Prang!
Aku terkejut mendengar suara bantingan benda dari arah dapur. Aku beranjak dari ranjang dan berjalan pelan membuka pintu kamar, lalu bergegas ke dapur.
“Mau masak bawang habis, cabai habis, semuanya habis,” gerutu ibu mertua sambil melempar wadah tempat bumbu dapur.
Aku yang berdiri tak jauh dari ibu, memilih diam dan tak ingin berkomentar banyak, segera masuk kembali ke dalam kamar.
“Fira, Fira!” Ibu sedikit berteriak memanggilku.
Aku yang baru saja hendak memegang ponsel, segera beranjak keluar.
“Iya, Bu.”
“Kenapa kamu tidak larang mereka di depan ambil barang-barang di sini?” sorot mata Ibu, tajam menatapku. Dia terlihat sangat marah karena semua bumbu dapur ludes di ambil Kak Vivi, istri dari Kak Aji.
“Loh, bukannya Ibu yang melarang Fira untuk protes kalau Kak Vivi ambil barang di rumah ini karena bukan Fira yang beli, tapi Ibu.” Aku menjawab dengan sedikit keras, karena pendengaran Ibu mertua sudah tidak akurat.
Aku tak terima kalau Ibu terus menyalahkan aku dengan hilangnya barang di rumah ini.
Pernah satu kali aku protes, kalah Kak Vivi mengambil semua sayur di kulkas.
Namun, jawaban Ibu saat itu sangat menyakiti hatiku.
“Jangan larang mereka mengambil barang di rumah ini. Mereka berhak mengambilnya, karena Ibu yang membeli, bukan kamu. Dan kamu tidak berhak melarang mereka.”
Seperti itulah jawaban ibu kalah itu.
“Tapi, setidaknya jangan ambil semua, simpan juga untuk kita, karena kita juga mau makan!” gumam Ibu kesal.
Aku mengangkat bahu, tak peduli.
Ibu kembali melanjutkan aktivitas memasaknya. Aku mengambil sapu dan membersihkan ruang tamu dan ruang makan yang merangkap jadi ruangan menonton televisi.
Ruang makan sangat kotor karena Ibu membersihkan sayur sambil menonton televisi. Dan membiarkan batang sayur yang tidak terpakai berserakan di atas karpet bulu.
Beginilah aktivitas Ibu mertua jika tidak menjual ikan di pasar kota.
Seperti hari ini, Kak Ria tidak mendapat ikan untuk di jual oleh Ibu. Otomatis, Ibu juga tidak mendapat ikan dan istirahat total di rumah seharian, sampai Kak Ria berhasil mengumpulkan ikan dalam jumlah yang banyak.
Setelah membersihkan ruang makan, aku segera membersihkan piring kotor.
“Makan dulu, sebentar baru di cuci piringnya.” ujar Ibu, mengingatkanku untuk makan.
Aku yang sudah terbiasa dengan sikap Ibu, hanya mengiyakan.
Ibu memang sangat perhatian jika di depanku dan Mas Arif. Selalu mengontrol jam makan, tidur dan aktivitas membersihkan rumah.
Namun, entah kenapa, jika di hadapan anaknya yang lain, perlakuan Ibu terhadapku dan Mas Arif sangat berubah.
Jika ada anaknya yang datang ke rumah dan membawakan makanan, Ibu bisa saja tidak menegurku dan menyembunyikan makanan yang dibawakan anaknya ke dalam kamar.
Dan saat anaknya sudah pulang, Ibu menawariku untuk makan makanan yang di sembunyikannya tadi dan menaruhnya di meja makan.
Aku jadi berpikir, kalau perubahan sikap Ibu di pengaruhi oleh anaknya yang lain.
Selesai mencuci piring, aku masuk dan mendapati Ibu sedang makan sambil menonton acara televisi kesukaannya, yaitu serial yang sering wara-wiri di Channel Indosi**.
“Makan sudah, itu sayur dan lauk untukmu dan Arif,” ucap Ibu sembari tangannya menunjuk semangkuk sayur bening dan ikan tuna yang di goreng dengan tepung.
Aku menelan ludah, melihat masakan Ibu yang sudah pasti sangat gurih.
Memang, masakan Ibu mertua sangat enak terasa di lidahku.
“Iya, Bu. Sebentar baru Fira makan, tunggu Mas Arif pulang.”
Ibu tidak menjawab lagi dan kembali melanjutkan makannya. Aku duduk di atas karpet, tidak jauh dari Ibu dan ikut menonton film yang sedang tayang di televisi.
