Sudah dua Minggu berlalu sejak Mas Arif dipecat dari kerjaannya membantu Kak Ria. Ibu masih mendiamkan Mas Arif gara-gara uang gaji Mas Arif yang menjadi sopir untuk Ibu.
Ibu juga mendiamkanku dan Amira. Aku sedih, namun cepat-cepat menghibur diri.
Selama dua Minggu pula, Ibu tak makan dan minum di rumah. Ibu juga tak belanja lagi kebutuhan dapur selama dua Minggu ini. Tak apa, aku banyak uang dan tak berkecil hati dengan sikap Ibu.
Beberapa kali aku mendapati Ibu makan nasi bungkus di dalam kamar, sepulang dari kota. Aku melihatnya lewat cela pintu yang terbuka sedikit. Bukan mengintip, aku sedang menyapu ruang tamu jadi tak sengaja melihat ke dalam kamar Ibu.
Ibu tak tahu kalau aku memergokinya, aku berpura-pura tidak tahu. Aku juga tak bercerita pada Mas Arif, takutnya Mas Arif sedih.
Kalau Bapak, belum pulang juga dari mengobat orang. Sempat menelepon, kalau Bapak sudah di kampung yang lain, karena orang menjemputnya dan akan pulang dalam waktu yang lama.
Hari ini, Ibu tidak ke kota menjual ikan, karena stok ikan dari Kak Ria tidak banyak.
Namun, pagi-pagi sekali Ibu sudah menghilang.
Aku berniat memanggilnya dan mengajaknya sarapan, walaupun masih pagi karena Ibu terbiasa sarapan pagi sekali.
Tak ada jawaban, aku mencoba mencari Ibu di kamarnya dan di kamar mandi. Tak ada. Aku kepikiran, kalau Ibu di rumah Kak Ria.
Aku hendak memasak, namun melihat kulkas yang kosong, aku jadi ingat kalau belum belanja dari kemarin.
Aku berbenah diri sebentar, lalu mengambil dan kunci motor. Melihat Amira yang masih terlelap bersama Mas Arif, aku jadi semangat untuk belanja.
Cukup lama aku di pasar. Aku membeli berbagai macam sayur dan lauk karena untuk makanan pendamping ASI Amira.
Aku lewat di depan jajanan pasar, dan tergiur dengan kue basah tradisional yang terjejer rapi.
Aku membeli cukup banyak, berniat ku bagikan dengan Kak Vivi, walaupun dia masih mendiamkanku sampai saat ini.
Saat aku sampai di rumah, ku lihat Kak Ria duduk di kursi teras.
Aku menenteng keranjang belanja yang besar dan keresek putih yang penuh dengan belanjaan.
“Assalamualaikum... Eh, Kak dari tadi?” sahutku menyapa Kak Ria yang membuang muka saat melihatku memasuki halaman rumah.
“Tumben, belanja banyak. Dapat uang dari mana?” Kak Ria tak menjawab salam ku tapi bertanya sinis dengan ekspresi ujung kanan bibir terangkat. Matanya melotot tajam, melihat ke arah keranjang belanjaan yang bertengger di tanganku.
“Iya, Kak. Alhamdulillah lagi ada rezeki,” balasku seraya menyunggingkan senyum terbaik yang aku miliki.
“Rezeki, rezeki. Memang kerja apa kamu suamimu makanya ada rezeki?” cecar Kak Ria dengan sorot mata tak suka.
“Loh, Kak. Memang dapat rezeki itu harus kerja, ya?”
“Ya iyalah!” sewot Kak Ria. “Atau jangan-jangan, kau suruh Arif mengemis, ya!” gertaknya lagi dengan mencekal tanganku.
“Apaan sih, Kak!” Aku menghempaskan tanganku hingga terlepas dari cekalan Kak Ria.
Aku masuk dan menyimpan belanjaan ku di meja dapur. Kak Ria masuk dan mengikuti sampai dapur.
“Ibu, Ibu!” panggil Kak Ria dengan suara cemprengnya.
Ibu tergopoh-gopoh dari dalam kamar, menghampiri kami yang sedang berdiri di dapur.
“Lihat, Bu. Fira dapat uang dari mana buat belanja? Ibu kasih uang, ya!” Kak Ria menatap Ibu tajam.
“Enggak, Ibu enggak kasih uang ke Fira. Tahu dapat uang dari mana!” balas Ibu seperti ketakutan saat di tuduh Kak Ria.
“Memangnya, Ibu dan Kakak tak suka ya kalau aku belanja banyak,” umpanku menatap mereka bergantian. “Bu, Kak, rezeki orang itu tak ada yang tahu.”
