“Ibu ....” Kak Aji mengamuk, lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Arif.
Mas Arif hendak membalasnya, namun dengan cepat ku tepis tangannya.
“Sudah, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang, semuanya sudah tersulut emosi.” Aku mengelus lengan Mas Arif agar ia sedikit tenang. Amira pun menangis, Mas Arif mengucapkan istighfar lalu menggendong Amira.
Ajaib, bayi cantikku berhenti menangis di gendongan bapaknya. Mas Arif melangkah masuk kamar, meninggalkan kami.
Wajah Kak Vivi merah padam, pun suaminya.
Aku pikir mereka hendak menyerangku lagi, ternyata tidak. Kedua kakak iparku itu memilih pulang tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
Aku terkejut saat mendapati Ibu masih terduduk di lantai. Aku hendak membantunya berdiri, namun lagi-lagi Ibu menepis tanganku.
Ibu masuk kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya beristighfar, melihat tingkah Ibu yang kadang kekanakan. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit orang tua. Semakin tua, tingkah mereka semakin aneh.
Aku masuk kamar, dan melihat Mas Arif yang asyik bermain dengan Amira.
“Mas, maafkan aku,” ucapku pelan sembari membelai punggung Mas Arif.
“Kamu tidak salah, Dek.” Mas Arif membelai rambutku pelan. “Mas sudah hafal betul dengan sikap Kak Vivi. Kak Aji juga, dari dulu memang selalu membenarkan kelakuan istrinya.”
Mas Arif lalu bercerita, dulu sewaktu Ibu dan Bapak mertua masih tinggal serumah dengan Kak Aji, Kak Vivi selalu menghasut Kak Aji untuk menyuruh Ibu dan Bapak tinggal di rumah belakang yakni rumah ini.
Kak Vivi selalu bercekcok dengan Ibu, dan Kak Aji yang selalu membela serta tunduk di depan istrinya. Dan Ibu masih terus membanggakan Kak Aji, kendati Kak Aji tak pernah membelanya saat bertengkar dengan Kak Vivi. Pertengkaran antara Ibu dan Kak Vivi terjadi karena hal sepeleh, dibesar-besarkan hingga akhirnya meledak.
Jadilah, Ibu dan Bapak angkat kaki dari rumah depan, dan tinggal di rumah ini, setahun sebelum pernikahanku dengan Mas Arif.
Selesai Mas Arif menceritakan, aku menawarinya makan. Mas Arif yang memang sudah kelaparan sejak sore, langsung mengiyakan.
Tak lupa, Mas Arif membujuk Ibu makan. Awalnya ibu menolak, namun saat Mas Arif bilang kalau aku memasak urap khusus untuknya, Ibu pun ingin makan.
Mas Arif dan Ibu makan berdua, dan melupakan kejadian tadi. Aku senang melihatnya. Sengaja aku tak makan bareng mereka, karena ingin menjaga suasana hati Ibu mertua. Aku tak ingin, gara-gara aku, Ibu jadi mogok makan.
Untungnya Mas Arif paham saat ku jelaskan dengan pelan, kalau aku akan makan saat Amira sudah tidur.
Setelah selesai, aku membereskan meja makan.
Kulirik sayur urap milik Ibu, ternyata ludes tak bersisa. Jujur, aku senang jika masakanku habis dimakan dan tidak terbuang-buang.
Aku pun menikmati makan malam dalam diam, sendiri.
***
Seminggu berlalu. Sejak insiden daun singkong, aku dan Kak Vivi saling diam dan tidak bertegur sapa. Pernah sekali ku coba menyapa Kak Vivi yang lewat di depan rumah saat ke warung, Kak Vivi tidak menjawab dan memilih membuang muka saat melihatku.
Sejak saat itu, aku tak lagi peduli dengan Kak Vivi. Pun Kak Aji, jika melihatku melakukan hal yang sama, membuang muka.
Hubunganku dengan Ibu mertua juga baik-baik saja. Walau masih sering ku dengar Ibu mengomel dan menggerutu tak jelas. Aku mencoba berpikir positif saja, mungkin itu memang kebiasaan Ibu dari dulu. Aku tak ingin makan hati, dengan sesuatu yang tidak terlalu penting bagiku.
Mas Arif masih sering membantu Kak Ria. Namun, sudah dua hari ini, Mas Arif ikut Ibu ke pasar kota. Mas Arif tidak ikut menjual ikan, tapi menjadi sopir mobil ikan karena yang menjadi sopir selama ini mengundurkan diri.