Sebenarnya aku sangat lapar, dan berusaha menahannya menunggu Mas Arif pulang. Mengingat Mas Arif yang pergi dari subuh mengantre solar, mengikat es batu dan masih banyak lagi yang lain seperti permintaan Kak Ria.
Dari kerjanya membantu Kak Ria, Mas Arif akan diberi sebungkus rokok gudang ga**m dan sedikit uang yang langsung di serahkannya padaku saat pulang.
Aku selalu bersyukur dengan pendapatan Mas Arif, berapa pun itu.
“Amira sudah makan?” Ibu kembali bersuara, menanyakan Amira, bayiku yang cantik dan menggemaskan.
“Iya, sudah, Bu.” Sahutku sambil melihat ke arah Ibu yang akan menyelesaikan makannya.
Ibu yang berbadan sedikit gemuk, sangat susah jika bangun dari lesehan. Dan aku tidak segan-segan membantu Ibu berdiri.
Ibu menyimpan piring bekas makan di atas meja. Aku berdiri, membereskan meja dan membawa piring kotor ke tempat cucian piring.
“Assalamualaikum.” Ku dengar suara Mas Arif mengucapkan salam dan aku segera menjawabnya.
Mas Arif masuk dan tangannya menenteng sebuah keresek putih.
“Ini dari Kak Ria, katanya untuk cemilan Amira.” Mas Arif menyodorkan keresek putih ke arahku dan langsung ku terima.
“Banyak sekali, Mas. Ini, kasih ke Ibu yang lain.” Aku mengambil beberapa buah apel dan memberikan sisanya ke Mas Arif untuk di kasi ke Ibu.
Mas Arif melangkah ke kamar Ibu dan memberikan beberapa buah apel. Aku mendengar percakapan kecil antara Ibu dan Mas Arif, yang menggunakan bahasa daerah mereka sendiri dan aku hanya mengerti dan tahu artinya sedikit.
Sempat ku dengar, Ibu beberapa kali menyebut namaku.
Aku melangkah pelan dan duduk di sofa ruang tamu untuk mendengar percakapan mereka. Karena kamar Ibu berhadapan langsung dengan ruang tamu dan pembicaraan mereka sangat jelas terdengar dari sana.
“Bu, sudahlah, jangan menangis. Arif minta maaf karena belum bisa mendidik Fira dengan baik. Arif janji, akan membuat Fira menjadi menantu shalihah untuk Ibu.” Mataku terbelalak mendengar perkataan Mas Arif.
Loh ada apa ini? Bukankan hubunganku dengan Ibu seharian ini baik-baik. Entahlah apa yang dikatakan Ibu tentang aku ke Mas Arif, hingga Mas Arif berujar demikian.
Ku dengar pintu kamar Ibu ditutup, dan Mas Arif kini ada di sampingku.
“Dek, Mas mau bicara,” sahut Mas Arif dengan tatapan menyelidik.
Aku kenal dengan ekspresi Mas Arif. Ibu sudah mengatakan sesuatu yang sangat menganggu hatinya.
“Ya silahkan, Mas.”
Mas Arif menatapku dalam, hingga akhirnya berbicara.
“ Dek, Mas mohon. Jangan sekali-kali berkata kasar ke Ibu!” ujar Mas Arif penuh penekanan.
“Maksudnya apa ya, Mas?”