Kak Ria tampak geram mendengar omonganku barusan. Kak Ria memang tak suka, jika ada orang terdekatnya yang menandingi kehidupannya yang sedikit mewah dari yang lain.
Baru saja melihatku belanja banyak, ekspresi Kak Ria langsung berubah. Apa jadinya kalau Kak Ria tahu aku sebenarnya?
“Fira, dari mana kamu dapat uang untuk belanja?” Ibu menatapku tak berkedip.
“Ya dari uangku sendiri, Bu.”
“Bohong, pasti kamu mencuri ‘kan?” Ibu makin lancang mengataiku.
“Siapa yang mencuri, Bu?” Mas Arif muncul dari balik pintu kamar.
“Istrimu!” Ibu menunjukku seraya pandangannya melekat ke Mas Arif.
“Astaghfirullah, Bu. Fira tidak seperti itu. Fira belanja, itu pakai uang dari Arif dan uang Fira sendiri.” Dengan lembut, Mas Arif menjelaskan pada Ibu.
Ibu memandangku tak suka, pun Kak Ria yang terus menatapku belanja.
“Alaa, Rif. Kau jangan sembunyikan kebusukan istrimu ini.” Kak Ria mengataiku lagi. Aku sudah tak tahan.
“Terus saja, Kak. Terus menuduhku mencuri. Sebentar lagi aku akan melaporkan kalian ke polisi, ini buktinya!” Aku menyodorkan handphone yang sedang memutar pembicaraan Ibu dan Kak Ria sedari tadi yang menuduhku.
Kak Ria gelagapan dan Ibu mundur selangkah saat mengetahui aku merekam pembicaraan kami dari tadi.
“Jangan kurang ajar kau Fira!” Kak Ria berusaha merebut ponsel dari tanganku. Aku dengan cepat mengelak dan menepis tangan Kak Ria.
“Kenapa? Kak Ria takut? Ha ha ha, jaman sekarang sangat mudah menjebloskan orang ke penjara.” Aku memanasi Ibu dan Kak Ria yang terlihat gugup.
Ha ha ha, baru saja aku menggertak seperti ini, mereka sudah ketakutan. Padahal aku cuma mengada-ada dan iseng saja merekam pembicaraan kami tadi.
Mas Arif sepertinya tahu rencanaku, makanya memilih diam.
“Rif, bilang pada Fira jangan macam-macam denganku, main lapor saja!”
“Ya, terserah Fira, Kak. Aku enggak ikut campur. Lagian Kakak sama Ibu main tuduh saja.”
“Anak kurang aj*r, durhaka kau, Arif!” Ibu emosi dan memarahi Mas Arif.
“Loh, kenapa Ibu menyalahkan Arif, Bu?” wajah Mas Arif pias, mendengar Ibu mengomelinya.
“Kenapa? Kau memang anak durhaka, membiarkan Ibumu di jebloskan ke penjara oleh istrimu ini!” Ibu beberapa kali menunjuk tepat di wajahku.
“Arif tidak bermaksud seperti itu, Bu,” sahut Mas Arif yang terlihat lemah, karena keadaan cepat berubah.
Tadi Ibu dengan garang menuduhku, sekarang terlihat menyedihkan seolah sangat tersakiti.
“Akan kau dapatkan karmanya, anak durhaka!” Ibu menunjuk wajah Mas Arif.
Ya Allah, aku tak sanggup melihat suamiku diperlakukan seperti itu, walaupun oleh Ibu kandungnya sendiri, di depanku.
Tanpa sadar, air mataku meleleh, meratapi nasib Mas Arif.
Ibu dan Kak Ria sudah berlalu meninggalkan kami. Mas Arif menangis sesenggukan di pojokkan dapur.
Dadaku nyeri melihatnya, melihat suamiku yang rapuh dan tak berdaya di depan Ibu dan saudaranya.
Dengan mata yang basah, Mas Arif menatapku dalam.
“Dek, ayo pergi dari sini.”
