Fahmi membujuk Alia untuk berbicara, “Aliaku sayang.” Menghampiri Alia yang sedang duduk di depan meja rias.Tidak ada jawaban.Beberapa hari Alia enggan berbicara dengan Fahmi.Luka Alia masih belum sepenuhnya pulih. Beberapa hari memikirkan apa yang telah dikatakan Marsha. Alia tidak bisa diam, menerima luka tersebut. Dia harus memiliki rencana selanjutnya.Alia menarik paksa ikat rambutnya yang terlalu kencang, lumayan untuk meredakan sakit kepala. Alia melihat Fahmi dari pantulan cermin. Fahmi memasang wajah memelas dan memohon. “Kamu masih belum bisa memaafkanku?” tanyanya pelan. Memaafkan itu sulit. Apalagi berselingkuh. Mungkin bagi orang lain, tidak ada kata maaf untuk berselingkuh. Alih-alih menjawab, Alia berkata, “Aku mau mandi dulu.” Alia bangkit untuk menuju kamar mandi, namun Fahmi menarik tangan Alia.“Aku sangat minta maaf padamu. Wanita itu cinta pertamaku, aku sulit melupakannya.”Alia memejamkan mata mendengar perkataan itu. Astaga. Air matanya jatuh. Melepaskan t
"A-K-U M-A-U C-E-RAI!"Fahmi membelalak lebar. Terkejut bukan main. Terdiam dengan bibir ternganga dan jantung berdebar kencang. Bercerai. Alia berkata ingin bercerai tanpa berpikir jernih terlebih dahulu. Kata-kata itu terucap begitu saja dari mulutnya.Keduanya sama-sama diam. Suasana kamar mendadak berubah mencekam, dingin, dan sunyi. Tidak ada suara kecuali suara napas mereka. Fahmi menarik napas panjang lalu dihembuskan. Dia berkacak pinggang, memalingkan wajah sebentar lalu menatap Alia dengan lekat. Sedangkan Alia tidak membalas tatapan Fahmi, sibuk berantem dengan pikirannya sendiri. Batinnya bertanya-tanya, apakah yang barusan dikatakan adalah keputusan yang tepat? Pernikahan bukanlah sebuah game (permainan). Kawin cerai, apa motivasi untuk melakukan pernikahan dan melakukan perceraian? Alasannya, bosan, ketidakcocokan, dan berselingkuh atau alasan selera lainnya. "Itu keputusanmu?" tanya Fahmi.Alia mengigit bibir bawahnya. "Maybe, yes." (Mungkin iya.)"Ini sulit!""Apak
Di kantin rumah sakit. Fahmi duduk di sebelah Erza yang sedang makan siang. Sudah cukup keduanya saling bertatapan dingin, Fahmi ingin hubungan dengan sahabatnya itu membaik.Selesai makan siang habis, Erza berkata pada Fahmi dengan nada lirih dan kecil, "Berapa lama lagi kamu menyakiti Alia? Semua sudah terungkap. Sudah saatnya kamu akhiri hubungan dengan Misella."Kepala Fahmi menoleh untuk melihat keadaan kantin. Siapa saja yang ada di dekat mereka. Dia takut ada seseorang yang munguping. "Semuanya sudah berakhir. Dia meminta bercerai," jawab Fahmi."Bagus dong! Itu keputusan yang tepat bagi Alia. Dia akan menjalani hidup jauh lebih baik setelah ini," balas Erza. Lelaki itu sangat mendukung Alia. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Alia."Erza dibuat geram mendengar itu. "Kamu bisa hidup tanpanya!" ucap Erza meyakinkan.Fahmi menunduk. Menggeleng pelan. "Tidak. Aku sama sekali tidak bisa tanpanya.""Kalau begitu, akhiri hubungan secepatnya dengan Misella.""Untuk sekarang. Ak
Alia sudah bersiap untuk berangkat bekerja. Pagi ini tidak membuat sarapan, membiarkan meja makan kosong tanpa makanan yang tersaji. “Kamu tidak masak?”Alia baru turun dari tangga menoleh melihat Fahmi yang baru saja dari dapur. “Tidak,” jawab Alia singkat dan padat.“Apa kebutuhan dapur habis?” tanya Fahmi lagi. “Tidak juga.” “Lalu mengapa kamu tidak membuat sarapan.”Alia memalingkan wajahnya. Memutar malas bola matanya. “Untuk apa aku membuat sarapan? Toh, nanti kamu sarapan dengannya di kantin,” jawab Alia. “Lagi pula. Sejak kapan kamu memakan masakanku? Kamu lebih sering makan di luar!” tegas Alia.Apa yang Alia katakan membungkam mulut Fahmi. Ketika Alia rajin menyiapkan sarapan, terkadang diabaikan bahkan sama tidak tidak disentuh. Kali ini? Fahmi rindu dengan masakan Alia. Fahmi melirik jam tangan. “Aku berangkat sekarang,” pamit pada Alia. Melewati Alia begitu saja.Alia mengikuti langkah Fahmi tanpa disadari olehnya. Saat Fahmi membuka bagasi mobil untuk mengambil sesuat