“Barusan Ibu bilang, kalau kamu kasar sama Ibu,” ucap Mas Arif lembut dan hampir tak terdengar, sepertinya takut jika Ibu juga mendengar pembicaraan kami.“Aku masih bingung, Mas. Tolong jelaskan sejelas-jelasnya!”Mas Arif menghela napas panjang, melihatku yang sedikit marah.“Dek, Ibu itu mertua kamu, orang tua kamu yang kedua. Jadi, perlakukan Ibu seperti Ibu kandung kamu sendiri!”“Jangan terbelit-belit, Mas. Jelaskan intinya!” Aku mulai tak sabar mendengar pengaduan Ibu mertua ke anaknya.“Tadi, sewaktu Ibu menanyakan bumbu dapur yang hilang, kenapa kamu malah menyalahkan Ibu?” Mas Arif sepertinya sangat marah, terlihat dari rahangnya yang mengeras.“Oh, jadi Ibu mengadu soal itu sama kamu, Mas?”“Dek! Ibu tidak mengadu, Ibu hanya menceritakan apa yang terjadi tadi!” Mas Arif terlihat emosi.“Sama saja, Mas!” Aku kesal dengan Mas Arif yang cepat marah dan emosi sebelum mendengar penjelasanku.Mas Arif terdiam, dan rahangnya makin mengeras. Tak terima saat aku mencela Ibunya.“Cer
Aku terkejut mendengar omelan Ibu mertua yang sudah berdiri di belakang Mas Arif.Badannya menunduk, hendak memungut daun singkong yang berserakan di lantai.Aku mendahului Ibu, memungut daun singkong dengan cepat. Namun, tak disangka, Ibu malah mendorongku hingga tersungkur.“Bu,” Mas Arif menatap Ibu mertua, lalu meraih tanganku membantuku berdiri.“Kenapa, Rif? Kau membela istrimu ini?” Ibu mertua melotot, memarahi Mas Arif yang terus menggenggam tanganku.“Bukan membela, Bu,” sahut Mas Arif lembut. “Ibu kan belum mendengar penjelasan Fira,” sambungnya lagi.“Penjelasan apa? Kenapa daun singkong ini dibuang, iya? Kalaupun menjelaskan, istrimu ini pandai beralasan!” pungkas Ibu mertua sengit.“Tapi, Bu–““Mas, sudah. Malu dilihat tetangga,” aku menyela ucapan Mas Arif, karena melihat beberapa tetangga yang berdiri di depan jalan, dan sedang melihat ke arah kami.Ibu masuk mendahului kami dan duduk di sofa ruang tamu. Aku dan Mas Arif mengikuti Ibu, duduk di sofa yang berhadapan den
“Ibu ....” Kak Aji mengamuk, lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Arif.Mas Arif hendak membalasnya, namun dengan cepat ku tepis tangannya.“Sudah, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang, semuanya sudah tersulut emosi.” Aku mengelus lengan Mas Arif agar ia sedikit tenang. Amira pun menangis, Mas Arif mengucapkan istighfar lalu menggendong Amira.Ajaib, bayi cantikku berhenti menangis di gendongan bapaknya. Mas Arif melangkah masuk kamar, meninggalkan kami.Wajah Kak Vivi merah padam, pun suaminya.Aku pikir mereka hendak menyerangku lagi, ternyata tidak. Kedua kakak iparku itu memilih pulang tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Aku terkejut saat mendapati Ibu masih terduduk di lantai. Aku hendak membantunya berdiri, namun lagi-lagi Ibu menepis tanganku.Ibu masuk kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya beristighfar, melihat tingkah Ibu yang kadang kekanakan. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit orang tua. Semakin tua, tingkah mereka semakin aneh.Aku masuk kamar,
“Karena ini kan, kau menagihnya sama Ibu berulang kali dan bahkan kau menagihnya di depan orang lain?” Kak Ria marah ke Mas Arif.Ya Allah, ada apa lagi ini.“Kak, aku minta sama Ibu karena itu hak aku, Kak. Dan demi Allah, aku tak menagihnya di depan orang lain tapi di dalam mobil pas kami pulang.”“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari kau, Rif. Intinya mulai besok, kau tidak usah membantu kakak lagi!” Kak Ria beranjak pergi.Mas Arif memungut beberapa lembar uang yang jatuh di depannya. Aku menuntun Mas Arif yang terlihat lemah ke sofa.Mas Arif terlihat menyedihkan. Begitu lemah di hadapan kakaknya hingga tak mampu membela diri lebih jauh.Mas Arif menggaruk kepalanya, frustasi. Ya Allah, begitu tersiksanya suamiku, di perlakukan seperti ini oleh orang terdekatnya.“Dek, Mas harus kerja di mana besok dan seterusnya?” Mas Arif menatapku nanar.Aku menggeleng, bingung.“Mas akan mencoba berbicara lagi sama Kak Ria, ya Dek.”“Jangan, Mas.” Aku membantah pembicaraan Mas Arif
