Selama ini Fahmi tidak pernah menganggap perselingkuhan adalah hubungan serius. Hanya main-main biasa untuk menghilangkan bosan. Namun Fahmi terjebak dalam hubungan masa lalu, menjalin lagi kisah asmara dengan mantan calon istri.
Lambat laun sadar, bahwa Fahmi mencintai Misella lebih dari mencintai Alia. Jadi, Fahmi membuang pikiran 'perselingkuhan tidak ada hubungan serius.' Justru, dengan Misella—Fahmi serius. Tapi Fahmi tidak bisa berpisah dengan Alia, begitu juga Fahmi tidak bisa jauh dari Misella—sehingga setiap pulang bekerja—bertemu Misella untuk melepas kerinduan.
Kalau diminta memilih antara Alia dan Misella. Fahmi tidak bisa memilih. Lelaki itu menginginkan kedua wanita itu.
Fahmi melajukan mobilnya entah kemana. Koper besar sudah masuk ke bagasi mobil. Lelaki itu mendecak kesal, tidak menyangka A
Tanpa Fahmi sadari, menelan ludah usai menikmati pemandangan tubuh Misella.Misella tertawa. Sadar Fahmi memperhatikan tubuhnya tanpa berkedip, sedangkan Fahmi mengutuk, bisa-bisanya wanita itu tidak mengenakan bra dibaliknya, seharusnya Misella lebih berhati-hati saat membuka pintu apartemen atau menyambut tamu.“Kamu dari tadi salah fokus bukan?”Sial! Fahmi ketahuan. “Lain kali kalau menyambut tamu jangan begitu,” komentar Fahmi. Matanya pengintari pandangan ke seluruh ruang, agar dua gundukan itu tidak mengunci matanya dan menegangkan syarafnya.“Begitu gimana?” Misella berpura-pura polos. Dia ingin menggoda Fahmi.“Pakaian kamu, sayang.” Fahmi mendekatkan tubuhnya ke Misella. Hidungnya mengendus bagian tengkuk yang menggoda itu, mencium aroma wangi. Ruangan apartemen juga tercium
Alia membiarkan pesan masuk permintaan maaf dari Fahmi. Alia tidak membutuhkan kata maaf, sebab tidak akan menyembuhkan luka hatinya. Alia hanya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.Alia tidak tahu Fahmi tidur di mana, dan mengutuk diri sendiri karena telah mengkhawatirkan Fahmi. Persetan dengan semuanya! Seharusnya Alia tak perlu memikirkan Fahmi di saat keadaan rumah tangga kacau.Tiga hari Alia hanya berdiam diri. Mengurung diri di rumah. Terkadang Ayora datang, sahabatnya itu tidak pernah bertanya kenapa dan mengapa, dia hanya memeluk Alia agar tidak merasa sendiri dan membiarkan pundak basah oleh air mata.“Aku ingin bercerai dengan Mas Fahmi,” tutur Alia saat Ayora datang.Ayora tidak terkejut sama sekali dengan tutur kata Alia barusan. Bukankah memang wanita di dunia ini menginkan perceraian saat ada masalah dengan suaminya? Kat
Pelukan erat didapatkan saat pintu apartemen di buka oleh Fahmi. Misella masih betah memeluk Fahmi dari belakang, menginginkan Fahmi agar lebih lama tinggal bersama di apartemen.“Aku harus pulang, Sella.”Pelukan semakin erat. Seolah tidak merelakan kepergian Fahmi dari apartemen untuk pulang ke rumah.“Satu hari lagi,” rengek Misella. “Ya? Please!” mohon Misella dengan puppy eyes.Untunglah Fahmi tidak lemah hanya karena puppy eyes dari Misella, tapi menggemaskan.Fahmi menggeleng keras. Sudah tiga hari tidak pulang setelah Alia mengusirnya, tidak mungkin membiarkan Alia sendirian semakin lama. Waktu tiga hari sudah cukup, 'kan? Maksudnya sudah cukup untuk menenangkan diri.“Tidak bisa. Aku suka menikah, tidak bisa berl
“KAMU GILA!”“KENAPA KAMU SELINGKUHIN DIA DARI AWAL!” tanya Ayora dengan lantang di sebrang telepon.“....”“JAWAB, BERENGSEK!”Tarikan napas panjang dari Fahmi. Sama sekali tidak emosi dengan makian dari Ayora. Fahmi akui memang lelaki berengsek, bejat, dan bajingan.“Karena Sella cinta pertamaku. Dia wanita mantan tunangan sekaligus mantan calon istriku,” jawab Fahmi dengan pelan dan lemah.“First love? Belum move on, dan kamu belum selesai dengan masa lalu?" Ayora tertawa remeh. “FUCK YOU!”***Butuh waktu tiga hari untuk Alia bangkit dari kamar. Beruntung mempunyai sahabat seperti Ayora, rela meluangkan waktu untuk sekedar memberi pelukan. Alia tidak membutuhkan kata semangat. Yang dia butuhkan adalah pelukan hangat, tempat sandaran, dan pendengar yang baik. Alia sadar dengan kondisinya, tidak bisa berlama-lama meratapi hidup. Perselingkuhan bisa terjadi pada siapa saja yang sudah menikah. Alia berpikir keras, seberapa pantas pernikahan dipertahankan. Apa sanggup mendampingi Fa
