Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya.
Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir. "Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi. "Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini hari sial atau bukan, tiba-tiba saja ada sesuatu jatuh dari lantai atas tepat mengenai kepalanya saat ia mendongak melihat seseorang memanggil namanya. "Woy, jangan di bawah makanya. Kena kan, lo?" teriak seseorang dari lantai atas. Teman-temannya ikut mengomentari bahkan mengejek raut wajah Elsa yang berubah marah. "Sini lo!" tantang Elsa. "Siapa takut!" Keduanya bertemu di bawah, tepatnya di dekat kantin arah tangga. Elsa memegang benda yang jatuh tadi, lalu mengacungkannya di depan mata orang yang tadi menjawab tantangannya. "Kembaliin topi gue," pintanya. Elsa menaruh ke belakang punggungnya cepat-cepat. "Kalau mau ambil, tuh." Elsa melempar topi yang ia pegang dan mendarat tepat di atas tempat sampah. Beruntung, topi itu tidak jatuh ke dalamnya. "Eh, berani banget. Sini lo." Elsa berlari menuju tangga lantai dua sambil menjulurkan lidahnya. Orang yang tadi menantangnya terlihat menyimpan dendam. Tangannya mengepal, matanya melotot mengarah pada Elsa. "Wlee..." Elsa terengah-engah masuk ke dalam kelasnya. Napasnya turun naik dan peluhnya bercucuran. Kepalanya menengok terus menerus ke arah belakang berharap orang yang ia lempar topinya tadi tak mengejarnya hingga ke kelas. Salah satu teman Elsa bernama Mia mengerutkan dahinya bingung melihat Elsa yang masuk sambil mengipasi lehernya. "Kamu kenapa?" tanya Mia heran. "Eh, kamu kenal sama cowok anak kelas IPA yang alisnya tebel terus matanya bulat?" Lagi-lagi Mia mengerutkan dahinya lalu menggeleng. "Enggak. Yang mana, ya?" Elsa bingung mau menjelaskannya. Ia mencari salah satu ciri khas orang yang tadi topinya dilempar olehnya. "Yang itu, ehm—" Kalimat Elsa terpotong saat melihat seseorang yang ia sukai berdiri di depan pintu kelasnya. Orang itu adalah Bagas, teman satu kelasnya yang terkenal akan ketampanannya dan juga kejeniusannya. Mata Elsa teralihkan memandang ukiran tuhan yang terpahat indah di wajah Bagas. "Hai, Elsa." Bagas menyapa ramah. Elsa menyunggingkan senyumnya. "Hai, Bagas." "Hari ini ada pengambilan nilai olahraga. Kamu ikut, kan?" Elsa seketika mengangguk. Ia lupa kalau dirinya benci olahraga dan hanya datang saat pengambilan nilai saja. Untungnya Bagas bersedia membantunya jika sedang membolos. "Bagas ikut?" Bagas mengangguk. "Kalau begitu, Elsa juga ikut." "Jangan ada alasan lagi, ya." Bagas berjalan melewati Elsa. Aroma parfum khas pria maskulin menguar masuk ke indera penciumannya. Bagas berhenti sejenak lalu mengacak rambut Elsa. Sekilas ia juga tersenyum lalu duduk di kursinya. Wajah Elsa bersemu merah. Ia malu sekaligus senang. Bagaimana bisa, seorang Bagas bisa memporak-porandakan hatinya dalam sekejap. 'Elsa semangat kalau begini.' *** Elsa dan Mia sudah berada di lapangan dengan seragam olahraga mereka. Hari ini tidak ada olahraga ekstrim keliling lapangan, hanya ada pemanasan ringan disertai pembinaan bagi siswa siswi yang berminat ikut olahraga tertentu. Elsa dan Mia yang tak terlalu menyukai pelajaran menguras keringat ini memilih duduk di pinggir lapangan sambil menghabiskan cemilan yang dibelinya tadi. "Enggak ikutan, Mia? Kan kamu bisa voli tuh." Mia yang duduk di sebelah Elsa menggelengkan kepalanya. Ia lebih suka duduk di tribun daripada ikutan tunjuk tangan masuk klub volley. "Malas," jawabnya singkat. Mata Elsa tertuju pada segerombolan siswa di lapangan basket