“Karena ini kan, kau menagihnya sama Ibu berulang kali dan bahkan kau menagihnya di depan orang lain?” Kak Ria marah ke Mas Arif.
Ya Allah, ada apa lagi ini.
“Kak, aku minta sama Ibu karena itu hak aku, Kak. Dan demi Allah, aku tak menagihnya di depan orang lain tapi di dalam mobil pas kami pulang.”
“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari kau, Rif. Intinya mulai besok, kau tidak usah membantu kakak lagi!” Kak Ria beranjak pergi.
Mas Arif memungut beberapa lembar uang yang jatuh di depannya. Aku menuntun Mas Arif yang terlihat lemah ke sofa.
Mas Arif terlihat menyedihkan. Begitu lemah di hadapan kakaknya hingga tak mampu membela diri lebih jauh.
Mas Arif menggaruk kepalanya, frustasi. Ya Allah, begitu tersiksanya suamiku, di perlakukan seperti ini oleh orang terdekatnya.
“Dek, Mas harus kerja di mana besok dan seterusnya?” Mas Arif menatapku nanar.
Aku menggeleng, bingung.
“Mas akan mencoba berbicara lagi sama Kak Ria, ya Dek.”
“Jangan, Mas.” Aku membantah pembicaraan Mas Arif yang ingin memohon lagi sama Kak Ria.
“Cukup sudah Mas di permainkan oleh mereka, aku tidak ingin Mas mengemis pada saudara Mas yang lain!” tekanku pada Mas Arif.
“Tapi, Dek. Mas kerja di mana lagi kalau bukan sama Kak Ria? Tidak mungkin ‘kan Mas nganggur sementara uang sudah tidak ada?” Lagi-lagi Mas Arif menggaruk kepalanya.
Mas Arif terlihat begitu tersiksa dengan keadaan sekarang.
“Insya Allah, aku masih ada simpanan, Mas. Cukup untuk beberapa bulan ke depan. Fira mohon, Mas jangan lagi merendahkan diri di depan saudara Mas.” Mas Arif menatapku dalam. Bibirnya gemetar, seakan ingin berbicara namun tertahan.
Aku tahu kalau Mas Arif hendak menanyakan perihal uang simpanan.
“Selama ini aku menabung sedikit-sedikit, Mas. Dan aku rasa, sekarang sudah banyak.” Aku menjelaskan pada Mas Arif sebelum Mas Arif bertanya.
Mas Arif bangkit memelukku, dan menangis sesenggukan.
Aku melepaskan pelukan Mas Arif, saat mendengar tangisan Amira dari dalam kamar.
Mas Arif menatapku lalu tertawa. Kami berdua telah melupakan Amira yang sendirian di dalam kamar.
Aku dan Mas Arif masuk, dan saat melihat kami, Amira langsung tertawa. Mas Arif kembali tertawa melihat tingkah menggemaskan putrinya itu.
Aku bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas nikmat yang sudah aku rasakan.
Usahaku yang kini kian maju, suami yang penyabar, tulus dan sangat baik hati serta malaikat kecil yang kini hadir di tengah-tengah kami.
Oh iya, ngomong-ngomong tentang usaha, toko rotiku sekarang punya tiga cabang. Cabang utama tentunya di kota besar saat aku kuliah dulu. Usaha yang ku rintis saat kuliah, kini membuahkan hasil. Dari menyewa toko kecil milik Cina saat aku kuliah semester lima, kini toko rotiku punya gedung sendiri yang tentunya sangat megah. Aku mempercayakan kepada adikku yang sedang kuliah di kota tersebut, untuk mengelolanya. Setiap Minggu, selalu melapor tentang pemasukan toko.
Cabang kedua ada di kota terdekat, tepatnya kota tempat Ibu menjual ikan. Toko kedua juga tak kalah megahnya. Untuk cabang ini, di urus oleh teman yang sudah ku anggap seperti saudara.
Dan cabang ketiga ya ada di kota ini. Kota tempat tinggal Mas Arif, yang juga menjadi tempat tinggalku sekarang. Cabang di sini, di urus juga oleh teman yang mengelolah cabang kedua. Aku terus mengingatkannya agar jangan membocorkan ke karyawan toko, kalau akulah pemilik yang sebenarnya.
Dan sampai saat ini, karyawan dan seluruh keluarga suami tak ada yang tahu, jika aku adalah bos pemilik toko roti. Aku ingin memberitahukan pada Mas Arif, pada waktunya dan belum sekarang.