“Dek, ayo pergi dari sini.”Aku menatap Mas Arif, yang tak berkedip menatapku. Tatapannya seperti memohon.Memohon padaku agar terlepas dari beban yang menghimpit dadanya.Label anak bungsu membuatnya tak berdaya.‘Ya Allah, apa yang akan aku lakukan sekarang.’“Mas, jangan mengambil keputusan saat emosi. Tunggu Bapak, ya. Aku yang akan bicara.”Aku mengelus pipi Mas Arif, mengusap bulir bening yang menggantung di pelupuk mata.Lalu mengecup keningnya lembut, satu-satunya yang ku lakukan agar Mas Arif cepat tenang.Ku gandeng tangan Mas Arif, lalu duduk di Meja makan. Aku menghidangkan kopi hitam manis di depannya, yang langsung di seruputnya pelan.“Terima kasih, Sayang.”Ah, aku tersipu malu mendengar ucapan Mas Arif.Ku lihat wajahnya yang perlahan cerah. Ku tarik kursi agar mendekat ke Mas Arif, lalu menemainya menyeruput kopi pagi.Aku dan Mas Arif kembali diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.***“Fira! Fira!”Aku yang sedang memasak, langsung berlari meninggalkan dapur m
“Selama ini Fira memberi uang listrik sama saya tapi hanya lima puluh ribu setiap bulan,” sahut Kak Vivi dengan mata tajam menatap ke arahku.“Ha? Lima puluh ribu setiap bulan? Fira, Fira. Dasar perhitungan!” Ibu melotot, seperti ingin menelanku bulat-bulat.Aku memandang sinis Kak Vivi. Dasar perempuan ul*r, pandai sekali berbohong. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.Tanpa bicara lagi, aku segera masuk kamar, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada mereka semua.Ibu tercengang, pun Kak Vivi.Mas Arfin merangkul ku. Dan Kak Aji, menatap garang istrinya.“Jadi, selama ini Fira memberi uang seratus ribu setiap Minggu untuk membayar listrik? Kau kemanakan uang itu?” teriak Kak Aji, memarahi Kak Vivi.“Enggak, Mas. Fira mengada-ada!” Kak Vivi maju dan hendak merebut ponsel yang masih memperlihatkan video aku memberi uang seratus ribu.“Dasar. Apa mau aku tunjukkan videonya dari bulan pertama aku memberi uang?” Aku geram, Kak Vivi masih mengelak.“Memangnya dari kapan kau memberi uang,
Hari ini ada tamu spesial yang datang. Kak Sinta, sahabat Kak Vivi. Aku bingung, kok tumben temannya Kak Vivi datang ke rumahku.Padahal aku tidak dekat dengan Kak Sinta, hanya basa-basi saat dia datang ke rumah Kak Vivi. Itu pun jarang aku berpapasan dengannya.Aku menyuguhkan teh hangat dengan roti yang kubeli saat mengunjungi toko kemarin.Lalu mempersilahkan Kak Sinta untuk mencicipinya. Setelahnya, aku bertanya tujuan Kak Sinta datang, karena tumbennya berkunjung.Baru saja Kak Sinta bercerita, ponselku yang di dalam kamar berdering.Aku minta ijin pada Kak Sinta untuk menjawab telepon. Ternyata Arman, dia mengirimkan video rekaman CCTV beberapa karyawan yang bermasalah.Setelah panggilan berakhir, aku menghampiri Kak Sinta yang duduk selonjoran di ruang teve. Aku jadi teringat dengan rekaman yang di kirim Arman.Apakah berdosa jika aku juga ingin merekam pembicaraanku dengan Kak Sinta?Iya. Berdosa tapi aku hanya ingin berjaga-jaga. Karena sepertinya Kak Sinta ke sini hanya untu
“Kenapa diam saja, Arif? Silahkan bawa istrimu pergi dari sini!” Bapak mertua melototi Mas Arif.Mas Arif menatap bapak dengan tatapan hampa, seolah ingin memelas bahwa istrinya tak bersalah. Aku tak sanggup menatapi ekspresi wajah Mas Arif.Aku mengalihkan pandangan, menatap Ibu yang masih memasang wajah berangnya. Lalu beralih menatap Mas Arif, matanya berkaca-kaca.Aku mengusap pelan punggung Mas Arif, memberikannya ketenangan.Mas Arif menatapku seraya tangannya menggenggam erat tanganku.“Baik, Pa, Bu. Arif akan bawa Fira dan Amira untuk pergi dari sini!” ujar Mas Arif lantang, membuatku sontak menatapnya.“Jangan sok berani kau, Rif. Bisa apa kau tanpa Ibu dan Bapak?” cibir Kak Aji, dengan raut wajah sinis.“Kalaupun pergi, pasti besok bakal balik!” timpal Kak Vivi dengan mulut lempemnya.“Ayo, Dek. Kita pergi dari sini.” Mas Arif menarik pelan tanganku. Aku segera mengikuti langka Mas Arif, berjalan menuju kamar.Dengan cekatan, Mas Arif membereskan semua barang-barang kami yan