Sesuai kesepakatan, Ibu dan Kak Siva yang akan menggaji dan membiayai Mas Arif, mulai dari rokok sampai makan dan minum.
Namun, selama dua hari ini, yang terjadi tidak sesuai kesepakatan. Mas Arif selalu mengeluh lapar saat pulang.
Ternyata, Ibu maupun Kak Siva tak membeli makan dan minum untuk Mas Arif, apalagi rokok. Mas Arif hanya makan saat subuh, dan setelahnya tidak makan dan minum lagi sampai kembali ke rumah jam delapan malam.
Aku yang mendengar keluhan Mas Arif hanya meneteskan air mata. Sangat sedih kondisi suamiku, sebagai anak bungsu bukannya di sayang malah diperdaya oleh kakak-kakaknya.
Tadi pagi aku melarang Mas Arif ikut bersama Ibu. Mas Arif tetap ngotot ingin ikut, karena kasihan jika Ibu atau pun Kak Siva menumpang di mobil orang lain. Mas Arif mengiyakan saran yang ku kasih, yaitu berbicara pada Ibu dan Kak Siva kalau dia tak ada uang untuk bekal ke kota.
Saat pulang, kembali ku tanya Mas Arif, apakah Ibu atau Kak Siva memberinya uang. Dan ternyata tidak. Ibu dan Kak Siva beralasan untuk mengganti uang makan sekaligus uang rokok dan gaji menyetir, seminggu sekali. Dan Mas Arif setuju.
Akhirnya genap satu Minggu Mas Arif membawa mobil ikan untuk Ibu dan Kak Siva.
Aku tak sabar menunggu Mas Arif pulang. Bukan karena aku ingin meminta gaji Mas Arif dari Ibu, aku hanya ingin memastikan apakah Ibu dan Kak Siva menempati janjinya.
“Asslamualaikum.”
“Wallaikumsalam ....” Aku menjawab salam Mas Arif dengan cepat membuka pintu.
Mas Arif masuk dan wajahnya tertunduk lesu.
Tak kulihat Ibu, yang biasanya pulang bareng Mas Arif.
“Mana Ibu, Mas?”
“Ibu masih di rumah Kak Ria,” sahut Mas Arif lemas, hampir tak terdengar. Aku mengikuti langkah Mas Arif sambil menggendong Amira.
“Ibu marah sama Mas, hanya karena Mas menanyakan perihal uang gaji Mas,” perlahan air mata Mas Arif meleleh, membuat dadaku terenyuh melihat suamiku menangis.
Aku tak sanggup berkata-kata, hanya ikut menangis di depan Mas Arif.
“Mas, ayo pergi dari sini. Kita bisa mandiri, Mas.” Aku menggenggam erat tangan Mas Arif.
Mas Arif yang baru menyadari jika aku juga menangis, dengan cepat menyeka air mataku.
“Maafkan Mas,” lirihnya lagi.
Baru saja aku hendak menjawab, terdengar suara Kak Ria dari luar.
“Arif, di mana kau Arif?”
Mas Arif menyeka air matanya, lalu bergegas keluar kamar. Aku mengikuti Mas Arif. Terlihat Kak Ria berdiri di muka pintu dengan wajah yang tak seperti biasanya.
“Ini! Uang gaji kau selama seminggu. Mulai besok, kau tak usah bantu kakak lagi.” Kak Ria melempar beberapa lembar uang merah ke wajah Mas Arif.
“Loh, ada apa ini, Kak?” sahut Mas Arif gemetar.
