“Bapak dan Ibu mau kita berpisah, Dek,” ucap Mas Arif pelan namun sangat jelas terdengar.Deg!Jantungku serasa berhenti serentak, dadaku terasa sangat sesak, seolah tak ada udara yang masuk. Ucapan Mas Arif berhasil membuatku terdiam beberapa saat.“Dek,” Mas Arif meraih tanganku, menggenggamnya perlahan. Berhasil menyadarkanku kembali.Aku menoleh, menatap Mas Arif.“Kenapa, Mas?” ucapku kemudian.Mas Arif menoleh, seakan tak ingin menatap langsung mataku. Giliran sekarang suamiku yang diam.“Mas! Jelasin! Kenapa?” aku terus mendesak Mas Arif.Suamiku masih diam, seolah sangat berat untuk bicara. Aku yakin jika yang akan diucapkan Mas Arif sangatlah meyakiti aku sebagai istrinya.“Mas!” aku memanggilnya sekali lagi, kali ini suaraku semakin meninggi. Mas Arif terhenyak, menatapku.“Dek! Pelan-pelan dong ngomongnya!” ucap Mas Arif sembari menautkan telunjuk di bibirnya.“Makanya cepat jelasin, kenapa orang tuamu mau kita berpisah,” balasku tak mau kalah.Mas Arif menarik napasnya lal
Sejak mendengar percakapan ibu di pasar dua hari yang lalu, hati ku tak tenang. Pikiran ku berkecamuk, membayangkan suamiku akan menikah lagi. Aku yakin, kalau ibu dan anaknya yang lain akan terus memaksa suamiku menikah lagi.Hari ini aku pulang dari toko lebih awal. Amira aku titipkan di Mbak Wati. Sengaja, karena pikiran ku semakin kacau. Berbagai hal buruk terpampang jelas dalam bayangan ku.Sampai di rumah, Mas Arif tidak ada. Sepertinya belum pulang semenjak pergi dari subuh membantu iparnya, Kak Ali. Tapi hatiku berkata lain, sepertinya Mas Arif ada di suatu tempat, makanya belum pulang sampai saat ini. Aku lalu bergegas ke rumah ibu.Saat aku sampai, terlihat banyak sandal di teras rumah. Sepertinya lagi ada acara ngumpul bareng.“Assalamualaikum,” ucapku begitu sampai di depan pintu.“Walaikumsallam,” terdengar suara Kak Ani menjawab salam ku.Suasana yang begitu hening, seperti sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Dan semua saudara Mas Arif hadir. Semuanya dengan pos
Semenjak insiden di rumah ibu mertua, aku uring-uringan di rumah. Sudah beberapa hari aku tidak ke toko, membiarkan semuanya di hendel Firman. Karena begitu terus sedari awal. Mas Arif juga aku larang untuk bekerja ataupun membantu Kak Ria. Aku hanya takut kalau Mas Arif akan tergoda juga oleh bujukan dari orang tuanya pun saudaranya. Mengingat sebegitu keras usaha mereka untuk memprovokasi Mas Arif.Hari ini keluarga Mas Arif datang ke rumah. Ada bapak dan ibu mertua, pun anaknya yang lain. Tapi Kak Aji dan istrinya tak tampak. Oh, mungkin Kak Aji lagi di sekolah mengingat ini masih jam 9 pagi.Aku menyambut hangat keluarga Mas Arif. Mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu. Setelah menyalami bapak dan ibu mertua, aku pamit ke dapur menyiapkan minuman. Para kakak iparku sibuk mengelilingi seantero rumah, entah sedang memeriksa ataupun mencari sesuatu.“Oh, ada kulkas juga ya kamu!” sahut Kak Ria tiba-tiba dengan tegas dan terkesan menyindir sembari membuka kulkas ku dan mengama
“Kenapa harus pindah? Apa karena hasutan istrimu?” Aku mendekatkan badan ke dinding, mendengar pembicaraan Mas Arif, suamiku dan bapak mertuaku.Rupanya Mas Arif mengikuti saranku semalam, mencoba lagi meminta pindah dari rumah yang kami tempati saat ini.Bukan tanpa alasan aku ingin pindah, aku hanya ingin mandiri dalam membangun keluarga kecilku bersama Mas Arif.“Bukan seperti itu, Pa. Arif ingin pindah rumah, karena Arif dan Fira mau mandiri, mau membangun keluarga kecil kami, sendiri.” Ku dengar jawaban Mas Arif yang sangat hati-hati mengingat bapak mertua cepat emosi dan darah tingginya kambuh.Aku beranjak bangun dengan pelan, agar bayi kecilku yang berusia 10 bulan tidak terganggu tidurnya. Lalu duduk di kursi meja rias dan kembali menajamkan pendengaran agar percakapan suami dan bapaknya terdengar jelas olehku.“Mandiri? Seperti apa?” sahut bapak mertua dengan ketus, dari nadanya begitu meremehkan ucapan suamiku.“Ya ... Arif akan menghidupi keluarga kecil Arif sendiri, Pa.”
