Chapter 22 – Detik-Detik yang Mengubah SemuanyaAmara turun dari mobil dan melangkah ringan menyusuri lorong, tote bag di pundak dan wajah yang tak bisa berhenti tersenyum.Momen singkat tadi—ciuman Arga di keningnya sebelum turun dari mobil—masih membekas jelas di ingatannya.Hangat. Manis. Tak terduga.Amara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdetak terlalu cepat.Banyak yang tidak Amara mengerti dari Arga, mulai dari bersedia menjenguk ibu, mau membiayai berobat ibu, tetap tinggal setelah bercinta lalu mengecup keningnya saat mereka hendak berpisah pagi ini.Apa yang Arga lakukan itu adalah peran suami yang sangat mencintai istrinya.Tapi untuk apa?Mereka hanya menikah kontrak dan Amara tidak berekspektasi kalau Arga sampai melakukan semua itu.Pria itu bersikap biasa saja tidak dingin, Amara sudah sangat bersyukur.Atau mengijinkannya pulang bertemu ibu bahkan Amara hampir tidak percaya sewaktu Arga bersedia mengunjungi ibu mengingat
Sabtu pagi datang dengan udara yang sedikit mendung, tapi justru terasa nyaman.Di lantai dua rumah mereka, kamar Amara tampak sedikit berantakan.Tas makeup, baju ganti, jaket, sepatu, hingga perlengkapan kecil-kecil berserakan di tempat tidur. Di tengah-tengah kekacauan itu, Amara berdiri, bingung sendiri.“Duh… ini bawa berapa baju ya? Kalau terlalu banyak nanti dikira lebay, kalau terlalu sedikit takut kurang…,” gumamnya sendiri sambil melipat satu dress berwarna pastel ke dalam koper.Sementara itu, dari kamar sebelah, suara Arga terdengar samar.Bersama dentingan hanger yang bersenggolan, pria itu tengah bersiap dengan sangat ….Cepat, praktis, tanpa drama.Beberapa menit kemudian, Arga sudah berdiri di depan pintu kamar Amara, mengetuk ringan.Tok.Tok.“Udah siap?”“Beberapa menit lagi!” balas Amara tergopoh, lalu buru-buru mendorong koper ke lantai.Arga bersandar di kusen pintu sambil menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pemandangan di depannya.Amara sibu
Suasana kamar hanya diterangi lampu tidur berwarna kekuningan.Saat Amara merasa tangan besar itu mulai bergerak di perutnya, mengusap lembut, napasnya langsung tersendat.“Amara,” suara Arga terdengar berat dan serak di telinganya.“Ya?” balas Amara pelan, nadanya bergetar tak terkontrol.“Aku ingin kamu malam ini,” bisik Arga, nadanya dingin tapi dalam, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.Sebelum Amara sempat menjawab apa pun, Arga sudah membalik tubuh Amara menghadapnya.Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas Arga menghangatkan pipi Amara.Bibir Arga merengkuh bibir Amara dalam ciuman dalam yang langsung membakar udara di antara mereka.Bukan ciuman lembut—tapi penuh tuntutan. Penuh hasrat.Amara mendesah kecil, tangannya naik ke pundak Arga, berpegangan seolah tubuhnya bisa runtuh kapan saja.Arga menarik selimut ke atas, membungkus tubuh mereka berdua sebelum tangan-tangannya mulai menjelajahi kulit Amara.Setiap sentuhan Arga membuat Amara mengerang
Area taman belakang villa sudah dipenuhi pasangan-pasangan yang bersemangat.Panitia gathering memasang banner bertuliskan “Couple Fun Games”, lengkap dengan balon warna-warni dan deretan kursi untuk para peserta.Arga berdiri santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana training abu-abunya, sementara Amara berdiri di sampingnya—gelisah, memainkan ujung sweater oversized yang ia kenakan.“Kita akan lomba apa dulu ya?” bisik Amara, lirih.Arga meliriknya datar. “Apapun itu, kamu jangan bikin malu.”Amara memelototkan mata kecil. “Maksudnya aku yang bikin malu?”Arga hanya mengangkat alis sedikit, ekspresinya tetap malas seperti biasa.“Tuh ‘kan, ngeselin.” Amara bergumam pelan.Tapi anehnya, setelah itu Amara malah tersenyum kecil.Di atas panggung kecil, MC mulai membacakan lomba pertama:“Games pertama—balap kelereng di sendok! Tapi… yang megang sendok di mulutnya adalah suami, dan istri yang meletakkan kelerengnya!”Gelak tawa langsung pecah di seluruh area.Amar
