Beranda / Pernikahan / Karena Suamiku Anak Bungsu / Bab 2 Perubahan Sikap Ibu Mertua

Share

Bab 2 Perubahan Sikap Ibu Mertua

Prang!

Aku terkejut mendengar suara bantingan benda dari arah dapur. Aku beranjak dari ranjang dan berjalan pelan membuka pintu kamar, lalu bergegas ke dapur.

“Mau masak bawang habis, cabai habis, semuanya habis,” gerutu ibu mertua sambil melempar wadah tempat bumbu dapur.

Aku yang berdiri tak jauh dari ibu, memilih diam dan tak ingin berkomentar banyak, segera masuk kembali ke dalam kamar.  

“Fira, Fira!” Ibu sedikit berteriak memanggilku.

Aku yang baru saja hendak memegang ponsel, segera beranjak keluar.

“Iya, Bu.”

“Kenapa kamu tidak larang mereka di depan ambil barang-barang di sini?” sorot mata Ibu, tajam menatapku. Dia terlihat sangat marah karena semua bumbu dapur ludes di ambil Kak Vivi, istri dari Kak Aji.

“Loh, bukannya Ibu yang melarang Fira untuk protes kalau Kak Vivi ambil barang di rumah ini karena bukan Fira yang beli, tapi Ibu.” Aku menjawab dengan sedikit keras, karena pendengaran Ibu mertua sudah tidak akurat.

Aku tak terima kalau Ibu terus menyalahkan aku dengan hilangnya barang di rumah ini.

Pernah satu kali aku protes, kalah Kak Vivi mengambil semua sayur di kulkas.

Namun, jawaban Ibu saat itu sangat menyakiti hatiku.

“Jangan larang mereka mengambil barang di rumah ini. Mereka berhak mengambilnya, karena Ibu yang membeli, bukan kamu. Dan kamu tidak berhak melarang mereka.”

Seperti itulah jawaban ibu kalah itu.

“Tapi, setidaknya jangan ambil semua, simpan juga untuk kita, karena kita juga mau makan!” gumam Ibu kesal.

Aku mengangkat bahu, tak peduli.

Ibu kembali melanjutkan aktivitas memasaknya. Aku mengambil sapu dan membersihkan ruang tamu dan ruang makan yang merangkap jadi ruangan menonton televisi.

Ruang makan sangat kotor karena Ibu membersihkan sayur sambil menonton televisi. Dan membiarkan batang sayur yang tidak terpakai berserakan di atas karpet bulu.

Beginilah aktivitas Ibu mertua jika tidak menjual ikan di pasar kota.

Seperti hari ini, Kak Ria tidak mendapat ikan untuk di jual oleh Ibu. Otomatis, Ibu juga tidak mendapat ikan dan istirahat total di rumah seharian, sampai Kak Ria berhasil mengumpulkan ikan dalam jumlah yang banyak.

Setelah membersihkan ruang makan, aku segera membersihkan piring kotor.

“Makan dulu, sebentar baru di cuci piringnya.” ujar Ibu, mengingatkanku untuk makan.

Aku yang sudah terbiasa dengan sikap Ibu, hanya mengiyakan.

Ibu memang sangat perhatian jika di depanku dan Mas Arif. Selalu mengontrol jam makan, tidur dan aktivitas membersihkan rumah.

Namun, entah kenapa, jika di hadapan anaknya yang lain, perlakuan Ibu terhadapku dan Mas Arif sangat berubah.

Jika ada anaknya yang datang ke rumah dan membawakan makanan, Ibu bisa saja tidak menegurku dan menyembunyikan makanan yang dibawakan anaknya ke dalam kamar.

Dan saat anaknya sudah pulang, Ibu menawariku untuk makan makanan yang di sembunyikannya tadi dan menaruhnya di meja makan.

Aku jadi berpikir, kalau perubahan sikap Ibu di pengaruhi oleh anaknya yang lain.

Selesai mencuci piring, aku masuk dan mendapati Ibu sedang makan sambil menonton acara televisi kesukaannya, yaitu serial yang sering wara-wiri di Channel Indosi**.