yang jaraknya tak jauh dari lapangan utama. Hanya dibatasi sekat dinding tipis tapi masih bisa terlihat dari tribun tinggi yang kini diduduki olehnya. "Itu tim basket?" tanya Elsa. Mata Mia mengikuti arah tangan Elsa lalu mengangguk setelah melihat segerombolan tim kesayangan SMA Angkasa itu. "Wah, ada Ken. Lihat yuk." Mia berdiri lalu menyeret tangan Elsa untuk menonton di lapangan sebelah yang kelihatannya lebih seru. Elsa tadinya akan menolak, tapi ia juga penasaran dengan anggota tim basket yang katanya sekumpulan siswa tampan dan tinggi di sekolahnya. "Ken! Semangat! Aku tunggu di sini!" teriak Mia dengan suara kerasnya sambil melambaikan tangannya. Ken yang merasa dipanggil menoleh lalu tersenyum lalu mengangkat jari jempolnya. Elsa membelalakkan matanya. Sungguh ia sedikit malu dengan kelakuan absurd temannya tadi. "Malu-maluin." Elsa menarik tangan Mia agar segera duduk di tribun. Tak hanya Ken, ternyata siswa yang tadi menjatuhkan topi juga ikut menoleh ke arah tribun saat Mia teriak. Namanya Elvano Erlangga. Elvano ikut tersenyum saat melihat Elsa berdiri di sebelah Mia. Elsa juga melihat senyum itu tapi ia terburu-buru sadar lalu mengajak temannya untuk duduk. Ken yang sadar akan perubahan wajah temannya tiba-tiba merangkul pundaknya lalu bertanya pada Elvano. "Cewek yang di sebelah Mia itu yang tadi Lo ceritain? Yang tadi pagi ngebuang topi lu kan? Cantik, manis dan pastinya banyak saingannya." Elvano menyikut perut Ken. Temannya itu mengaduh kesakitan lalu tertawa. "Berisik, lo!" "Kayaknya ada bibit-bibit cinta nih." "Ogah!" Elvano menoleh lagi ke arah tribun. Elsa yang masih berada di sana bersama Mia tiba-tiba didatangi oleh siswa yang terlihat tak asing di matanya. Siswa itu menawarkan sebotol air mineral dan makanan ringan untuk Elsa. Sepertinya gadis itu sangat senang sekali. Lihat saja bibirnya, merekah indah tersenyum ramah pada si laki-laki itu. "Siapa sih dia?" tunjuk Elvano pada laki-laki yang kini duduk di sebelah Elsa. Ken yang masih menyedot air minumnya meneropong dengan kedua matanya, memastikan siapa pemuda yang telah membuat hati paduka Elvano mendidih saat melihatnya. "Oh, itu Bagas. Nama lengkapnya Bagas Ardiansyah. Dia siswa cerdas yang rangkingnya masuk lima besar unggulan di sekolah Angkasa," jelas Ken panjang lebar. Elvano menggertakkan giginya. Ia ingat sekali pada laki-laki itu. Dia yang menjadi saingannya saat mencalonkan diri menjadi ketua OSIS. Elvano dan Bagas sama-sama mendapat poin tinggi tapi sayangnya program miliknya tak mendapatkan respon baik di mata guru dan sebagian siswa siswi SMA Angkasa. Selain itu, ada yang mengatakan seseorang menyabotase suaranya. Terpaksa, ia melepas kesempatan itu dan memilih mengambil jabatan ketua tim basket. "Mau olahraga apa main-main sambil cuci mata di lapangan basket nih?" sindir Elvano. Elsa mengacuhkan pemuda itu. Bagas merasa risih dengan kedatangan Elvano yang berlagak seperti pemilik lapangan sekolah. Ia maju menantang laki-laki itu. Keduanya kini saling berhadapan, menunggu salah satunya melawan lebih dulu. Elvano tak gentar dengan tantangan Bagas yang diketahui adalah ketua osis di SMA Angkasa. Matanya memindai setiap gerakan Bagas yang menurutnya terlalu lemah untuk seorang laki-laki. "Memangnya ini sekolah milik nenek moyang lo?" pertanyaan Bagas membuat Elvano tertawa lepas. Niko dan Ken yang ikut menemani Elvano di sampingnya, ikut tertawa. Niko bahkan sampai terduduk saking tak tahan mendengar ocehan Bagas. Tak rela pujaan hatinya ditertawai, Elsa mendengus tak suka. Ia menyeret