Aku terkejut mendengar omelan Ibu mertua yang sudah berdiri di belakang Mas Arif.
Badannya menunduk, hendak memungut daun singkong yang berserakan di lantai.
Aku mendahului Ibu, memungut daun singkong dengan cepat. Namun, tak disangka, Ibu malah mendorongku hingga tersungkur.
“Bu,” Mas Arif menatap Ibu mertua, lalu meraih tanganku membantuku berdiri.
“Kenapa, Rif? Kau membela istrimu ini?” Ibu mertua melotot, memarahi Mas Arif yang terus menggenggam tanganku.
“Bukan membela, Bu,” sahut Mas Arif lembut. “Ibu kan belum mendengar penjelasan Fira,” sambungnya lagi.
“Penjelasan apa? Kenapa daun singkong ini dibuang, iya? Kalaupun menjelaskan, istrimu ini pandai beralasan!” pungkas Ibu mertua sengit.
“Tapi, Bu–“
“Mas, sudah. Malu dilihat tetangga,” aku menyela ucapan Mas Arif, karena melihat beberapa tetangga yang berdiri di depan jalan, dan sedang melihat ke arah kami.
Ibu masuk mendahului kami dan duduk di sofa ruang tamu. Aku dan Mas Arif mengikuti Ibu, duduk di sofa yang berhadapan dengan beliau.
“Bu, Fira minta maaf karena sudah membuat Ibu marah dan kecewa. Ini tidak seperti yang Ibu lihat. Fira tidak membuang daun singkong ini, tapi Fira memberikannya pada Kak Vivi karena tadi Kak Vivi minta sayur. Tapi ternyata Kak Vivi malah membuangnya di teras.” Aku menjelaskan dengan lembut agar Ibu percaya.
“Tuh kan, Bu. Fira tidak salah, tapi Kak Vivi yang tidak menghargai sayur yang Ibu beli.” Mas Arif ikut menyalahkan Kak Vivi.
Ibu diam, tidak mengomentari penjelasanku. Aku tahu, karena Ibu tidak berani memarahi Kak Vivi secara langsung, namun diam-diam mengumpat dan mengadukannya pada anaknya yang lain, sama sepertiku.
Ah, masa bodohlah. Yang penting aku sudah menjelaskan pada Ibu. Kalaupun nanti Ibu tetap menyalahkan dan menjelekkan aku di depan anak-anaknya, itu lain ceritanya. Intinya sekarang, masalah daun singkong selesai.
Mas Arif pamit pada Ibu mau mandi, dan aku mengikuti Mas air masuk kamar. Sempat ku dengar, Ibu berbicara dalam bahasa yang hanya beliau sendiri yang paham, yakni menggerutu tak jelas.
Kadang aku merasa lucu dengan kebiasaan Ibu, yang suka menggerutu dan mengumpat tak jelas.
Namun, walaupun Ibu seperti itu, aku tetap berbakti padanya dan tidak menghilangkan kewajibanku sebagai menantu.
Mas Arif bergegas masuk kamar mandi yang letaknya di samping dapur, karena di rumah ini hanya ada satu kamar mandi.
Aku mengganti celana Amira yang basah karena pipis. Aku membiasakan anakku tidak mengenakan popok karena di sini suhunya panas, maklum dekat pantai.
Ditambah, Ibu mertua yang selalu mengomel jika Amira, ku pakaikan popok. Katanya boros dan tidak baik untuk tumbuh kembang anak.
Entahlah, apakah betul popok mempengaruhi pertumbuhan Amira. Aku hanya mengikuti saja karena tak ingin masalah popok berkepanjangan.
Mas Arif sudah selesai mandi dan berpakaian, lalu menggendong Amira untuk melepaskan rindu sebab seharian sibuk di luar.
“Arif! Arif!” Aku dan Mas Arif saling pandang, mendengar Kak Aji berteriak memanggil Mas Arif. Sepertinya Kak Aji sedang marah, terdengar dari nada suaranya yang keras.
Mas Arif tergopoh-gopoh keluar dari kamar sambil menggendong Amira. Aku mengikuti Mas Arif, mengambil Amira dari gendongannya, takut terjadi apa-apa.
“Ada apa, Mas?” tanya Mas Arif.
“Tolong ajari istrimu ini sopan santun sama yang lebih tua!” Kak Aji menunjukku tepat di depan wajah.
Aku kaget dengan reaksi Kak Aji yang tiba-tiba.
“Ada apa ya, Kak?” Aku mengernyitkan dahi, bingung dengan keadaan sekarang.
“Iya, Mas. Ada apa ini?” tanya Mas Arif lagi.
“Tanya saja sama istrimu yang kampungan ini!” tunjuk Kak Aji untuk kedua kalinya.
