Alia termenung. Davira tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga anaknya. Tetapi, tebakan Davira benar apa adanya, Alia dan Fahmi sedang ada masalah. Alia tidak bisa menceritakan pada Davira. "Bukan masalah besar kok, Ma. Jadi, tenang aja." "Sure?" Davira tidak percaya. Pasalnya menyadari banyak hal semenjak bertemu dengan Fahmi, sahabat Alia—Ayora. Seperti menutupi sesuatu. "Ya sudah kalau kamu tidak mau bercerita. Lain kali kalau ada apa-apa bilang sama Mama, oke?" Sungguh beruntung Alia mempunyai Ibu dengan sosok yang baik dan pengertian. "Siap, Ma!" balas Alia dengan semangat. Kemudian keduanya saling mengobrol hal lain, membahas hal random, dan saling tertawa. Kedatangan Davira membuat semangat Alia pulih, tidak larut dalam kesedihan, dan batinnya jauh lebih tenang. "Ma ...." "Iya sayang?" Alia menatap serius Davira. "Apa bercerai lebih baik setelah salah satu dari pasangan ketahuan berselingkuh?" tanya Alia. Davira mengernyit. Bingung sekaligus heran. "Mengap
Alia tersenyum, berencana memulihkan sakit hatinya. Pernikahan baru berjalan beberapa bulan, belum sampai setahun. Jadi, akan memberikan kesempatan. Mungkin ini adalah kesempatan yang terakhir Alia berikan pada Fahmi. Selanjutnya bila perselingkuhan di luar batas dan semakin di luar kendali mereka, mau tidak mau harus berpisah dengan Fahmi.Bila di tanya merasa cemburu saat Fahmi bersama wanita lain. Jelas cemburu. Diduakan suami sendiri, rasanya hancur sekali. Setiap ingat dada menjadi sesak.Keadaan Alia pulih setelah jatuh sakit. Pulang bekerja, Alia menerima pesan dari nomor misterius. 'Sudah lama aku tidak mengirimkan pesan untukmu. Apakah kamu menanti pesan dariku? Baiklah ... Mari kita bertemu sekarang juga di cafe Pelangi nomor meja 29.'Alia tidak berkedip membaca pesan itu. Akhirnya setelah menunggu beberapa hari, Alia secepatnya akan mengetahui siapa dia.Sangat antusias Alia menyanggupi untuk bertemu dengan nomor misterius itu sekarang juga. 'Aku akan sampai tiga puluh
“Hai, Alia.”Sapaan memanggil nama Alia, mendadak membuat Alia membeku di tempat. Dunia seakan berhenti berputar sejenak hingga sepasang mata cantik berkedip—sadar akan keadaan terpaku. Suara dari sosok wanita, terdengar lembut. Jadi, pemilik nomor misterius itu adalah seorang wanita? Niat mengambil tisu diurungkan. Kepala Alia terangkat secara perlahan, mendongak ke pemilik suara lembut itu. Cukup tercengang beberapa saat. “H-hai j-juga.” Alia tergagap, sempat menelan ludah.“Tidak perlu tegang seperti itu. Santai saja.”Alia mengangguk kecil.Astaga. Bahkan Alia tidak mengenalinya. Parasnya anggun, kulit kuning langsat, dan short hair (Rambut pendek) Terlihat begitu cantik bak bidadari. Bagaimana bisa wanita secantik itu mencampuri rumah tangga Alia dan wanita selingkuhan Fahmi.Gilanya, Marsha rela meluangkan waktunya untuk membuntuti Fahmi dan Misella.Yang pasti tidak tahu motif apa yang tersembunyi dari Marsha.“Marsha.” Dia memperkenalkan namanya dan mengulurkan tangan pada
Fahmi membujuk Alia untuk berbicara, “Aliaku sayang.” Menghampiri Alia yang sedang duduk di depan meja rias.Tidak ada jawaban.Beberapa hari Alia enggan berbicara dengan Fahmi.Luka Alia masih belum sepenuhnya pulih. Beberapa hari memikirkan apa yang telah dikatakan Marsha. Alia tidak bisa diam, menerima luka tersebut. Dia harus memiliki rencana selanjutnya.Alia menarik paksa ikat rambutnya yang terlalu kencang, lumayan untuk meredakan sakit kepala. Alia melihat Fahmi dari pantulan cermin. Fahmi memasang wajah memelas dan memohon. “Kamu masih belum bisa memaafkanku?” tanyanya pelan. Memaafkan itu sulit. Apalagi berselingkuh. Mungkin bagi orang lain, tidak ada kata maaf untuk berselingkuh. Alih-alih menjawab, Alia berkata, “Aku mau mandi dulu.” Alia bangkit untuk menuju kamar mandi, namun Fahmi menarik tangan Alia.“Aku sangat minta maaf padamu. Wanita itu cinta pertamaku, aku sulit melupakannya.”Alia memejamkan mata mendengar perkataan itu. Astaga. Air matanya jatuh. Melepaskan t