Malam itu, setelah makan malam terakhir yang penuh kehangatan dan godaan dari para peserta gathering, Amara dan Arga kembali ke kamar villa mereka. Lorong menuju kamar terasa sunyi, hanya terdengar langkah kaki mereka yang beriringan. Keduanya berjalan berdampingan, namun tidak ada kata yang terucap.Udara dingin Ciwidey menyusup melalui celah-celah jendela, menambah keheningan yang menyelimuti villa. Sesampainya di kamar, Amara segera mengganti pakaiannya dengan piyama hangat, sementara Arga duduk di tepi ranjang, sambil memeriksa email di iPad yang selalu ia bawa ke mana-mana.Amara meliriknya sekilas lalu dengan ragu-ragu, ia berbaring di sisi ranjang, membelakangi Arga.Beberapa menit berlalu dalam keheningan.Terasa pergerakan Arga yang bangkit dari atas ranjang kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Tidak lama kemudian Arga keluar, wajahnya tampak segar lalu mengganti pakaian dengan pakaian tidur nyaman.Jantung Amara berdebar kencang saat Arga mematikan lampu.Malam in
“Utangnya atas nama siapa?” Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang
Amara menggenggam koper kecil di pangkuannya, duduk di pojok gerbong LRT yang nyaris kosong. Jam delapan pagi dan langit Jakarta seperti ikut menyimpan rahasia yang hendak ia telan bulat-bulat. Tubuhnya diam, tapi batinnya gemuruh. Nafasnya pendek-pendek dan sesekali ia menyeka keringat di pelipis yang tak kunjung berhenti meski AC menyala. Matanya menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi berkelebat cepat, secepat langkah hidupnya berubah semalam. Dari guru sederhana jadi calon istri seorang CEO—dalam waktu kurang dari 24 jam. Bukan karena cinta. Tapi karena utang. Karena adiknya. Karena tak ada pilihan lain. “Sebentar lagi kamu menikah, Ra…” “Dengan pria asing … yang bahkan enggak pernah tersenyum padamu.” Suara itu bergaung di kepalanya. LRT berhenti di stasiun Dukuh Atas. Amara berdiri, menyeret kopernya lalu bergegas masuk ke toilet umum di pojok terminal. Tangan Amara gemetaran saat membuka kancing blus, menggantinya dengan kebaya puti
Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di
Malam itu, setelah makan malam terakhir yang penuh kehangatan dan godaan dari para peserta gathering, Amara dan Arga kembali ke kamar villa mereka. Lorong menuju kamar terasa sunyi, hanya terdengar langkah kaki mereka yang beriringan. Keduanya berjalan berdampingan, namun tidak ada kata yang terucap.Udara dingin Ciwidey menyusup melalui celah-celah jendela, menambah keheningan yang menyelimuti villa. Sesampainya di kamar, Amara segera mengganti pakaiannya dengan piyama hangat, sementara Arga duduk di tepi ranjang, sambil memeriksa email di iPad yang selalu ia bawa ke mana-mana.Amara meliriknya sekilas lalu dengan ragu-ragu, ia berbaring di sisi ranjang, membelakangi Arga.Beberapa menit berlalu dalam keheningan.Terasa pergerakan Arga yang bangkit dari atas ranjang kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Tidak lama kemudian Arga keluar, wajahnya tampak segar lalu mengganti pakaian dengan pakaian tidur nyaman.Jantung Amara berdebar kencang saat Arga mematikan lampu.Malam in