“Halo, Kak Sinta, akhirnya ketemu juga!” Aku menyapa Kak Sinta yang terlihat sedikit gugup.“Santai saja, Kak. Jangan terlalu takut, santai,” sambungku lagi, sengaja menyindir Kak Sinta. Bodoh amat, walau ada suaminya, aku tidak takut, karena perempuan seperti Kak Sinta harus dibuat kapok, biar tobat gibahin orang.Tanpa basa-basi, aku langsung memutar rekaman pembicaraanku dengan Kak Sinta. Aku tidak ingin menunggu Kak Sinta mengatakan yang sebenarnya, karena itu mustahil. Manusia seperti Kak Sinta akan terus mempertahankan kesalahannya, dan aku akan terus dijadikan kambing hitam dari mulut dosanya.Semuanya diam, fokus mendengar suara nyaring Kak Sinta dari handphone yang ku pegang. Ku perbesar volumenya, membuat suara Kak Sinta semakin terdengar cempreng. Ku lirik sekilas kea rah Kak Vivi, dadanya naik turun seperti menahan amarah yang meluap. Apalagi Kak Aji, tak kalah sangar tampangnya. Ah, terserahlah. Hanya Kak Dino yang menunduk, sepertinya menahan malu, malu karena perbuatan
“Ariiif, Firaaaa!”“Ariiif, Firaaaa!”Aku terbangun mendengar suara memanggilku dan Mas Arif, diiringi gedoran pintu yang cukup keras.Aku meraih handphone di atas nakas, pukul 05.30 WITA.Aku menguap beberapa kali, mataku masih sangat berat. padahal aku baru saja berbaring sehabis salat subuh. Aku melirik ke samping, tak ada Mas Arif. Oh iya, tadi kan Mas Arif pergi salat di Masjid, tapi masa belum pulang?Aku segera beranjak bangun dari ranjang. Orang diluar masih terus memanggil dengan suara yang bertambah keras, sampai-sampai bayiku yang masih terlelap menggeliat beberapa kali. Maklumlah, rumah kontrakan ini cukup sederhana, tak ada plafon.Siapa yang memanggil dan menggedor pintuku sepagi ini?Aku menyambar jilbab instan dan segera memakainya, lalu bergegas menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, aku mengintip sebentar dibalik cela jendela. Sekedar melihat siapa gerangan di luar. Rupanya, orang diluar tak asing di mataku.“Fira!!!”Aku terhentak saat orang di depanku memanggil
"Bu, maafkan Arif yang selama ini selalu menjadi beban Ibu sama Bapak,” sahut Mas sendu. Nada suaranya bergetar, bertanda jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.Ku lirik suamiku sekilas, wajahnya memerah. Dan alhasil, bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Mas Arif menangis. Ya, suamiku menangis.Aku kembali mengusap pelan punggung lelaki yang sangat aku cintai setelah Abbah.Mas Arif mengusap matanya yang basah, berusaha menguatkan hatinya. Lalu menengadahkan wajahnya, kembali menatap Ibu dan Bapak bergantian. Suamiku meraih tangan Ibunya, menggenggamnya erat sembari berujar.“Bu, Pak, jauh di lubuk hati Arif, sangat ingin membahagiakan Ibu dan Bapak sampai kapan pun,”Bapak masih belum bergeming. Ibu memalingkan wajahnya sebentar, lalu kembali menatap suamiku. Tatapannya berubah, seperti menatap suamiku dengan penuh kasih sayang.“Tapi, mengapa tindakanmu tidak mencerminkan ucapanmu, Rif?” sahut Bapak, akhirnya bersuara.Ingin sekali aku menjawab ucapan Bapak, namun ku urungkan
“Bapak dan Ibu mau kita berpisah, Dek,” ucap Mas Arif pelan namun sangat jelas terdengar.Deg!Jantungku serasa berhenti serentak, dadaku terasa sangat sesak, seolah tak ada udara yang masuk. Ucapan Mas Arif berhasil membuatku terdiam beberapa saat.“Dek,” Mas Arif meraih tanganku, menggenggamnya perlahan. Berhasil menyadarkanku kembali.Aku menoleh, menatap Mas Arif.“Kenapa, Mas?” ucapku kemudian.Mas Arif menoleh, seakan tak ingin menatap langsung mataku. Giliran sekarang suamiku yang diam.“Mas! Jelasin! Kenapa?” aku terus mendesak Mas Arif.Suamiku masih diam, seolah sangat berat untuk bicara. Aku yakin jika yang akan diucapkan Mas Arif sangatlah meyakiti aku sebagai istrinya.“Mas!” aku memanggilnya sekali lagi, kali ini suaraku semakin meninggi. Mas Arif terhenyak, menatapku.“Dek! Pelan-pelan dong ngomongnya!” ucap Mas Arif sembari menautkan telunjuk di bibirnya.“Makanya cepat jelasin, kenapa orang tuamu mau kita berpisah,” balasku tak mau kalah.Mas Arif menarik napasnya lal