"A-K-U M-A-U C-E-RAI!"Fahmi membelalak lebar. Terkejut bukan main. Terdiam dengan bibir ternganga dan jantung berdebar kencang. Bercerai. Alia berkata ingin bercerai tanpa berpikir jernih terlebih dahulu. Kata-kata itu terucap begitu saja dari mulutnya.Keduanya sama-sama diam. Suasana kamar mendadak berubah mencekam, dingin, dan sunyi. Tidak ada suara kecuali suara napas mereka. Fahmi menarik napas panjang lalu dihembuskan. Dia berkacak pinggang, memalingkan wajah sebentar lalu menatap Alia dengan lekat. Sedangkan Alia tidak membalas tatapan Fahmi, sibuk berantem dengan pikirannya sendiri. Batinnya bertanya-tanya, apakah yang barusan dikatakan adalah keputusan yang tepat? Pernikahan bukanlah sebuah game (permainan). Kawin cerai, apa motivasi untuk melakukan pernikahan dan melakukan perceraian? Alasannya, bosan, ketidakcocokan, dan berselingkuh atau alasan selera lainnya. "Itu keputusanmu?" tanya Fahmi.Alia mengigit bibir bawahnya. "Maybe, yes." (Mungkin iya.)"Ini sulit!""Apak
Di kantin rumah sakit. Fahmi duduk di sebelah Erza yang sedang makan siang. Sudah cukup keduanya saling bertatapan dingin, Fahmi ingin hubungan dengan sahabatnya itu membaik.Selesai makan siang habis, Erza berkata pada Fahmi dengan nada lirih dan kecil, "Berapa lama lagi kamu menyakiti Alia? Semua sudah terungkap. Sudah saatnya kamu akhiri hubungan dengan Misella."Kepala Fahmi menoleh untuk melihat keadaan kantin. Siapa saja yang ada di dekat mereka. Dia takut ada seseorang yang munguping. "Semuanya sudah berakhir. Dia meminta bercerai," jawab Fahmi."Bagus dong! Itu keputusan yang tepat bagi Alia. Dia akan menjalani hidup jauh lebih baik setelah ini," balas Erza. Lelaki itu sangat mendukung Alia. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Alia."Erza dibuat geram mendengar itu. "Kamu bisa hidup tanpanya!" ucap Erza meyakinkan.Fahmi menunduk. Menggeleng pelan. "Tidak. Aku sama sekali tidak bisa tanpanya.""Kalau begitu, akhiri hubungan secepatnya dengan Misella.""Untuk sekarang. Ak
Alia sudah bersiap untuk berangkat bekerja. Pagi ini tidak membuat sarapan, membiarkan meja makan kosong tanpa makanan yang tersaji. “Kamu tidak masak?”Alia baru turun dari tangga menoleh melihat Fahmi yang baru saja dari dapur. “Tidak,” jawab Alia singkat dan padat.“Apa kebutuhan dapur habis?” tanya Fahmi lagi. “Tidak juga.” “Lalu mengapa kamu tidak membuat sarapan.”Alia memalingkan wajahnya. Memutar malas bola matanya. “Untuk apa aku membuat sarapan? Toh, nanti kamu sarapan dengannya di kantin,” jawab Alia. “Lagi pula. Sejak kapan kamu memakan masakanku? Kamu lebih sering makan di luar!” tegas Alia.Apa yang Alia katakan membungkam mulut Fahmi. Ketika Alia rajin menyiapkan sarapan, terkadang diabaikan bahkan sama tidak tidak disentuh. Kali ini? Fahmi rindu dengan masakan Alia. Fahmi melirik jam tangan. “Aku berangkat sekarang,” pamit pada Alia. Melewati Alia begitu saja.Alia mengikuti langkah Fahmi tanpa disadari olehnya. Saat Fahmi membuka bagasi mobil untuk mengambil sesuat
Pintu lift terbuka. Dengan pasti kakinya menyusuri lorong. Berdiri tepat di depan pintu ruangan. Jantung mulai berdetak kencang. Mengapa Alia gugup? Seharusnya Alia tetap tenang. Wanita itulah yang jahat. Jadi, Alia harus berani menghadap padanya.Inilah waktu yang tepat untuk melabrak sang pelakor.“JALANG SIALAN!” maki Alia.Alia berteriak keras satelah membuka pintu dan melihat Misella duduk sedang asik menelepon. Di ruangan itulah pertama kali Alia datang untuk berkonsultasi dan sekarang mendatangi untuk melabraknya. Bila perlu menjambak rambutnya kuat-kuat.Kedatangan Alia secara tidak terduga membuat kedua bola mata Misella langsung membulat. Lebih terkejut dan kaget. Dia segera mematikan panggilan. Raut wajah panik begitu Alia mendekatinya.Ah, Misella seorang Dokter Psikiater. Dia pintar menyembunyikan kepanikan. Secepatnya mungkin mengendalikan respon agar tetap tenang. Alia berdiri di depan meja Misella. Kedua tangan disilangkan, menunduk dan memandang Misella tanpa berked