“Kak! Berhenti menunjukku dan mengataiku jika tak tahu yang sebenarnya!” Aku menatap tajam Kak Aji yang begitu arogan dan tingkahnya yang bikin muak.
“Ini! Model seperti ini yang tidak tahu sopan santun!” Kak Aji hendak menunjukku lagi, namun tangannya ditepis kasar oleh Mas Arif.
“Berani kamu sekarang sama Mas?” teriak Kak Aji tak karuan, tidak terima dengan Mas Arif yang membelaku.
“Iya, Kak. Aku berani kalau kakak kurang ajar sama Fira!” Mas Arif maju selangkah membuat Kak Aji juga mundur selangkah. Aku takut jika keduanya saling pukul.
Ibu mertua yang mendengar keributan di ruang tamu, muncul dari kamar.
“Aji, Arif, ada apa ini?” Ibu memandang kami bergantian.
“Ini semua gara-gara Fira, Bu!” sungut Kak Aji membuatku membelalakkan mata. Apa-apaan Kak Aji menjadikan aku kambing hitam, aku sendiri saja tak tahu apa yang terjadi.
“Fira! Ada apa ini?” Ibu melotot menatapku.
“Bu, Fira dan aku tidak tahu apa-apa. Kak Aji yang datang sambil marah-marah dan menunjuk-nunjuk Fira,” Mas Arif membelaku, karena seperti itulah kebenarannya.
“Jadi begini, Bu. Barusan Vivi cerita kalau Fira mendorongnya hanya karena Vivi hendak minta sayur yang Ibu beli!” papar Kak Aji, yang sontak membuat Mas Arif menatapku.
“Betul begitu, Dek?” selidik Mas Arif, sepertinya meragukanku.
“Bukan seperti itu, Mas.” sela ku, sembari memenangkan Amira yang perlahan menangis, mungkin kaget dengan suara besar Kak Aji.
Aku pun mulai menceritakan dari awal sampai akhir, tak kurang suatu apa pun mengenai perkara sayur antara aku dan Kak Vivi.
“Jangan mengada-ada kau, Fira!” tiba-tiba Kak Vivi sudah didepan pintu, dan masuk sembari tangannya menunjukku.
Suami istri sama saja, suka menunjuk orang jika sedang bermasalah.
“Aku tidak mengada-ada, Kak. Aku menjelaskan sesuai dengan yang terjadi,” sahutku membela diri.
“Kau memang keterlaluan!” Kali ini Ibu membuka mulut dan ikut menyalahkan ku.
Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa hari ini begitu berat? Kuatkan aku, Ya Allah.
“Aku percaya sama Fira. Dia tidak mungkin kasar kalau Kak Vivi yang lebih dulu tidak sopan!” tegas Mas Arif membuat Kak Aji kembali tersulut emosi.
“Jadi kau menyalahkan istri Mas, begitu?” rahang Kak Aji mengeras, matanya melotot menatap tajam Mas Arif, seolah ingin menelannya bulat-bulat.
“Kak Vivi memang salah, Mas!” ucap Mas Arif lantang.
Kak Aji tidak terima. Tangannya mengepal, dan hendak meninju wajah Mas Arif. Dengan sigap, Mas Arif mengelak, membuat tangan Kak Aji meninju udara.
Ibu mertua berteriak melihat kedua anaknya yang terlibat perkelahian.
“Ajiiii, Ariiff, hentikan!” teriak Ibu menghentikan Mas Arif dan Kak Aji.
Mas Arif menghempaskan tangan Kak Aji yang dari tadi dicekalnya karena hendak meninjuku.
Ibu menatapku nyalang. Ekspresinya menyiratkan kebencian.
“Puas kau, melihat anakku baku pukul!” Ibu maju dan hendak menjambak rambutku. Mas Arif dengan cepat menghadang Ibu. Kesempatan itu digunakan Ibu untuk memperkeruh suasana.
Ibu menjatuhkan tubuhnya tepat di depan Mas Arif, seolah Mas Arif yang membuatnya terjatuh.
“Ibu ....”