Sudah dua Minggu berlalu sejak Mas Arif dipecat dari kerjaannya membantu Kak Ria. Ibu masih mendiamkan Mas Arif gara-gara uang gaji Mas Arif yang menjadi sopir untuk Ibu.Ibu juga mendiamkanku dan Amira. Aku sedih, namun cepat-cepat menghibur diri.Selama dua Minggu pula, Ibu tak makan dan minum di rumah. Ibu juga tak belanja lagi kebutuhan dapur selama dua Minggu ini. Tak apa, aku banyak uang dan tak berkecil hati dengan sikap Ibu.Beberapa kali aku mendapati Ibu makan nasi bungkus di dalam kamar, sepulang dari kota. Aku melihatnya lewat cela pintu yang terbuka sedikit. Bukan mengintip, aku sedang menyapu ruang tamu jadi tak sengaja melihat ke dalam kamar Ibu.Ibu tak tahu kalau aku memergokinya, aku berpura-pura tidak tahu. Aku juga tak bercerita pada Mas Arif, takutnya Mas Arif sedih. Kalau Bapak, belum pulang juga dari mengobat orang. Sempat menelepon, kalau Bapak sudah di kampung yang lain, karena orang menjemputnya dan akan pulang dalam waktu yang lama.Hari ini, Ibu tidak ke k
“Dek, ayo pergi dari sini.”Aku menatap Mas Arif, yang tak berkedip menatapku. Tatapannya seperti memohon.Memohon padaku agar terlepas dari beban yang menghimpit dadanya.Label anak bungsu membuatnya tak berdaya.‘Ya Allah, apa yang akan aku lakukan sekarang.’“Mas, jangan mengambil keputusan saat emosi. Tunggu Bapak, ya. Aku yang akan bicara.”Aku mengelus pipi Mas Arif, mengusap bulir bening yang menggantung di pelupuk mata.Lalu mengecup keningnya lembut, satu-satunya yang ku lakukan agar Mas Arif cepat tenang.Ku gandeng tangan Mas Arif, lalu duduk di Meja makan. Aku menghidangkan kopi hitam manis di depannya, yang langsung di seruputnya pelan.“Terima kasih, Sayang.”Ah, aku tersipu malu mendengar ucapan Mas Arif.Ku lihat wajahnya yang perlahan cerah. Ku tarik kursi agar mendekat ke Mas Arif, lalu menemainya menyeruput kopi pagi.Aku dan Mas Arif kembali diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.***“Fira! Fira!”Aku yang sedang memasak, langsung berlari meninggalkan dapur m
“Selama ini Fira memberi uang listrik sama saya tapi hanya lima puluh ribu setiap bulan,” sahut Kak Vivi dengan mata tajam menatap ke arahku.“Ha? Lima puluh ribu setiap bulan? Fira, Fira. Dasar perhitungan!” Ibu melotot, seperti ingin menelanku bulat-bulat.Aku memandang sinis Kak Vivi. Dasar perempuan ul*r, pandai sekali berbohong. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.Tanpa bicara lagi, aku segera masuk kamar, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada mereka semua.Ibu tercengang, pun Kak Vivi.Mas Arfin merangkul ku. Dan Kak Aji, menatap garang istrinya.“Jadi, selama ini Fira memberi uang seratus ribu setiap Minggu untuk membayar listrik? Kau kemanakan uang itu?” teriak Kak Aji, memarahi Kak Vivi.“Enggak, Mas. Fira mengada-ada!” Kak Vivi maju dan hendak merebut ponsel yang masih memperlihatkan video aku memberi uang seratus ribu.“Dasar. Apa mau aku tunjukkan videonya dari bulan pertama aku memberi uang?” Aku geram, Kak Vivi masih mengelak.“Memangnya dari kapan kau memberi uang,
Hari ini ada tamu spesial yang datang. Kak Sinta, sahabat Kak Vivi. Aku bingung, kok tumben temannya Kak Vivi datang ke rumahku.Padahal aku tidak dekat dengan Kak Sinta, hanya basa-basi saat dia datang ke rumah Kak Vivi. Itu pun jarang aku berpapasan dengannya.Aku menyuguhkan teh hangat dengan roti yang kubeli saat mengunjungi toko kemarin.Lalu mempersilahkan Kak Sinta untuk mencicipinya. Setelahnya, aku bertanya tujuan Kak Sinta datang, karena tumbennya berkunjung.Baru saja Kak Sinta bercerita, ponselku yang di dalam kamar berdering.Aku minta ijin pada Kak Sinta untuk menjawab telepon. Ternyata Arman, dia mengirimkan video rekaman CCTV beberapa karyawan yang bermasalah.Setelah panggilan berakhir, aku menghampiri Kak Sinta yang duduk selonjoran di ruang teve. Aku jadi teringat dengan rekaman yang di kirim Arman.Apakah berdosa jika aku juga ingin merekam pembicaraanku dengan Kak Sinta?Iya. Berdosa tapi aku hanya ingin berjaga-jaga. Karena sepertinya Kak Sinta ke sini hanya untu