Area taman belakang villa sudah dipenuhi pasangan-pasangan yang bersemangat.Panitia gathering memasang banner bertuliskan “Couple Fun Games”, lengkap dengan balon warna-warni dan deretan kursi untuk para peserta.Arga berdiri santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana training abu-abunya, sementara Amara berdiri di sampingnya—gelisah, memainkan ujung sweater oversized yang ia kenakan.“Kita akan lomba apa dulu ya?” bisik Amara, lirih.Arga meliriknya datar. “Apapun itu, kamu jangan bikin malu.”Amara memelototkan mata kecil. “Maksudnya aku yang bikin malu?”Arga hanya mengangkat alis sedikit, ekspresinya tetap malas seperti biasa.“Tuh ‘kan, ngeselin.” Amara bergumam pelan.Tapi anehnya, setelah itu Amara malah tersenyum kecil.Di atas panggung kecil, MC mulai membacakan lomba pertama:“Games pertama—balap kelereng di sendok! Tapi… yang megang sendok di mulutnya adalah suami, dan istri yang meletakkan kelerengnya!”Gelak tawa langsung pecah di seluruh area.Amar
Suasana kamar hanya diterangi lampu tidur berwarna kekuningan.Saat Amara merasa tangan besar itu mulai bergerak di perutnya, mengusap lembut, napasnya langsung tersendat.“Amara,” suara Arga terdengar berat dan serak di telinganya.“Ya?” balas Amara pelan, nadanya bergetar tak terkontrol.“Aku ingin kamu malam ini,” bisik Arga, nadanya dingin tapi dalam, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.Sebelum Amara sempat menjawab apa pun, Arga sudah membalik tubuh Amara menghadapnya.Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafas Arga menghangatkan pipi Amara.Bibir Arga merengkuh bibir Amara dalam ciuman dalam yang langsung membakar udara di antara mereka.Bukan ciuman lembut—tapi penuh tuntutan. Penuh hasrat.Amara mendesah kecil, tangannya naik ke pundak Arga, berpegangan seolah tubuhnya bisa runtuh kapan saja.Arga menarik selimut ke atas, membungkus tubuh mereka berdua sebelum tangan-tangannya mulai menjelajahi kulit Amara.Setiap sentuhan Arga membuat Amara mengerang
Sabtu pagi datang dengan udara yang sedikit mendung, tapi justru terasa nyaman.Di lantai dua rumah mereka, kamar Amara tampak sedikit berantakan.Tas makeup, baju ganti, jaket, sepatu, hingga perlengkapan kecil-kecil berserakan di tempat tidur. Di tengah-tengah kekacauan itu, Amara berdiri, bingung sendiri.“Duh… ini bawa berapa baju ya? Kalau terlalu banyak nanti dikira lebay, kalau terlalu sedikit takut kurang…,” gumamnya sendiri sambil melipat satu dress berwarna pastel ke dalam koper.Sementara itu, dari kamar sebelah, suara Arga terdengar samar.Bersama dentingan hanger yang bersenggolan, pria itu tengah bersiap dengan sangat ….Cepat, praktis, tanpa drama.Beberapa menit kemudian, Arga sudah berdiri di depan pintu kamar Amara, mengetuk ringan.Tok.Tok.“Udah siap?”“Beberapa menit lagi!” balas Amara tergopoh, lalu buru-buru mendorong koper ke lantai.Arga bersandar di kusen pintu sambil menyilangkan tangan di dada, memperhatikan pemandangan di depannya.Amara sibu
Chapter 22 – Detik-Detik yang Mengubah SemuanyaAmara turun dari mobil dan melangkah ringan menyusuri lorong, tote bag di pundak dan wajah yang tak bisa berhenti tersenyum.Momen singkat tadi—ciuman Arga di keningnya sebelum turun dari mobil—masih membekas jelas di ingatannya.Hangat. Manis. Tak terduga.Amara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdetak terlalu cepat.Banyak yang tidak Amara mengerti dari Arga, mulai dari bersedia menjenguk ibu, mau membiayai berobat ibu, tetap tinggal setelah bercinta lalu mengecup keningnya saat mereka hendak berpisah pagi ini.Apa yang Arga lakukan itu adalah peran suami yang sangat mencintai istrinya.Tapi untuk apa?Mereka hanya menikah kontrak dan Amara tidak berekspektasi kalau Arga sampai melakukan semua itu.Pria itu bersikap biasa saja tidak dingin, Amara sudah sangat bersyukur.Atau mengijinkannya pulang bertemu ibu bahkan Amara hampir tidak percaya sewaktu Arga bersedia mengunjungi ibu mengingat