“Makan sudah, itu sayur dan lauk untukmu dan Arif,” ucap Ibu sembari tangannya menunjuk semangkuk sayur bening dan ikan tuna yang di goreng dengan tepung.

Aku menelan ludah, melihat masakan Ibu yang sudah pasti sangat gurih.

Memang, masakan Ibu mertua sangat enak terasa di lidahku.

“Iya, Bu. Sebentar baru Fira makan, tunggu Mas Arif pulang.”

Ibu tidak menjawab lagi dan kembali melanjutkan makannya. Aku duduk di atas karpet, tidak jauh dari Ibu dan ikut menonton film yang sedang tayang di televisi.

Sebenarnya aku sangat lapar, dan berusaha menahannya menunggu Mas Arif pulang. Mengingat Mas Arif yang pergi dari subuh mengantre solar, mengikat es batu dan masih banyak lagi yang lain seperti permintaan Kak Ria.

Dari kerjanya membantu Kak Ria, Mas Arif akan diberi sebungkus rokok gudang ga**m dan sedikit uang yang langsung di serahkannya padaku saat pulang.

Aku selalu bersyukur dengan pendapatan Mas Arif, berapa pun itu.

“Amira sudah makan?” Ibu kembali bersuara, menanyakan Amira, bayiku yang cantik dan menggemaskan.  

“Iya, sudah, Bu.” Sahutku sambil melihat ke arah Ibu yang akan menyelesaikan makannya.

Ibu yang berbadan sedikit gemuk, sangat susah jika bangun dari lesehan. Dan aku tidak segan-segan membantu Ibu berdiri.

Ibu menyimpan piring bekas makan di atas meja. Aku berdiri, membereskan meja dan membawa piring kotor ke tempat cucian piring.

“Assalamualaikum.” Ku dengar suara Mas Arif mengucapkan salam dan aku segera menjawabnya.

Mas Arif masuk dan tangannya menenteng sebuah keresek putih.

“Ini dari Kak Ria, katanya untuk cemilan Amira.” Mas Arif menyodorkan keresek putih ke arahku dan langsung ku terima.

“Banyak sekali, Mas. Ini, kasih ke Ibu yang lain.” Aku mengambil beberapa buah apel dan memberikan sisanya ke Mas Arif untuk di kasi ke Ibu.

Mas Arif melangkah ke kamar Ibu dan memberikan beberapa buah apel. Aku mendengar percakapan kecil antara Ibu dan Mas Arif, yang menggunakan bahasa daerah mereka sendiri dan aku hanya mengerti dan tahu artinya sedikit.

Sempat ku dengar, Ibu beberapa kali menyebut namaku.

Aku melangkah pelan dan duduk di sofa ruang tamu untuk mendengar percakapan mereka. Karena kamar Ibu berhadapan langsung dengan ruang tamu dan pembicaraan mereka sangat jelas terdengar dari sana.

“Bu, sudahlah, jangan menangis. Arif minta maaf karena belum bisa mendidik Fira dengan baik. Arif janji, akan membuat Fira menjadi menantu shalihah untuk Ibu.” Mataku terbelalak mendengar perkataan Mas Arif.

Loh ada apa ini? Bukankan hubunganku dengan Ibu seharian ini baik-baik. Entahlah apa yang dikatakan Ibu tentang aku ke Mas Arif, hingga Mas Arif berujar demikian.  

Ku dengar pintu kamar Ibu ditutup, dan Mas Arif kini ada di sampingku.

“Dek, Mas mau bicara,” sahut Mas Arif dengan tatapan menyelidik.

Aku kenal dengan ekspresi Mas Arif. Ibu sudah mengatakan sesuatu yang sangat menganggu hatinya.

“Ya silahkan, Mas.”

Mas Arif menatapku dalam, hingga akhirnya berbicara.

“ Dek, Mas mohon. Jangan sekali-kali berkata kasar ke Ibu!” ujar Mas Arif penuh penekanan.

“Maksudnya apa ya, Mas?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status