Kalau di hitung, sudah banyak kekayaan yang aku kumpulkan selama ini. Sebuah rumah mewah di Kota R, kota tempat cabang kedua toko roti, dan juga rumah mewah di kampung.
Sedangkan di kota ini, aku membeli sebidang tanah yang cukup luas, lalu membangun kontrakan elite. Dan semua aset yang aku punya, atas namaku sendiri dan sertifikatnya aku simpan di rumah orang tua di kampung.
Pemasukan dari kontrakan per bulan sangat fantastis, ditambah dengan pemasukan dari tiga cabang toko roti, cukup membuatku menjadi sultan.
Namun, aku tidak ingin menunjukkan pada keluarga suamiku, sekaya apa aku sekarang. Aku hanya ingin tahu watak mereka sekarang dan setelah tahu aku kaya.
Rasanya tak sabar, tapi aku harus menunggu.
Aku akan membalas semua perlakuan mereka yang begitu merendahkan aku dan Mas Arif.
Bagi mereka, kami adalah benalu yang menumpang hidup pada orang tua suami.
Padahal mereka tahu, jika aku dan Mas Arif sering meminta pindah. Namun, karena bapak dan Ibu yang selalu bilang kalau merawat mereka adalah mutlak kewajiban Mas Arif sebagai anak bungsu, membuat kami mengurungkan niat untuk pindah.
Kami akan mencoba berbakti kepada Bapak dan Ibu, walaupun mereka sering menjelekkan aku dan Mas Arif.
Mungkin seperti itulah orang tua, semakin tua tingkahnya semakin lain.
Lain lagi bapak mertua, selalu berbicara yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Jika ada orang yang datang berobat ke rumah, maka bapak akan bercerita banyak tentang aku dan keluargaku. Aku tahu karena dua kali aku mendengar langsung. Pertama Bapak bercerita kalau setiap bulan, Bapak selalu mengirim uang untuk kedua orang tuaku di kampung. Aku yang mendengarnya ingin marah dan melabrak Bapak saat itu juga, namun ku urungkan. Bagaimanapun, aku tetap menjaga nama baik Bapak di depan banyak orang. Dan saat pasien bapak pulang, aku lupa bertanya ke Bapak, kebenaran dari apa yang bapak sampaikan.
Kedua saat Bapak bercerita kalau uang panaiku sebesar lima puluh juta dan itu hasil dari keringat bapak serta patungan dari anaknya yang lain.
Aku yang mendengarnya hanya tertawa, padahal nyatanya di dalam uang panaiku saat itu, sepeser pun tak ada uang bapak apalagi anak-anaknya.
Lima puluh juta itu didapat dari arisan Mas Arif, patungan dari teman-temannya, dan sisanya aku sendiri yang tambah.
Untuk soal uang, aku memang tak peduli asalkan aku bahagia menikah dengan Mas Arif. Tak peduli jika aku sendiri yang membayar uang panai.
Lucu memang, tapi itulah cinta. Cinta yang membuatku bisa melakukan semuanya.
Cinta pada lelaki Sholeh dan lemah lembut seperti Mas Arif.
Awalnya orang tuaku meragukan Mas Arif, akhirnya luluh saat ku yakinkan jika kelak aku bahagia dengan Mas Arif.
Dan sekarang, dengan segala perlakuan dan masalah yang ditimbulkan kakak ipar dan mertua, aku masih tak peduli.
Aku akan terus bertahan, karena lelaki halalku masih mencintaiku dan tidak menyakitiku.