Alia duduk termenung di atas ranjang pesakitan, menatap kosong ke jendela—arah taman yang dipenuhi pepohonan. Di kursi sana ada Fahmi tengah duduk bersebelahan dengan Misella, tengah berbicara serius.Apa yang sedang mereka bicarakan?Alia tidak habis pikir dengan kelakuan Fahmi. Terkadang bersikap manis padanya, tapi di belakang menyakiti, dan berkhianat.Bajingan sekali.Alia baru sadar dari pingsan lima menit yang lalu. Menyadari dirinya sedang ada di rumah sakit, berbaring lemas, dan kepala pening sekaligus pusing.“Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia,” lirih Alia penuh dendam sambil melihat kedekatan Misella dan Fahmi. “Aku tidak akan pernah memaafkanmu."Pintu ruang inap terbuka, masuklah seorang suster yang Alia kenal—karena sekarang Alia tengah dirawat di rumah sakit Fortis—di mana dia bekerja.Suster itu menyapa Alia dengan ramah, sebab Alia datang sebagai pasien bukan sebagai perawat bayi. Dia datang untuk melihat keadaan Alia setelah mendapat kabar bahwa Alia sudah siu
Fahmi keluar untuk bertemu Dokter, tiba-tiba seseorang datang tanpa permisi.Ayora masuk ke ruang inap Alia dengan tergesa-gesa. “Bagaimana keadaan kamu, Al?” Napasnya ngos-ngosan sambil menghampiri Alia, tanpa peduli melewati Fahmi begitu saja.Wanita itu terkejut mendengar kabar bahwa Alia pingsan dan di bawah ke rumah sakit. Padahal sebelumnya dia datang untuk memastikan keadaan Alia baik-baik saja, bahkan membelikan obat vitamin agar tidak tumbang. Namun tetap saja keadaan Alia drop hingga masuk ke rumah sakit.“Aku baik-baik saja,” jawab Alia.“Huft! Aku khawatir banget tahu!” Ada perasaan lega dari Ayora. “Kamu, sih! Tidak mau makan beberapa hari, jadi sakit, 'kan? Bandel. Susah payah untuk membujuk, tetap keras kepala. Aku jadi sebal!” Ayora mendengus kesal.Alia terkekeh mendengar pengakuan sahabatnya. “Sorry, sorry, Ra. Sumpah, waktu itu aku tidak napsu makan sama sekali,” jujur Alia.Senyuman Ayora mengembang. Akhirnya sudah mendengar tawa dari Alia sekian lama Alia selalu b
Berulang kali Misella menghubungi Fahmi, namun tidak ada jawaban. Panggilan sudah ke sepuluh kali. Padahal Misella meminta Fahmi untuk selalu memberi kabar.Apa karena sibuk mengurus istri yang sedang sakit. Jadi, tidak sempat membuka ponsel?Misella tersenyum masam. Cemburu. Sangat cemburu pada Alia. Tetapi Misella harus tahu diri dan sadar diri, dia sebagai orang ketiga.“Kemana, sih, Mas Fahmi? Tidak diangkat-angkat,” dumel Misella kesal. Dia berjalan mondar-mandir di apartemen. Terus mencoba memanggil nomor Fahmi.Lima menit kemudian, akhirnya Fahmi menelpon Misella. Misella senang bukan kepalang. “Hallo, Mas!” sapa Misella. “Akhirnya kamu menelpon balik.” Perasaannya lega.“Maaf aku tidak tahu kamu tadi menelponku.”“It's okay.” Misella memakluminya. “Mas baik-baik aja bukan?” Firasat Misella mengatakan Fahmi sedang berada masalah ketika mendengar nada bicara Fahmi dan suara napas terdengar berat.“Aku baik-baik saja,” jawab Fahmi. “Aku ke apartemen kamu sekarang, ya.”Misella t
Alia termenung. Davira tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga anaknya. Tetapi, tebakan Davira benar apa adanya, Alia dan Fahmi sedang ada masalah. Alia tidak bisa menceritakan pada Davira. "Bukan masalah besar kok, Ma. Jadi, tenang aja." "Sure?" Davira tidak percaya. Pasalnya menyadari banyak hal semenjak bertemu dengan Fahmi, sahabat Alia—Ayora. Seperti menutupi sesuatu. "Ya sudah kalau kamu tidak mau bercerita. Lain kali kalau ada apa-apa bilang sama Mama, oke?" Sungguh beruntung Alia mempunyai Ibu dengan sosok yang baik dan pengertian. "Siap, Ma!" balas Alia dengan semangat. Kemudian keduanya saling mengobrol hal lain, membahas hal random, dan saling tertawa. Kedatangan Davira membuat semangat Alia pulih, tidak larut dalam kesedihan, dan batinnya jauh lebih tenang. "Ma ...." "Iya sayang?" Alia menatap serius Davira. "Apa bercerai lebih baik setelah salah satu dari pasangan ketahuan berselingkuh?" tanya Alia. Davira mengernyit. Bingung sekaligus heran. "Mengap