Pagi itu, Amara yang baru habis mandi membuka pintu kamar bersamaan dengan Arga yang tengah berjalan di lorong. Gara-gara momen bercinta pagi ini membuat mereka kesiangan. Amara berlari kecil di belakang Arga menuruni anak tangga dengan blazer yang belum dikancing dan rambut belum disisir apalagi make up. “Aku kesiangan,” kata Amara sembari mengoles roti asal-asalan dengan selai strawberry di dapur. “Kamu sih,” kata Arga bergumam setelah menenggak sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas. “Kamu yang ngajakin gituan pagi-pagi,” balas Amara tidak mau kalah sembari mengerucutkan bibir menggemaskan membuat Arga terkekeh. Arga menarik Amara lebih dalam ke area kitchen island setelah istrinya itu meletakan roti di atas piring. “Katanya kesiangan, tapi kamu mancing-mancing terus.” Arga bergumam sembari mengancingkan blazer Amara. Jantung Amara seketika berdetak sangat kencang. Setelah Arga selesai, Amara bergegas menjauh dengan gesture gugup yang kentara. Dia
Sampai di rumah, Arga langsung masuk lebih dulu, membuka jaket dan melemparkannya asal ke sofa.Amara yang mengikuti di belakangnya, menggenggam ujung rok, merasa gugup karena ucapan Arga di mobil masih bergema di telinganya.“Aku mandi dulu,” kata Amara sambil berjalan cepat menuju tangga.Arga mengikuti Amara ke lantai dua, dia juga merasa tubuhnya lengket dan butuh mandi.Beberapa saat kemudian, Arga keluar dari kamar, sudah mengenakan celana pendek santai dan kaus hitam yang membingkai sempurna tubuh atletisnya. Rambutnya masih basah, ada sisa tetesan air di garis rahangnya.Amara berdiri kikuk di depan pintu kamarnya, dia juga baru selesai mandi. Rambutnya basah, kulitnya terlihat lebih cerah, aroma sabun lembut masih menempel.Mata mereka bertemu sejenak.Seketika ruangan terasa lebih kecil. Lebih sempit. Lebih… panas.Tanpa banyak kata, Arga melangkah menghampiri Amara.“Udah siap?” suaranya berat, nyaris serak.Amara mengangguk, meski napasnya sedikit tercekat.Dala
Gang kecil itu terasa sempit dan panas.Tapi anehnya, Amara tersenyum sepanjang jalan. Karena genggaman tangan Arga di tangannya terasa nyata, terasa menguatkan.Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan pagar pendek dari besi berkarat. Cat tembok rumah itu sudah pudar, tapi tetap bersih dan rapi.Amara mengetuk pintu sambil berseru, “Imaaa!”Tak lama, seorang perempuan berambut pendek membuka pintu dengan wajah sumringah.“Bu Amara!” Ima-sang perawat tampak bahagia karena setiap kali Amara datang, pasien yang dia tangani yang tidak lain adalah ibunya Amara selalu kooperatif, mau minum obat, mau makan karena bahagia.“Masuk, Bu, masuk!”Amara tertawa pelan, lalu menoleh ke belakang. “Masuk, Ga.”Ima langsung mengangguk kepada Arga sebagai sapaan penuh hormat.“Pak Arga …,” gumamnya. Arga balas mengangguk kecil tanpa ekspresi.Amara menarik tangan Arga masuk ke dalam. Ruangan tamu itu kecil, beralas karpet tipis. Ada kursi kayu dengan bantalan usang, d
Chapter 18 – Pelukan Tanpa SadarMinggu pagi.Udara di kompleks perumahan masih sejuk, angin berembus lembut membawa aroma rumput basah. Matahari baru naik setengah, sinarnya menerobos tipis di sela dedaunan.Arga baru saja selesai jogging. Kaus olahraganya basah di punggung, celana training panjang membungkus kakinya yang kuat. Napasnya masih sedikit berat, tapi langkahnya santai saat memasuki rumah.Begitu membuka pintu, ia langsung mencium aroma roti panggang dan kopi.Di dapur, Amara sedang sibuk. Rambutnya dikuncir kendor ke belakang, wajahnya segar tanpa make-up, hanya mengenakan kaus oversized yang mengekspose satu sisi pundaknya dan celana pendek kain yang membuatnya terlihat… nyaman dan juga seksi. Terlalu nyaman dan seksi untuk ukuran seorang ‘istri kontrak’.Arga berhenti sejenak di ambang pintu, memperhatikannya. Ada rasa aneh di dadanya—semacam kehangatan yang tidak biasa.“Permisi, Pak.” Bi Eti datang sembari membawa sapu dan pengki dari belakang Arga membuat pria