Sudah dua Minggu berlalu sejak Mas Arif dipecat dari kerjaannya membantu Kak Ria. Ibu masih mendiamkan Mas Arif gara-gara uang gaji Mas Arif yang menjadi sopir untuk Ibu.Ibu juga mendiamkanku dan Amira. Aku sedih, namun cepat-cepat menghibur diri.Selama dua Minggu pula, Ibu tak makan dan minum di rumah. Ibu juga tak belanja lagi kebutuhan dapur selama dua Minggu ini. Tak apa, aku banyak uang dan tak berkecil hati dengan sikap Ibu.Beberapa kali aku mendapati Ibu makan nasi bungkus di dalam kamar, sepulang dari kota. Aku melihatnya lewat cela pintu yang terbuka sedikit. Bukan mengintip, aku sedang menyapu ruang tamu jadi tak sengaja melihat ke dalam kamar Ibu.Ibu tak tahu kalau aku memergokinya, aku berpura-pura tidak tahu. Aku juga tak bercerita pada Mas Arif, takutnya Mas Arif sedih. Kalau Bapak, belum pulang juga dari mengobat orang. Sempat menelepon, kalau Bapak sudah di kampung yang lain, karena orang menjemputnya dan akan pulang dalam waktu yang lama.Hari ini, Ibu tidak ke k
“Dek, ayo pergi dari sini.”Aku menatap Mas Arif, yang tak berkedip menatapku. Tatapannya seperti memohon.Memohon padaku agar terlepas dari beban yang menghimpit dadanya.Label anak bungsu membuatnya tak berdaya.‘Ya Allah, apa yang akan aku lakukan sekarang.’“Mas, jangan mengambil keputusan saat emosi. Tunggu Bapak, ya. Aku yang akan bicara.”Aku mengelus pipi Mas Arif, mengusap bulir bening yang menggantung di pelupuk mata.Lalu mengecup keningnya lembut, satu-satunya yang ku lakukan agar Mas Arif cepat tenang.Ku gandeng tangan Mas Arif, lalu duduk di Meja makan. Aku menghidangkan kopi hitam manis di depannya, yang langsung di seruputnya pelan.“Terima kasih, Sayang.”Ah, aku tersipu malu mendengar ucapan Mas Arif.Ku lihat wajahnya yang perlahan cerah. Ku tarik kursi agar mendekat ke Mas Arif, lalu menemainya menyeruput kopi pagi.Aku dan Mas Arif kembali diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.***“Fira! Fira!”Aku yang sedang memasak, langsung berlari meninggalkan dapur m
“Selama ini Fira memberi uang listrik sama saya tapi hanya lima puluh ribu setiap bulan,” sahut Kak Vivi dengan mata tajam menatap ke arahku.“Ha? Lima puluh ribu setiap bulan? Fira, Fira. Dasar perhitungan!” Ibu melotot, seperti ingin menelanku bulat-bulat.Aku memandang sinis Kak Vivi. Dasar perempuan ul*r, pandai sekali berbohong. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.Tanpa bicara lagi, aku segera masuk kamar, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada mereka semua.Ibu tercengang, pun Kak Vivi.Mas Arfin merangkul ku. Dan Kak Aji, menatap garang istrinya.“Jadi, selama ini Fira memberi uang seratus ribu setiap Minggu untuk membayar listrik? Kau kemanakan uang itu?” teriak Kak Aji, memarahi Kak Vivi.“Enggak, Mas. Fira mengada-ada!” Kak Vivi maju dan hendak merebut ponsel yang masih memperlihatkan video aku memberi uang seratus ribu.“Dasar. Apa mau aku tunjukkan videonya dari bulan pertama aku memberi uang?” Aku geram, Kak Vivi masih mengelak.“Memangnya dari kapan kau memberi uang,
Hari ini ada tamu spesial yang datang. Kak Sinta, sahabat Kak Vivi. Aku bingung, kok tumben temannya Kak Vivi datang ke rumahku.Padahal aku tidak dekat dengan Kak Sinta, hanya basa-basi saat dia datang ke rumah Kak Vivi. Itu pun jarang aku berpapasan dengannya.Aku menyuguhkan teh hangat dengan roti yang kubeli saat mengunjungi toko kemarin.Lalu mempersilahkan Kak Sinta untuk mencicipinya. Setelahnya, aku bertanya tujuan Kak Sinta datang, karena tumbennya berkunjung.Baru saja Kak Sinta bercerita, ponselku yang di dalam kamar berdering.Aku minta ijin pada Kak Sinta untuk menjawab telepon. Ternyata Arman, dia mengirimkan video rekaman CCTV beberapa karyawan yang bermasalah.Setelah panggilan berakhir, aku menghampiri Kak Sinta yang duduk selonjoran di ruang teve. Aku jadi teringat dengan rekaman yang di kirim Arman.Apakah berdosa jika aku juga ingin merekam pembicaraanku dengan Kak Sinta?Iya. Berdosa tapi aku hanya ingin berjaga-jaga. Karena sepertinya Kak Sinta ke sini hanya untu
