman Arga di keningnya sebelum turun dari mobil—masih membekas jelas di ingatannya.Hangat. Manis. Tak terduga.Amara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdetak terlalu cepat.Banyak yang tidak Amara mengerti dari Arga, mulai dari bersedia menjenguk ibu, mau membiayai berobat ibu, tetap tinggal setelah bercinta lalu mengecup keningnya saat mereka hendak berpisah pagi ini.Apa yang Arga lakukan itu adalah peran suami yang sangat mencintai istrinya.Tapi untuk apa?Mereka hanya menikah kontrak dan Amara tidak berekspektasi kalau Arga sampai melakukan semua itu.Pria itu bersikap biasa saja tidak dingin, Amara sudah sangat bersyukur.Atau mengijinkannya pulang bertemu ibu bahkan Amara hampir tidak percaya sewaktu Arga bersedia mengunjungi ibu mengingat
Pagi itu, Amara yang baru habis mandi membuka pintu kamar bersamaan dengan Arga yang tengah berjalan di lorong. Gara-gara momen bercinta pagi ini membuat mereka kesiangan. Amara berlari kecil di belakang Arga menuruni anak tangga dengan blazer yang belum dikancing dan rambut belum disisir apalagi make up. “Aku kesiangan,” kata Amara sembari mengoles roti asal-asalan dengan selai strawberry di dapur. “Kamu sih,” kata Arga bergumam setelah menenggak sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas. “Kamu yang ngajakin gituan pagi-pagi,” balas Amara tidak mau kalah sembari mengerucutkan bibir menggemaskan membuat Arga terkekeh. Arga menarik Amara lebih dalam ke area kitchen island setelah istrinya itu meletakan roti di atas piring. “Katanya kesiangan, tapi kamu mancing-mancing terus.” Arga bergumam sembari mengancingkan blazer Amara. Jantung Amara seketika berdetak sangat kencang. Setelah Arga selesai, Amara bergegas menjauh dengan gesture gugup yang kentara. Dia
Sampai di rumah, Arga langsung masuk lebih dulu, membuka jaket dan melemparkannya asal ke sofa.Amara yang mengikuti di belakangnya, menggenggam ujung rok, merasa gugup karena ucapan Arga di mobil masih bergema di telinganya.“Aku mandi dulu,” kata Amara sambil berjalan cepat menuju tangga.Arga mengikuti Amara ke lantai dua, dia juga merasa tubuhnya lengket dan butuh mandi.Beberapa saat kemudian, Arga keluar dari kamar, sudah mengenakan celana pendek santai dan kaus hitam yang membingkai sempurna tubuh atletisnya. Rambutnya masih basah, ada sisa tetesan air di garis rahangnya.Amara berdiri kikuk di depan pintu kamarnya, dia juga baru selesai mandi. Rambutnya basah, kulitnya terlihat lebih cerah, aroma sabun lembut masih menempel.Mata mereka bertemu sejenak.Seketika ruangan terasa lebih kecil. Lebih sempit. Lebih… panas.Tanpa banyak kata, Arga melangkah menghampiri Amara.“Udah siap?” suaranya berat, nyaris serak.Amara mengangguk, meski napasnya sedikit tercekat.Dala
Gang kecil itu terasa sempit dan panas.Tapi anehnya, Amara tersenyum sepanjang jalan. Karena genggaman tangan Arga di tangannya terasa nyata, terasa menguatkan.Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar pendek dari besi berkarat. Cat tembok rumah itu sudah pudar, tapi tetap bersih dan rapi.Amara mengetuk pintu sambil berseru, “Imaaa!”Tak lama, seorang perempuan berambut pendek membuka pintu dengan wajah sumringah.“Bu Amara!” Ima-sang perawat tampak bahagia karena setiap kali Amara datang, pasien yang dia tangani yang tidak lain adalah ibunya Amara selalu kooperatif, mau minum obat, mau makan karena bahagia.“Masuk, Bu, masuk!”Amara tertawa pelan, lalu menoleh ke belakang. “Masuk, Ga.”Ima langsung mengangguk kepada Arga sebagai sapaan penuh hormat.“Pak Arga …,” gumamnya. Arga balas mengangguk kecil tanpa ekspresi.Amara menarik tangan Arga masuk ke dalam. Ruangan tamu itu kecil, beralas karpet tipis. Ada kursi kayu dengan bantalan usang, d
Chapter 18 – Pelukan Tanpa SadarMinggu pagi.Udara di kompleks perumahan masih sejuk, angin berembus lembut membawa aroma rumput basah. Matahari baru naik setengah, sinarnya menerobos tipis di sela dedaunan.Arga baru saja selesai jogging. Kaus olahraganya basah di punggung, celana training panjang membungkus kakinya yang kuat. Napasnya masih sedikit berat, tapi langkahnya santai saat memasuki rumah.Begitu membuka pintu, ia langsung mencium aroma roti panggang dan kopi.Di dapur, Amara sedang sibuk. Rambutnya dikuncir kendor ke belakang, wajahnya segar tanpa make-up, hanya mengenakan kaus oversized yang mengekspose satu sisi pundaknya dan celana pendek kain yang membuatnya terlihat… nyaman dan juga seksi. Terlalu nyaman dan seksi untuk ukuran seorang ‘istri kontrak’.Arga berhenti sejenak di ambang pintu, memperhatikannya. Ada rasa aneh di dadanya—semacam kehangatan yang tidak biasa.“Permisi, Pak.” Bi Eti datang sembari membawa sapu dan pengki dari belakang Arga membuat pria