“Ibu ....” Kak Aji mengamuk, lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Arif.Mas Arif hendak membalasnya, namun dengan cepat ku tepis tangannya.“Sudah, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang, semuanya sudah tersulut emosi.” Aku mengelus lengan Mas Arif agar ia sedikit tenang. Amira pun menangis, Mas Arif mengucapkan istighfar lalu menggendong Amira.Ajaib, bayi cantikku berhenti menangis di gendongan bapaknya. Mas Arif melangkah masuk kamar, meninggalkan kami.Wajah Kak Vivi merah padam, pun suaminya.Aku pikir mereka hendak menyerangku lagi, ternyata tidak. Kedua kakak iparku itu memilih pulang tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Aku terkejut saat mendapati Ibu masih terduduk di lantai. Aku hendak membantunya berdiri, namun lagi-lagi Ibu menepis tanganku.Ibu masuk kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya beristighfar, melihat tingkah Ibu yang kadang kekanakan. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit orang tua. Semakin tua, tingkah mereka semakin aneh.Aku masuk kamar,
“Karena ini kan, kau menagihnya sama Ibu berulang kali dan bahkan kau menagihnya di depan orang lain?” Kak Ria marah ke Mas Arif.Ya Allah, ada apa lagi ini.“Kak, aku minta sama Ibu karena itu hak aku, Kak. Dan demi Allah, aku tak menagihnya di depan orang lain tapi di dalam mobil pas kami pulang.”“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari kau, Rif. Intinya mulai besok, kau tidak usah membantu kakak lagi!” Kak Ria beranjak pergi.Mas Arif memungut beberapa lembar uang yang jatuh di depannya. Aku menuntun Mas Arif yang terlihat lemah ke sofa.Mas Arif terlihat menyedihkan. Begitu lemah di hadapan kakaknya hingga tak mampu membela diri lebih jauh.Mas Arif menggaruk kepalanya, frustasi. Ya Allah, begitu tersiksanya suamiku, di perlakukan seperti ini oleh orang terdekatnya.“Dek, Mas harus kerja di mana besok dan seterusnya?” Mas Arif menatapku nanar.Aku menggeleng, bingung.“Mas akan mencoba berbicara lagi sama Kak Ria, ya Dek.”“Jangan, Mas.” Aku membantah pembicaraan Mas Arif
Sudah dua Minggu berlalu sejak Mas Arif dipecat dari kerjaannya membantu Kak Ria. Ibu masih mendiamkan Mas Arif gara-gara uang gaji Mas Arif yang menjadi sopir untuk Ibu.Ibu juga mendiamkanku dan Amira. Aku sedih, namun cepat-cepat menghibur diri.Selama dua Minggu pula, Ibu tak makan dan minum di rumah. Ibu juga tak belanja lagi kebutuhan dapur selama dua Minggu ini. Tak apa, aku banyak uang dan tak berkecil hati dengan sikap Ibu.Beberapa kali aku mendapati Ibu makan nasi bungkus di dalam kamar, sepulang dari kota. Aku melihatnya lewat cela pintu yang terbuka sedikit. Bukan mengintip, aku sedang menyapu ruang tamu jadi tak sengaja melihat ke dalam kamar Ibu.Ibu tak tahu kalau aku memergokinya, aku berpura-pura tidak tahu. Aku juga tak bercerita pada Mas Arif, takutnya Mas Arif sedih. Kalau Bapak, belum pulang juga dari mengobat orang. Sempat menelepon, kalau Bapak sudah di kampung yang lain, karena orang menjemputnya dan akan pulang dalam waktu yang lama.Hari ini, Ibu tidak ke k
“Dek, ayo pergi dari sini.”Aku menatap Mas Arif, yang tak berkedip menatapku. Tatapannya seperti memohon.Memohon padaku agar terlepas dari beban yang menghimpit dadanya.Label anak bungsu membuatnya tak berdaya.‘Ya Allah, apa yang akan aku lakukan sekarang.’“Mas, jangan mengambil keputusan saat emosi. Tunggu Bapak, ya. Aku yang akan bicara.”Aku mengelus pipi Mas Arif, mengusap bulir bening yang menggantung di pelupuk mata.Lalu mengecup keningnya lembut, satu-satunya yang ku lakukan agar Mas Arif cepat tenang.Ku gandeng tangan Mas Arif, lalu duduk di Meja makan. Aku menghidangkan kopi hitam manis di depannya, yang langsung di seruputnya pelan.“Terima kasih, Sayang.”Ah, aku tersipu malu mendengar ucapan Mas Arif.Ku lihat wajahnya yang perlahan cerah. Ku tarik kursi agar mendekat ke Mas Arif, lalu menemainya menyeruput kopi pagi.Aku dan Mas Arif kembali diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.***“Fira! Fira!”Aku yang sedang memasak, langsung berlari meninggalkan dapur m
“Selama ini Fira memberi uang listrik sama saya tapi hanya lima puluh ribu setiap bulan,” sahut Kak Vivi dengan mata tajam menatap ke arahku.“Ha? Lima puluh ribu setiap bulan? Fira, Fira. Dasar perhitungan!” Ibu melotot, seperti ingin menelanku bulat-bulat.Aku memandang sinis Kak Vivi. Dasar perempuan ul*r, pandai sekali berbohong. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.Tanpa bicara lagi, aku segera masuk kamar, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada mereka semua.Ibu tercengang, pun Kak Vivi.Mas Arfin merangkul ku. Dan Kak Aji, menatap garang istrinya.“Jadi, selama ini Fira memberi uang seratus ribu setiap Minggu untuk membayar listrik? Kau kemanakan uang itu?” teriak Kak Aji, memarahi Kak Vivi.“Enggak, Mas. Fira mengada-ada!” Kak Vivi maju dan hendak merebut ponsel yang masih memperlihatkan video aku memberi uang seratus ribu.“Dasar. Apa mau aku tunjukkan videonya dari bulan pertama aku memberi uang?” Aku geram, Kak Vivi masih mengelak.“Memangnya dari kapan kau memberi uang,
Hari ini ada tamu spesial yang datang. Kak Sinta, sahabat Kak Vivi. Aku bingung, kok tumben temannya Kak Vivi datang ke rumahku.Padahal aku tidak dekat dengan Kak Sinta, hanya basa-basi saat dia datang ke rumah Kak Vivi. Itu pun jarang aku berpapasan dengannya.Aku menyuguhkan teh hangat dengan roti yang kubeli saat mengunjungi toko kemarin.Lalu mempersilahkan Kak Sinta untuk mencicipinya. Setelahnya, aku bertanya tujuan Kak Sinta datang, karena tumbennya berkunjung.Baru saja Kak Sinta bercerita, ponselku yang di dalam kamar berdering.Aku minta ijin pada Kak Sinta untuk menjawab telepon. Ternyata Arman, dia mengirimkan video rekaman CCTV beberapa karyawan yang bermasalah.Setelah panggilan berakhir, aku menghampiri Kak Sinta yang duduk selonjoran di ruang teve. Aku jadi teringat dengan rekaman yang di kirim Arman.Apakah berdosa jika aku juga ingin merekam pembicaraanku dengan Kak Sinta?Iya. Berdosa tapi aku hanya ingin berjaga-jaga. Karena sepertinya Kak Sinta ke sini hanya untu
“Kenapa diam saja, Arif? Silahkan bawa istrimu pergi dari sini!” Bapak mertua melototi Mas Arif.Mas Arif menatap bapak dengan tatapan hampa, seolah ingin memelas bahwa istrinya tak bersalah. Aku tak sanggup menatapi ekspresi wajah Mas Arif.Aku mengalihkan pandangan, menatap Ibu yang masih memasang wajah berangnya. Lalu beralih menatap Mas Arif, matanya berkaca-kaca.Aku mengusap pelan punggung Mas Arif, memberikannya ketenangan.Mas Arif menatapku seraya tangannya menggenggam erat tanganku.“Baik, Pa, Bu. Arif akan bawa Fira dan Amira untuk pergi dari sini!” ujar Mas Arif lantang, membuatku sontak menatapnya.“Jangan sok berani kau, Rif. Bisa apa kau tanpa Ibu dan Bapak?” cibir Kak Aji, dengan raut wajah sinis.“Kalaupun pergi, pasti besok bakal balik!” timpal Kak Vivi dengan mulut lempemnya.“Ayo, Dek. Kita pergi dari sini.” Mas Arif menarik pelan tanganku. Aku segera mengikuti langka Mas Arif, berjalan menuju kamar.Dengan cekatan, Mas Arif membereskan semua barang-barang kami yan
“Halo, Kak Sinta, akhirnya ketemu juga!” Aku menyapa Kak Sinta yang terlihat sedikit gugup.“Santai saja, Kak. Jangan terlalu takut, santai,” sambungku lagi, sengaja menyindir Kak Sinta. Bodoh amat, walau ada suaminya, aku tidak takut, karena perempuan seperti Kak Sinta harus dibuat kapok, biar tobat gibahin orang.Tanpa basa-basi, aku langsung memutar rekaman pembicaraanku dengan Kak Sinta. Aku tidak ingin menunggu Kak Sinta mengatakan yang sebenarnya, karena itu mustahil. Manusia seperti Kak Sinta akan terus mempertahankan kesalahannya, dan aku akan terus dijadikan kambing hitam dari mulut dosanya.Semuanya diam, fokus mendengar suara nyaring Kak Sinta dari handphone yang ku pegang. Ku perbesar volumenya, membuat suara Kak Sinta semakin terdengar cempreng. Ku lirik sekilas kea rah Kak Vivi, dadanya naik turun seperti menahan amarah yang meluap. Apalagi Kak Aji, tak kalah sangar tampangnya. Ah, terserahlah. Hanya Kak Dino yang menunduk, sepertinya menahan malu, malu karena perbuatan