“Kenapa diam saja, Arif? Silahkan bawa istrimu pergi dari sini!” Bapak mertua melototi Mas Arif.Mas Arif menatap bapak dengan tatapan hampa, seolah ingin memelas bahwa istrinya tak bersalah. Aku tak sanggup menatapi ekspresi wajah Mas Arif.Aku mengalihkan pandangan, menatap Ibu yang masih memasang wajah berangnya. Lalu beralih menatap Mas Arif, matanya berkaca-kaca.Aku mengusap pelan punggung Mas Arif, memberikannya ketenangan.Mas Arif menatapku seraya tangannya menggenggam erat tanganku.“Baik, Pa, Bu. Arif akan bawa Fira dan Amira untuk pergi dari sini!” ujar Mas Arif lantang, membuatku sontak menatapnya.“Jangan sok berani kau, Rif. Bisa apa kau tanpa Ibu dan Bapak?” cibir Kak Aji, dengan raut wajah sinis.“Kalaupun pergi, pasti besok bakal balik!” timpal Kak Vivi dengan mulut lempemnya.“Ayo, Dek. Kita pergi dari sini.” Mas Arif menarik pelan tanganku. Aku segera mengikuti langka Mas Arif, berjalan menuju kamar.Dengan cekatan, Mas Arif membereskan semua barang-barang kami yan
“Halo, Kak Sinta, akhirnya ketemu juga!” Aku menyapa Kak Sinta yang terlihat sedikit gugup.“Santai saja, Kak. Jangan terlalu takut, santai,” sambungku lagi, sengaja menyindir Kak Sinta. Bodoh amat, walau ada suaminya, aku tidak takut, karena perempuan seperti Kak Sinta harus dibuat kapok, biar tobat gibahin orang.Tanpa basa-basi, aku langsung memutar rekaman pembicaraanku dengan Kak Sinta. Aku tidak ingin menunggu Kak Sinta mengatakan yang sebenarnya, karena itu mustahil. Manusia seperti Kak Sinta akan terus mempertahankan kesalahannya, dan aku akan terus dijadikan kambing hitam dari mulut dosanya.Semuanya diam, fokus mendengar suara nyaring Kak Sinta dari handphone yang ku pegang. Ku perbesar volumenya, membuat suara Kak Sinta semakin terdengar cempreng. Ku lirik sekilas kea rah Kak Vivi, dadanya naik turun seperti menahan amarah yang meluap. Apalagi Kak Aji, tak kalah sangar tampangnya. Ah, terserahlah. Hanya Kak Dino yang menunduk, sepertinya menahan malu, malu karena perbuatan
“Ariiif, Firaaaa!”“Ariiif, Firaaaa!”Aku terbangun mendengar suara memanggilku dan Mas Arif, diiringi gedoran pintu yang cukup keras.Aku meraih handphone di atas nakas, pukul 05.30 WITA.Aku menguap beberapa kali, mataku masih sangat berat. padahal aku baru saja berbaring sehabis salat subuh. Aku melirik ke samping, tak ada Mas Arif. Oh iya, tadi kan Mas Arif pergi salat di Masjid, tapi masa belum pulang?Aku segera beranjak bangun dari ranjang. Orang diluar masih terus memanggil dengan suara yang bertambah keras, sampai-sampai bayiku yang masih terlelap menggeliat beberapa kali. Maklumlah, rumah kontrakan ini cukup sederhana, tak ada plafon.Siapa yang memanggil dan menggedor pintuku sepagi ini?Aku menyambar jilbab instan dan segera memakainya, lalu bergegas menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, aku mengintip sebentar dibalik cela jendela. Sekedar melihat siapa gerangan di luar. Rupanya, orang diluar tak asing di mataku.“Fira!!!”Aku terhentak saat orang di depanku memanggil
"Bu, maafkan Arif yang selama ini selalu menjadi beban Ibu sama Bapak,” sahut Mas sendu. Nada suaranya bergetar, bertanda jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.Ku lirik suamiku sekilas, wajahnya memerah. Dan alhasil, bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Mas Arif menangis. Ya, suamiku menangis.Aku kembali mengusap pelan punggung lelaki yang sangat aku cintai setelah Abbah.Mas Arif mengusap matanya yang basah, berusaha menguatkan hatinya. Lalu menengadahkan wajahnya, kembali menatap Ibu dan Bapak bergantian. Suamiku meraih tangan Ibunya, menggenggamnya erat sembari berujar.“Bu, Pak, jauh di lubuk hati Arif, sangat ingin membahagiakan Ibu dan Bapak sampai kapan pun,”Bapak masih belum bergeming. Ibu memalingkan wajahnya sebentar, lalu kembali menatap suamiku. Tatapannya berubah, seperti menatap suamiku dengan penuh kasih sayang.“Tapi, mengapa tindakanmu tidak mencerminkan ucapanmu, Rif?” sahut Bapak, akhirnya bersuara.Ingin sekali aku menjawab ucapan Bapak, namun ku urungkan