tangan Bagas agar pergi dari lapangan basket itu. Malas sekali ia mendengar perdebatan yang membuatnya muak. "Bagas, kita ke kantin yuk. Katanya kamu mau traktir aku somay?" ajak Elsa sambil menarik tangan Bagas menjauh dari tempat itu. Ketiga orang yang dihampiri Elvano tadi pergi tanpa pamit padanya. Ada perasaan tak suka yang tiba-tiba bergelayut dalam hatinya. Entah mengapa, ia tak suka melihat Elsa pergi bersama Bagas. "Kira-kira, kalian tahu apa yang terjadi sama gue?" tanya Elvano pada kedua temannya. Niko dan Ken hanya menggedikkan bahunya. Di kantin sekolah, Elsa mengajak Bagas dan Mia duduk di kursi paling ujung dekat dengan kolam ikan. Di sana tempat yang paling nyaman untuk sekedar duduk dan mengobrol saling berbagi berita serta keluh kesah. Ini adalah tempat favorit Elsa. "Mia, itu apa?" Elsa menunjuk plastik makanan di tangan Mia yang baru saja datang dari arah sebuah warung di deretan kantin sekolah. Mia menunjuk ke arah plastik makanan itu, Elsa mengangguk. "Enak?" tanya Elsa penasaran. Mia hanya mengangguk. Ia juga menyodorkan plastik makanan itu pada Elsa. "Cilok pak Mamat. Coba deh, rasanya mantap!" puji Mia dengan dua jempolnya. Mia yang memang penasaran akhirnya mencoba satu bulatan cilok itu dan mengunyahnya perlahan. Kunyahan pertama terasa aneh, tapi begitu sampai di kunyahan terakhir rasanya berubah. "Harganya berapa?" tanya Elsa lagi. "Tiga ribu dapet lima." Elsa membelalakkan matanya. Harga cilok yang murah tak sebanding dengan harganya yang murah. Sungguh keajaiban dunia, pikirnya. "Aku mau beli ah." Elsa berlari ke warung pak Mamat untuk membeli sebungkus cilok. Perkiraannya benar, pasti warung itu didatangi banyak orang. Harganya murah, enak dan pastinya membuat ketagihan. "Pak, beli..." teriak Elsa dari kejauhan. Tangannya menyodorkan uang lima ribuan ke pak Mamat yang masih sibuk melayani pembeli. Bagas yang kebetulan ada di tempat itu melihat Elsa yang sedang kesulitan segera membantunya. Tubuhnya yang tinggi membuatnya mudah berteriak dan memberikan uangnya langsung ke hadapan pak Mamat. "Wah, ada Bagas di sini," sapa Serly, sekretaris osis yang sudah lama menyukai Bagas. "Bagas, tahu banget kalau aku suka cilok pak Mamat. Terima kasih ya. Nanti uangnya aku transfer ke e-wallet kamu." Serly merebut bungkus cilok di tangan Bagas tanpa bertanya lagi itu milik siapa. Syok ciloknya direbut, Bagas jadi terdiam di tempatnya. Tangan kanannya masih memegang kembalian dan tangan kosongnya yang membatu di udara. "Maaf neng, ciloknya masih diadonin. Paling setengah jam lagi selesai. Istirahat kedua saya sisain deh neng." Elsa berdiri dengan tatapan mata berkaca-kaca. Kata pak Mamat, tadi cilok terakhir yang ada di pancinya. Elsa sempat melihat Bagas membelinya tapi entah mengapa tiba-tiba Serly merebutnya dan Bagas hanya diam saja. Elsa kecewa. "Ya sudah. Nanti saya ke sini lagi ya pak. Ini uangnya." Elsa memberikan uang lima ribuan pada pak Mamat lalu pergi dengan wajah kecewa. Bagas merasa sakit hati melihatnya. Ah, kesayangannya jadi sedih. 'Maaf.'Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly. "Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik
Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly. "Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik
Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya. Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir."Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi."Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya."Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini har