“Barusan Ibu bilang, kalau kamu kasar sama Ibu,” ucap Mas Arif lembut dan hampir tak terdengar, sepertinya takut jika Ibu juga mendengar pembicaraan kami.
“Aku masih bingung, Mas. Tolong jelaskan sejelas-jelasnya!”
Mas Arif menghela napas panjang, melihatku yang sedikit marah.
“Dek, Ibu itu mertua kamu, orang tua kamu yang kedua. Jadi, perlakukan Ibu seperti Ibu kandung kamu sendiri!”
“Jangan terbelit-belit, Mas. Jelaskan intinya!” Aku mulai tak sabar mendengar pengaduan Ibu mertua ke anaknya.
“Tadi, sewaktu Ibu menanyakan bumbu dapur yang hilang, kenapa kamu malah menyalahkan Ibu?” Mas Arif sepertinya sangat marah, terlihat dari rahangnya yang mengeras.
“Oh, jadi Ibu mengadu soal itu sama kamu, Mas?”
“Dek! Ibu tidak mengadu, Ibu hanya menceritakan apa yang terjadi tadi!” Mas Arif terlihat emosi.
“Sama saja, Mas!” Aku kesal dengan Mas Arif yang cepat marah dan emosi sebelum mendengar penjelasanku.
Mas Arif terdiam, dan rahangnya makin mengeras. Tak terima saat aku mencela Ibunya.
“Ceritanya begini, Mas. Tadi waktu mau masak, bumbu dapur habis, padahal Ibu baru membelinya kemarin. Ibu menyalahkan aku karena tidak melarang Kak Vivi saat mengambil bumbu dapur di sini. Jadi, aku jawab kalau Ibu pernah bilang jangan melarang Kak Vivi untuk mengambil apa pun di rumah ini, karena semua itu dibeli Ibu, bukan aku!” Aku menjelaskan panjang lebar agar Mas Arif tak salah paham dan menyalahkan aku.
“Terus salahnya aku di mana, Mas?” Mas Arif masih terdiam.
“Mas!” Aku menggoyangkan lengan Mas Arif.
“Sudahlah, mungkin Ibu lupa kalau pernah berkata demikian,” jawab Mas Arif lesu.
“Kalau Mas tidak percaya, aku ada kok buktinya.”
“Sudah, sudah. Mas lapar, ayo makan.” Mas Arif menggandeng tanganku ke meja makan. Aku belum puas menjelaskan yang terjadi, dan ingin menanyakan langsung pada Ibu, mengapa harus menceritakan sama Mas Arif hal sesederhana ini? Kalaupun masalahnya bertambah besar dan terjadi perkelahian antara aku dan Ibu, ya wajar. Tapi, ini kan hanya masalah sepele dan sudah terselesaikan, namun Ibu masih menyimpannya dan malah balik menyalahkan aku.
“Dek, ayo makan.” Mas Arif menarik tanganku, membuatku terduduk di kursi sampingnya.
Aku menatap Mas Arif saat mendapati piringku sudah di isi nasi beserta lauknya. Suamiku makan dengan lahap, dan terlihat begitu menikmati masakan Ibunya.
Aku mengikuti Mas Arif, menyuap makanan pelan ke mulutku.
Kami berdua, makan dalam diam.
***
Setelah salat isya, aku bergegas masak untuk makan malam. Sebentar lagi, Ibu mertua dan suamiku pulang dari rumah Kak Ria. Mas Arif membantu Kak Ali, suami Kak Ria mengangkut ikan dan memindahkannya ke dalam gabus khusus untuk ikan. Kalau Kak Ali sedang pergi memancing, maka Mas Arif sendiri yang akan mengangkut ikan, mencampurnya dengan es batu di dalam gabus, baru dimuat ke dalam mobil pickup. Begitulah pekerjaan sehari-hari Mas Arif, di samping membeli solar, mengikat es batu sebelum disimpan ke dalam freezer.
Sementara Bapak mertua, tadi pagi dijemput orang ke kampung sebelah, karena ada orang sakit.
Bapak mertua dikenal orang sebagai ‘pengobat’ atau biasa dikenal dukun.
Namun, tidak seperti dukun kebanyakan yang melakukan ritual atau menyembah makhluk lain, Bapak mertua hanya mengandalkan doa dan ayat Alquran. Sejauh itu yang aku tahu, karena aku menjadi menantunya baru dua tahun.
Menu makan malam telah siap. Tumis kangkung untuk suami, urap daun kates plus bunganya untuk Ibu mertua. Tak ketinggalan, ikan goreng dan sambal mentah, dengan sedikit tempe goreng.
Selesai menghidangkan masakan, aku menutupinya dengan tudung saji.
“Fira!”
“Astagfirullah!” Aku mengelus dada dengan cepat, tatkala Kak Vivi sudah ada di sampingku.
“Kak, apa salahnya sih, sebelum masuk ucapkan salam dulu! Masa kalah sama kucing!” gerutuku kesal. Kebiasaan sekali kakak iparku ini, kalau masuk tak ada salam, tahu-tahu sudah di dalam.
“Ya elah Fira, begitu saja kok jadi masalah,” sungut Kak Vivi tanpa rasa bersalah.
Aku mendengus, tak menghiraukan ucapan Kak Vivi.
Tangan Kak Vivi terulur, hendak membuka tudung saji. Dengan cepat ku tepis. Walau terkesan tak sopan karena umurku dengan Kak Vivi terpaut delapan tahun, aku sudah tahu dan hafal dengan gerak-geriknya.
“Kasar ya kamu sama saya!” Kak Vivi menatapku tajam. “Awas, saya mau ambil masakan Ibu!” Dengan kasar, Kak Vivi mendorong tubuhku hingga kepalaku terbentur tembok. Sakit, namun tak ku hiraukan dulu. Aku hanya ingin menyelamatkan makananku sekarang.
“Masakan Ibu yang mana? Ini masakanku, Kak. Ibu dari tadi sore pergi ke rumah Kak Ria. Jadi, tidak ada masakan Ibu di sini!” Aku balas mendorongnya hingga menjauh dari meja makan.
“Dasar sombong. Kalau bukan karena Ibu yang beli, mana bisa makan kau dan anakmu?” sinis Kak Vivi, membuat dadaku bergemuruh.
“Nih! Ini yang Ibu beli, silahkan masak sendiri!” Aku memberikan dua ikat daun singkong ke tangan Kak Vivi. “Semua yang tersedia di meja makan, aku yang beli. Kalau tidak percaya, tanya sama Ibu!” Aku menatap kesal Kak Vivi.
“Cuih, dasar belagu. Kalaupun kau yang beli, pasti uangnya dari Ibu, iya kan? Ya iyalah, mana ada suaminya pengangguran, istrinya ongkang-ongkang kaki di rumah, dapat uang! Kecuali satu, pelihara tuyul!” Kak Vivi melempar daun singkong ke wajahku.
Astagfirullah. Mulut Kak Vivi sudah berlebihan sekali.
Walau badannya agak besar, aku mampu mendorongnya hingga keluar. Tak lupa aku melempar daun singkong tepat di wajahnya, sebelum aku menutup pintu dengan keras.
“Fira! Tunggu kau ya, dasar miskin, tukang numpang, belagu. Aku lapor kau pada Ibu dan Mas Aji, biar diusir kau!” Kak Vivi seperti kesetanan, teriak tak karuan di depan pintu. Tak malu dengan tetangga sekitar.
“Saya tunggu, Kak!” tantangku pada Kak Vivi yang membuatnya makin kalap hingga menendang pintu dengan keras.
Suara bantingan pintu kini terdengar dari pintu dapur Kak Vivi. Aku tertawa kecil dengan tingkah Kak Vivi.
Prang!
Dari sebelah dapur Kak Vivi terdengar bantingan benda dibarengi umpatan-umpatan Kak Vivi.
Semuanya bisa ku dengar karena dapur Kak Vivi bersebelahan dengan kamar Ibu mertua dan kamar tamu.
Kalau dilihat dari depan jalan, rumah kami hanya satu, memanjang dari depan sampai belakang.
Bagian depan ditempati oleh Kak Aji beserta istri dan anak-anaknya.
Sedangkan, rumah bagian belakang, ditempati oleh kami beserta Bapak Ibu mertua.
Tak lama, ku dengar bunyi motor Mas Arif. Aku bergegas membuka pintu, menyalami Mas Arif yang menenteng keresek berisi ikan segar.
“Fira! Kenapa daun singkong kau lempar keluar? Kalau kau tidak mau masak, setidaknya hargai, walaupun cuma daun singkong!”
Aku terkejut mendengar omelan Ibu mertua yang sudah berdiri di belakang Mas Arif.Badannya menunduk, hendak memungut daun singkong yang berserakan di lantai.Aku mendahului Ibu, memungut daun singkong dengan cepat. Namun, tak disangka, Ibu malah mendorongku hingga tersungkur.“Bu,” Mas Arif menatap Ibu mertua, lalu meraih tanganku membantuku berdiri.“Kenapa, Rif? Kau membela istrimu ini?” Ibu mertua melotot, memarahi Mas Arif yang terus menggenggam tanganku.“Bukan membela, Bu,” sahut Mas Arif lembut. “Ibu kan belum mendengar penjelasan Fira,” sambungnya lagi.“Penjelasan apa? Kenapa daun singkong ini dibuang, iya? Kalaupun menjelaskan, istrimu ini pandai beralasan!” pungkas Ibu mertua sengit.“Tapi, Bu–““Mas, sudah. Malu dilihat tetangga,” aku menyela ucapan Mas Arif, karena melihat beberapa tetangga yang berdiri di depan jalan, dan sedang melihat ke arah kami.Ibu masuk mendahului kami dan duduk di sofa ruang tamu. Aku dan Mas Arif mengikuti Ibu, duduk di sofa yang berhadapan den
“Ibu ....” Kak Aji mengamuk, lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Arif.Mas Arif hendak membalasnya, namun dengan cepat ku tepis tangannya.“Sudah, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang, semuanya sudah tersulut emosi.” Aku mengelus lengan Mas Arif agar ia sedikit tenang. Amira pun menangis, Mas Arif mengucapkan istighfar lalu menggendong Amira.Ajaib, bayi cantikku berhenti menangis di gendongan bapaknya. Mas Arif melangkah masuk kamar, meninggalkan kami.Wajah Kak Vivi merah padam, pun suaminya.Aku pikir mereka hendak menyerangku lagi, ternyata tidak. Kedua kakak iparku itu memilih pulang tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Aku terkejut saat mendapati Ibu masih terduduk di lantai. Aku hendak membantunya berdiri, namun lagi-lagi Ibu menepis tanganku.Ibu masuk kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya beristighfar, melihat tingkah Ibu yang kadang kekanakan. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit orang tua. Semakin tua, tingkah mereka semakin aneh.Aku masuk kamar,
“Karena ini kan, kau menagihnya sama Ibu berulang kali dan bahkan kau menagihnya di depan orang lain?” Kak Ria marah ke Mas Arif.Ya Allah, ada apa lagi ini.“Kak, aku minta sama Ibu karena itu hak aku, Kak. Dan demi Allah, aku tak menagihnya di depan orang lain tapi di dalam mobil pas kami pulang.”“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari kau, Rif. Intinya mulai besok, kau tidak usah membantu kakak lagi!” Kak Ria beranjak pergi.Mas Arif memungut beberapa lembar uang yang jatuh di depannya. Aku menuntun Mas Arif yang terlihat lemah ke sofa.Mas Arif terlihat menyedihkan. Begitu lemah di hadapan kakaknya hingga tak mampu membela diri lebih jauh.Mas Arif menggaruk kepalanya, frustasi. Ya Allah, begitu tersiksanya suamiku, di perlakukan seperti ini oleh orang terdekatnya.“Dek, Mas harus kerja di mana besok dan seterusnya?” Mas Arif menatapku nanar.Aku menggeleng, bingung.“Mas akan mencoba berbicara lagi sama Kak Ria, ya Dek.”“Jangan, Mas.” Aku membantah pembicaraan Mas Arif
Sudah dua Minggu berlalu sejak Mas Arif dipecat dari kerjaannya membantu Kak Ria. Ibu masih mendiamkan Mas Arif gara-gara uang gaji Mas Arif yang menjadi sopir untuk Ibu.Ibu juga mendiamkanku dan Amira. Aku sedih, namun cepat-cepat menghibur diri.Selama dua Minggu pula, Ibu tak makan dan minum di rumah. Ibu juga tak belanja lagi kebutuhan dapur selama dua Minggu ini. Tak apa, aku banyak uang dan tak berkecil hati dengan sikap Ibu.Beberapa kali aku mendapati Ibu makan nasi bungkus di dalam kamar, sepulang dari kota. Aku melihatnya lewat cela pintu yang terbuka sedikit. Bukan mengintip, aku sedang menyapu ruang tamu jadi tak sengaja melihat ke dalam kamar Ibu.Ibu tak tahu kalau aku memergokinya, aku berpura-pura tidak tahu. Aku juga tak bercerita pada Mas Arif, takutnya Mas Arif sedih. Kalau Bapak, belum pulang juga dari mengobat orang. Sempat menelepon, kalau Bapak sudah di kampung yang lain, karena orang menjemputnya dan akan pulang dalam waktu yang lama.Hari ini, Ibu tidak ke k
“Dek, ayo pergi dari sini.”Aku menatap Mas Arif, yang tak berkedip menatapku. Tatapannya seperti memohon.Memohon padaku agar terlepas dari beban yang menghimpit dadanya.Label anak bungsu membuatnya tak berdaya.‘Ya Allah, apa yang akan aku lakukan sekarang.’“Mas, jangan mengambil keputusan saat emosi. Tunggu Bapak, ya. Aku yang akan bicara.”Aku mengelus pipi Mas Arif, mengusap bulir bening yang menggantung di pelupuk mata.Lalu mengecup keningnya lembut, satu-satunya yang ku lakukan agar Mas Arif cepat tenang.Ku gandeng tangan Mas Arif, lalu duduk di Meja makan. Aku menghidangkan kopi hitam manis di depannya, yang langsung di seruputnya pelan.“Terima kasih, Sayang.”Ah, aku tersipu malu mendengar ucapan Mas Arif.Ku lihat wajahnya yang perlahan cerah. Ku tarik kursi agar mendekat ke Mas Arif, lalu menemainya menyeruput kopi pagi.Aku dan Mas Arif kembali diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.***“Fira! Fira!”Aku yang sedang memasak, langsung berlari meninggalkan dapur m
“Selama ini Fira memberi uang listrik sama saya tapi hanya lima puluh ribu setiap bulan,” sahut Kak Vivi dengan mata tajam menatap ke arahku.“Ha? Lima puluh ribu setiap bulan? Fira, Fira. Dasar perhitungan!” Ibu melotot, seperti ingin menelanku bulat-bulat.Aku memandang sinis Kak Vivi. Dasar perempuan ul*r, pandai sekali berbohong. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam.Tanpa bicara lagi, aku segera masuk kamar, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada mereka semua.Ibu tercengang, pun Kak Vivi.Mas Arfin merangkul ku. Dan Kak Aji, menatap garang istrinya.“Jadi, selama ini Fira memberi uang seratus ribu setiap Minggu untuk membayar listrik? Kau kemanakan uang itu?” teriak Kak Aji, memarahi Kak Vivi.“Enggak, Mas. Fira mengada-ada!” Kak Vivi maju dan hendak merebut ponsel yang masih memperlihatkan video aku memberi uang seratus ribu.“Dasar. Apa mau aku tunjukkan videonya dari bulan pertama aku memberi uang?” Aku geram, Kak Vivi masih mengelak.“Memangnya dari kapan kau memberi uang,
Hari ini ada tamu spesial yang datang. Kak Sinta, sahabat Kak Vivi. Aku bingung, kok tumben temannya Kak Vivi datang ke rumahku.Padahal aku tidak dekat dengan Kak Sinta, hanya basa-basi saat dia datang ke rumah Kak Vivi. Itu pun jarang aku berpapasan dengannya.Aku menyuguhkan teh hangat dengan roti yang kubeli saat mengunjungi toko kemarin.Lalu mempersilahkan Kak Sinta untuk mencicipinya. Setelahnya, aku bertanya tujuan Kak Sinta datang, karena tumbennya berkunjung.Baru saja Kak Sinta bercerita, ponselku yang di dalam kamar berdering.Aku minta ijin pada Kak Sinta untuk menjawab telepon. Ternyata Arman, dia mengirimkan video rekaman CCTV beberapa karyawan yang bermasalah.Setelah panggilan berakhir, aku menghampiri Kak Sinta yang duduk selonjoran di ruang teve. Aku jadi teringat dengan rekaman yang di kirim Arman.Apakah berdosa jika aku juga ingin merekam pembicaraanku dengan Kak Sinta?Iya. Berdosa tapi aku hanya ingin berjaga-jaga. Karena sepertinya Kak Sinta ke sini hanya untu
“Kenapa diam saja, Arif? Silahkan bawa istrimu pergi dari sini!” Bapak mertua melototi Mas Arif.Mas Arif menatap bapak dengan tatapan hampa, seolah ingin memelas bahwa istrinya tak bersalah. Aku tak sanggup menatapi ekspresi wajah Mas Arif.Aku mengalihkan pandangan, menatap Ibu yang masih memasang wajah berangnya. Lalu beralih menatap Mas Arif, matanya berkaca-kaca.Aku mengusap pelan punggung Mas Arif, memberikannya ketenangan.Mas Arif menatapku seraya tangannya menggenggam erat tanganku.“Baik, Pa, Bu. Arif akan bawa Fira dan Amira untuk pergi dari sini!” ujar Mas Arif lantang, membuatku sontak menatapnya.“Jangan sok berani kau, Rif. Bisa apa kau tanpa Ibu dan Bapak?” cibir Kak Aji, dengan raut wajah sinis.“Kalaupun pergi, pasti besok bakal balik!” timpal Kak Vivi dengan mulut lempemnya.“Ayo, Dek. Kita pergi dari sini.” Mas Arif menarik pelan tanganku. Aku segera mengikuti langka Mas Arif, berjalan menuju kamar.Dengan cekatan, Mas Arif membereskan semua barang-barang kami yan