“Karena ini kan, kau menagihnya sama Ibu berulang kali dan bahkan kau menagihnya di depan orang lain?” Kak Ria marah ke Mas Arif.Ya Allah, ada apa lagi ini.“Kak, aku minta sama Ibu karena itu hak aku, Kak. Dan demi Allah, aku tak menagihnya di depan orang lain tapi di dalam mobil pas kami pulang.”“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari kau, Rif. Intinya mulai besok, kau tidak usah membantu kakak lagi!” Kak Ria beranjak pergi.Mas Arif memungut beberapa lembar uang yang jatuh di depannya. Aku menuntun Mas Arif yang terlihat lemah ke sofa.Mas Arif terlihat menyedihkan. Begitu lemah di hadapan kakaknya hingga tak mampu membela diri lebih jauh.Mas Arif menggaruk kepalanya, frustasi. Ya Allah, begitu tersiksanya suamiku, di perlakukan seperti ini oleh orang terdekatnya.“Dek, Mas harus kerja di mana besok dan seterusnya?” Mas Arif menatapku nanar.Aku menggeleng, bingung.“Mas akan mencoba berbicara lagi sama Kak Ria, ya Dek.”“Jangan, Mas.” Aku membantah pembicaraan Mas Arif
Sudah dua Minggu berlalu sejak Mas Arif dipecat dari kerjaannya membantu Kak Ria. Ibu masih mendiamkan Mas Arif gara-gara uang gaji Mas Arif yang menjadi sopir untuk Ibu.Ibu juga mendiamkanku dan Amira. Aku sedih, namun cepat-cepat menghibur diri.Selama dua Minggu pula, Ibu tak makan dan minum di rumah. Ibu juga tak belanja lagi kebutuhan dapur selama dua Minggu ini. Tak apa, aku banyak uang dan tak berkecil hati dengan sikap Ibu.Beberapa kali aku mendapati Ibu makan nasi bungkus di dalam kamar, sepulang dari kota. Aku melihatnya lewat cela pintu yang terbuka sedikit. Bukan mengintip, aku sedang menyapu ruang tamu jadi tak sengaja melihat ke dalam kamar Ibu.Ibu tak tahu kalau aku memergokinya, aku berpura-pura tidak tahu. Aku juga tak bercerita pada Mas Arif, takutnya Mas Arif sedih. Kalau Bapak, belum pulang juga dari mengobat orang. Sempat menelepon, kalau Bapak sudah di kampung yang lain, karena orang menjemputnya dan akan pulang dalam waktu yang lama.Hari ini, Ibu tidak ke k
“Dek, ayo pergi dari sini.”Aku menatap Mas Arif, yang tak berkedip menatapku. Tatapannya seperti memohon.Memohon padaku agar terlepas dari beban yang menghimpit dadanya.Label anak bungsu membuatnya tak berdaya.‘Ya Allah, apa yang akan aku lakukan sekarang.’“Mas, jangan mengambil keputusan saat emosi. Tunggu Bapak, ya. Aku yang akan bicara.”Aku mengelus pipi Mas Arif, mengusap bulir bening yang menggantung di pelupuk mata.Lalu mengecup keningnya lembut, satu-satunya yang ku lakukan agar Mas Arif cepat tenang.Ku gandeng tangan Mas Arif, lalu duduk di Meja makan. Aku menghidangkan kopi hitam manis di depannya, yang langsung di seruputnya pelan.“Terima kasih, Sayang.”Ah, aku tersipu malu mendengar ucapan Mas Arif.Ku lihat wajahnya yang perlahan cerah. Ku tarik kursi agar mendekat ke Mas Arif, lalu menemainya menyeruput kopi pagi.Aku dan Mas Arif kembali diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.***“Fira! Fira!”Aku yang sedang memasak, langsung berlari meninggalkan dapur m
“Selama ini Fira memberi uang listrik sama saya tapi hanya lima puluh ribu setiap bulan,” sahut Kak Vivi dengan mata tajam menatap ke arahku.“Ha? Lima puluh ribu setiap bulan? Fira, Fira. Dasar perhitungan!” Ibu melotot, seperti ingin menelanku bulat-bulat.Aku memandang sinis Kak Vivi. Dasar perempuan ul*r, pandai sekali berbohong. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.Tanpa bicara lagi, aku segera masuk kamar, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada mereka semua.Ibu tercengang, pun Kak Vivi.Mas Arfin merangkul ku. Dan Kak Aji, menatap garang istrinya.“Jadi, selama ini Fira memberi uang seratus ribu setiap Minggu untuk membayar listrik? Kau kemanakan uang itu?” teriak Kak Aji, memarahi Kak Vivi.“Enggak, Mas. Fira mengada-ada!” Kak Vivi maju dan hendak merebut ponsel yang masih memperlihatkan video aku memberi uang seratus ribu.“Dasar. Apa mau aku tunjukkan videonya dari bulan pertama aku memberi uang?” Aku geram, Kak Vivi masih mengelak.“Memangnya dari kapan kau memberi uang,