Pintu lift terbuka. Dengan pasti kakinya menyusuri lorong. Berdiri tepat di depan pintu ruangan. Jantung mulai berdetak kencang. Mengapa Alia gugup? Seharusnya Alia tetap tenang. Wanita itulah yang jahat. Jadi, Alia harus berani menghadap padanya.Inilah waktu yang tepat untuk melabrak sang pelakor.“JALANG SIALAN!” maki Alia.Alia berteriak keras satelah membuka pintu dan melihat Misella duduk sedang asik menelepon. Di ruangan itulah pertama kali Alia datang untuk berkonsultasi dan sekarang mendatangi untuk melabraknya. Bila perlu menjambak rambutnya kuat-kuat.Kedatangan Alia secara tidak terduga membuat kedua bola mata Misella langsung membulat. Lebih terkejut dan kaget. Dia segera mematikan panggilan. Raut wajah panik begitu Alia mendekatinya.Ah, Misella seorang Dokter Psikiater. Dia pintar menyembunyikan kepanikan. Secepatnya mungkin mengendalikan respon agar tetap tenang. Alia berdiri di depan meja Misella. Kedua tangan disilangkan, menunduk dan memandang Misella tanpa berked
Fahmi mendadak panik setelah mendengar suara Alia saat menelpon Misella. Alia benar-benar menemui Misella bukan Yura. Dirinya telah dibohongi. Andai Fahmi tahu, niat sebenarnya Alia mendatang rumah sakit adalah untuk melabrak Misella. Mungkin Fahmi akan melarang hal itu terjadi.Fahmi berlari dengan cepat. Tidak peduli napas tersengal-sengal, ingin segera sampai di ruang kerja Misella. Tidak sabar menekan nomor di lift dan kakinya gemetaran. Tidak tenang sama sekali. Pintu lift terbuka, Fahmi segera ke ruangan Misella. Di luar mendengar Alia dan Misella sedang berseru dengan nada tinggi. Waduh, bisa bahaya kalau ada orang lain mendengar keributan di dalam sana.Lelaki itu membuka pintu lebar-lebar.“HEI! STOP!!!”Fahmi menyuruh kedua wanita itu berhenti melakukan aksi menjambak rambut. Alia dan Misella tidak peduli dengan kedatangan Fahmi.Fahmi tercengang beberapa detik, jadi begitu ketika wanita berkelahi. Sulit untuk dipisahkan dan semakin brutal. Secepat mungkin, Fahmi mengambil
Alia keluar dari ruangan Misella setelah merapikan pakaian dan rambut yang berantakan, mendapati Fahmi sedang menunggu. Langkah Alia terhenti di depan Fahmi, melirik sinis dengan ekor matanya.Fahmi berdiri. “Kamu mencoba membohongiku, huh?” tanyanya dengan wajah memerah.“Aku memang berbohong untuk bertemu dengan selingkuhanmu,” jawab Alia enteng dan tidak peduli. “Aku tahu kamu pasti akan melarangku untuk bertemu dengannya.”Fahmi mengacak rambut dengan frustasi. Semua sudah terjadi. Sekarang bingung dengan posisinya sekarang. “Bagaimana keadaan Sella?” tanyanya khawatir.Alia berdecih. Sorot mata lebih dingin. “Kamu menanyakan keadaan wanita jalang itu padaku? Tidak salah kamu bertanya?” Tanpa membalas perkataan Alia. Fahmi meninggalkan Alia di sana. Lelaki itu berjalan cepat masuk ke ruang kerja Misella. Sementara kaki Alia mendadak lemas, sampai tidak mampu untuk berdiri. Alia memejamkan mata sebentar untuk meredakan amarahnya. Ditambah lagi Fahmi lebih menemui Misella. Dia mem
—Menyelingkuhi orang baik seperti membuang berlian dan mengambil batu—“Aku serius ingin berpisah denganmu, Mas.”Fahmi pandangi wajah serius Alia. Benar-benar serius, tidak ada candaan dari raut wajahnya. Mereka berdua duduk di tepi ranjang, saling memandang.“Yakin?” tanya Fahmi. “Iya! Yakin dong! Untuk apa aku mempertahankan rumah tangga kita,” jawab Alia tegas.“Aku tahu aku salah. Apa tidak bisa kita perbaiki dari awal lagi? Aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku nanti, La.”“Tidak bisa!” tolak Alia mentah-mentah. “Aku ingin bercerai. Titik!” “Aku mohon. Aku ingin berubah menjadi lebih baik.”Permohonan semakin membuatnya muak—tidak menerima permohonan.Menyakiti Alia memang sebuah kesalahan. Sementara mencintai Misella tidak sepenuhnya salahnya. First love memang sulit untuk dilupakan. Kecewa dengan Alia yang meminta perceraian. Apa Alia telah melupakan kenangan indah dengannya? Komitmen yang telah dibuat sebelumnya tidak berlaku lagi. “Kalau kamu menggugat cerai akan m