Prang!Aku terkejut mendengar suara bantingan benda dari arah dapur. Aku beranjak dari ranjang dan berjalan pelan membuka pintu kamar, lalu bergegas ke dapur.“Mau masak bawang habis, cabai habis, semuanya habis,” gerutu ibu mertua sambil melempar wadah tempat bumbu dapur.Aku yang berdiri tak jauh dari ibu, memilih diam dan tak ingin berkomentar banyak, segera masuk kembali ke dalam kamar. “Fira, Fira!” Ibu sedikit berteriak memanggilku.Aku yang baru saja hendak memegang ponsel, segera beranjak keluar.“Iya, Bu.”“Kenapa kamu tidak larang mereka di depan ambil barang-barang di sini?” sorot mata Ibu, tajam menatapku. Dia terlihat sangat marah karena semua bumbu dapur ludes di ambil Kak Vivi, istri dari Kak Aji.“Loh, bukannya Ibu yang melarang Fira untuk protes kalau Kak Vivi ambil barang di rumah ini karena bukan Fira yang beli, tapi Ibu.” Aku menjawab dengan sedikit keras, karena pendengaran Ibu mertua sudah tidak akurat.Aku tak terima kalau Ibu terus menyalahkan aku dengan hila
“Barusan Ibu bilang, kalau kamu kasar sama Ibu,” ucap Mas Arif lembut dan hampir tak terdengar, sepertinya takut jika Ibu juga mendengar pembicaraan kami.“Aku masih bingung, Mas. Tolong jelaskan sejelas-jelasnya!”Mas Arif menghela napas panjang, melihatku yang sedikit marah.“Dek, Ibu itu mertua kamu, orang tua kamu yang kedua. Jadi, perlakukan Ibu seperti Ibu kandung kamu sendiri!”“Jangan terbelit-belit, Mas. Jelaskan intinya!” Aku mulai tak sabar mendengar pengaduan Ibu mertua ke anaknya.“Tadi, sewaktu Ibu menanyakan bumbu dapur yang hilang, kenapa kamu malah menyalahkan Ibu?” Mas Arif sepertinya sangat marah, terlihat dari rahangnya yang mengeras.“Oh, jadi Ibu mengadu soal itu sama kamu, Mas?”“Dek! Ibu tidak mengadu, Ibu hanya menceritakan apa yang terjadi tadi!” Mas Arif terlihat emosi.“Sama saja, Mas!” Aku kesal dengan Mas Arif yang cepat marah dan emosi sebelum mendengar penjelasanku.Mas Arif terdiam, dan rahangnya makin mengeras. Tak terima saat aku mencela Ibunya.“Cer
Aku terkejut mendengar omelan Ibu mertua yang sudah berdiri di belakang Mas Arif.Badannya menunduk, hendak memungut daun singkong yang berserakan di lantai.Aku mendahului Ibu, memungut daun singkong dengan cepat. Namun, tak disangka, Ibu malah mendorongku hingga tersungkur.“Bu,” Mas Arif menatap Ibu mertua, lalu meraih tanganku membantuku berdiri.“Kenapa, Rif? Kau membela istrimu ini?” Ibu mertua melotot, memarahi Mas Arif yang terus menggenggam tanganku.“Bukan membela, Bu,” sahut Mas Arif lembut. “Ibu kan belum mendengar penjelasan Fira,” sambungnya lagi.“Penjelasan apa? Kenapa daun singkong ini dibuang, iya? Kalaupun menjelaskan, istrimu ini pandai beralasan!” pungkas Ibu mertua sengit.“Tapi, Bu–““Mas, sudah. Malu dilihat tetangga,” aku menyela ucapan Mas Arif, karena melihat beberapa tetangga yang berdiri di depan jalan, dan sedang melihat ke arah kami.Ibu masuk mendahului kami dan duduk di sofa ruang tamu. Aku dan Mas Arif mengikuti Ibu, duduk di sofa yang berhadapan den
“Ibu ....” Kak Aji mengamuk, lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Arif.Mas Arif hendak membalasnya, namun dengan cepat ku tepis tangannya.“Sudah, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang, semuanya sudah tersulut emosi.” Aku mengelus lengan Mas Arif agar ia sedikit tenang. Amira pun menangis, Mas Arif mengucapkan istighfar lalu menggendong Amira.Ajaib, bayi cantikku berhenti menangis di gendongan bapaknya. Mas Arif melangkah masuk kamar, meninggalkan kami.Wajah Kak Vivi merah padam, pun suaminya.Aku pikir mereka hendak menyerangku lagi, ternyata tidak. Kedua kakak iparku itu memilih pulang tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Aku terkejut saat mendapati Ibu masih terduduk di lantai. Aku hendak membantunya berdiri, namun lagi-lagi Ibu menepis tanganku.Ibu masuk kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya beristighfar, melihat tingkah Ibu yang kadang kekanakan. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit orang tua. Semakin tua, tingkah mereka semakin aneh.Aku masuk kamar,