Hari ini ada tamu spesial yang datang. Kak Sinta, sahabat Kak Vivi. Aku bingung, kok tumben temannya Kak Vivi datang ke rumahku.Padahal aku tidak dekat dengan Kak Sinta, hanya basa-basi saat dia datang ke rumah Kak Vivi. Itu pun jarang aku berpapasan dengannya.Aku menyuguhkan teh hangat dengan roti yang kubeli saat mengunjungi toko kemarin.Lalu mempersilahkan Kak Sinta untuk mencicipinya. Setelahnya, aku bertanya tujuan Kak Sinta datang, karena tumbennya berkunjung.Baru saja Kak Sinta bercerita, ponselku yang di dalam kamar berdering.Aku minta ijin pada Kak Sinta untuk menjawab telepon. Ternyata Arman, dia mengirimkan video rekaman CCTV beberapa karyawan yang bermasalah.Setelah panggilan berakhir, aku menghampiri Kak Sinta yang duduk selonjoran di ruang teve. Aku jadi teringat dengan rekaman yang di kirim Arman.Apakah berdosa jika aku juga ingin merekam pembicaraanku dengan Kak Sinta?Iya. Berdosa tapi aku hanya ingin berjaga-jaga. Karena sepertinya Kak Sinta ke sini hanya untu
“Kenapa diam saja, Arif? Silahkan bawa istrimu pergi dari sini!” Bapak mertua melototi Mas Arif.Mas Arif menatap bapak dengan tatapan hampa, seolah ingin memelas bahwa istrinya tak bersalah. Aku tak sanggup menatapi ekspresi wajah Mas Arif.Aku mengalihkan pandangan, menatap Ibu yang masih memasang wajah berangnya. Lalu beralih menatap Mas Arif, matanya berkaca-kaca.Aku mengusap pelan punggung Mas Arif, memberikannya ketenangan.Mas Arif menatapku seraya tangannya menggenggam erat tanganku.“Baik, Pa, Bu. Arif akan bawa Fira dan Amira untuk pergi dari sini!” ujar Mas Arif lantang, membuatku sontak menatapnya.“Jangan sok berani kau, Rif. Bisa apa kau tanpa Ibu dan Bapak?” cibir Kak Aji, dengan raut wajah sinis.“Kalaupun pergi, pasti besok bakal balik!” timpal Kak Vivi dengan mulut lempemnya.“Ayo, Dek. Kita pergi dari sini.” Mas Arif menarik pelan tanganku. Aku segera mengikuti langka Mas Arif, berjalan menuju kamar.Dengan cekatan, Mas Arif membereskan semua barang-barang kami yan
“Halo, Kak Sinta, akhirnya ketemu juga!” Aku menyapa Kak Sinta yang terlihat sedikit gugup.“Santai saja, Kak. Jangan terlalu takut, santai,” sambungku lagi, sengaja menyindir Kak Sinta. Bodoh amat, walau ada suaminya, aku tidak takut, karena perempuan seperti Kak Sinta harus dibuat kapok, biar tobat gibahin orang.Tanpa basa-basi, aku langsung memutar rekaman pembicaraanku dengan Kak Sinta. Aku tidak ingin menunggu Kak Sinta mengatakan yang sebenarnya, karena itu mustahil. Manusia seperti Kak Sinta akan terus mempertahankan kesalahannya, dan aku akan terus dijadikan kambing hitam dari mulut dosanya.Semuanya diam, fokus mendengar suara nyaring Kak Sinta dari handphone yang ku pegang. Ku perbesar volumenya, membuat suara Kak Sinta semakin terdengar cempreng. Ku lirik sekilas kea rah Kak Vivi, dadanya naik turun seperti menahan amarah yang meluap. Apalagi Kak Aji, tak kalah sangar tampangnya. Ah, terserahlah. Hanya Kak Dino yang menunduk, sepertinya menahan malu, malu karena perbuatan
“Ariiif, Firaaaa!”“Ariiif, Firaaaa!”Aku terbangun mendengar suara memanggilku dan Mas Arif, diiringi gedoran pintu yang cukup keras.Aku meraih handphone di atas nakas, pukul 05.30 WITA.Aku menguap beberapa kali, mataku masih sangat berat. padahal aku baru saja berbaring sehabis salat subuh. Aku melirik ke samping, tak ada Mas Arif. Oh iya, tadi kan Mas Arif pergi salat di Masjid, tapi masa belum pulang?Aku segera beranjak bangun dari ranjang. Orang diluar masih terus memanggil dengan suara yang bertambah keras, sampai-sampai bayiku yang masih terlelap menggeliat beberapa kali. Maklumlah, rumah kontrakan ini cukup sederhana, tak ada plafon.Siapa yang memanggil dan menggedor pintuku sepagi ini?Aku menyambar jilbab instan dan segera memakainya, lalu bergegas menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, aku mengintip sebentar dibalik cela jendela. Sekedar melihat siapa gerangan di luar. Rupanya, orang diluar tak asing di mataku.“Fira!!!”Aku terhentak saat orang di depanku memanggil