Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.
Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut. "Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus. Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar. [Kenapa sih galak banget sama aku?] "Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja. Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusaha terkenal menawarkannya pekerjaan itu untuk melepas kepenatan. Tak setiap hari, karena Elvano masih takut jika orangtuanya mengetahui pekerjaan malamnya. [Aku minta antar ke mall hari ini. Bisa enggak?] Sambil melepas seragam sekolahnya, Elvano menatap ke arah lemari pakaian. Ia menjawabnya dengan teriakan cukup keras. "Aku enggak bisa. Capek, mau istirahat," jawabnya masih dengan nada ketus. [Ya sudah. Nanti aku mampir ke rumah kamu selesai kuliah. Perginya besok saja.] "Aku enggak terima tamu!" Elvano mematikan ponselnya lalu melemparkannya ke atas ranjang. Tubuh lelahnya segera direbahkan di atas kasur empuk itu. Matanya memberat, ia pun tertidur dengan lelapnya. Di lain tempat, Elsa yang juga baru pulang sekolah segera melepas seragam dan sepatunya. Ia ingin segera membantu ibunya yang tengah sibuk memasak di dapur untuk makan malam. Walaupun mereka adalah orang kaya, khusus untuk memasak harus dilakukan oleh nyonya rumah. Katanya, hari ini akan ada tamu yang datang. "Siapa tamunya?" tanya Elsa penasaran. Hani, ibu Elsa tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. "Tante Farah. Dia mau datang sama anaknya yang laki-laki. Katanya satu sekolah sama kamu di SMA Angkasa. Mama punya rencana menjo—" Hani menutup mulutnya lalu menepuk dahinya. "Ups, mama lupa kalau ini harusnya rahasia." Elsa mencebikkan bibirnya. Rahasia sebesar apa memangnya, sampai harus dirahasiakan. "Sekarang mainnya rahasia. Awas saja bikin Elsa ngamuk." Hani tertawa mendengar ancaman putri semata wayangnya. Dibandingkan dengan Aksa yang terkenal pendiam, Elsa lebih banyak bicara seperti dirinya. Rumah tidak akan pernah sepi dan inilah yang selalu membuat Hani selalu tersenyum setiap hari. Selesai masak, Hani menyuruh Elsa untuk mandi dan bersiap-siap. Elsa menuruti perintah ibunya. Ia pun kembali ke kamarnya untuk segera mandi. *** Tok tok Farah berdiri di depan pintu kamar anak sulungnya yang sejak siang tak menampakkan batang hidungnya. Geram, sudah tujuh kali ia mengetuk tapi tak ada sahutan, terpaksa pintu itu dibukanya dengan kunci cadangan. Begitu pintu dibuka, satu pemandangan di dalam sana membuatnya berdecak kesal. Putra pertamanya itu tidur dengan bertelanjang dada sambil melakukan gerakan erotis yang membuatnya menggelengkan kepala. 'Mimpi apa anak ini?' Farah mengambil sapu lidi yang terletak di sudut kamar. Dengan satu kali sabetan, Elvano yang tengah nyenyak bermimpi segera terbangun sambil memegangi pahanya yang perih. "Auww...." Elvano duduk di tepi ranjang. Matanya masih terpejam, rambutnya berantakan dan tangannya menggaruk-garuk pantat dari belakang. "Vano. Buruan siap-siap. Mama mau ajak kamu ke undangan makan malam." Farah menarik lengan anaknya lalu menyeretnya ke kamar mandi. Setengah terbangun, Elvano sempat menepis tangan ibunya yang sedikit memaksa. "Mama mau ngapain sih? Vano masih ngantuk." Elvano menolak perintah ibunya. Ia ingin sekali merebahkan tubuhnya lagi di atas ranjang. Matanya masih mengantuk sulit terbuka. "Ayo ikut mama ke rumah tante Hani. Daripada kamu direcoki Maya terus," bujuk Farah yang membuat Elvano berpikir ulang untuk menolaknya. "Mau ngapain emang ke sana?" tanya Elvano sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Ibunya yang masih berada di dalam kamar malah sibuk mencarikan pakaian formal untuk anaknya. Sudah dipastikan acara malam ini adalah acara resmi selain makan malam biasa. "Ada deh. Pokoknya kamu harus ikut." Malas untuk bertanya lagi, Elvano memilih masuk ke dalam kamar mandi. Tak ingin mengecewakan ibunya yang banyak memberi semangat padanya, ia lebih baik menuruti perintahnya. Toh, hanya makan malam saja kan? Setelah siap, Elvano turun ke bawah menemui orangtua dan juga adiknya yang telah siap lebih dulu. Mata Farah terbelalak tak percaya melihat penampilan Elvano yang sangat memukau. Putranya itu sangatlah tampan. Persis seperti ayah dan kakeknya saat masih muda. "Aduh, pantas saja si Maya itu deketin kamu terus. Kamu ganteng banget sih." Farah mencubit pipi anaknya. Rasanya masih sama seperti saat dia masih kecil dulu. "Papa mana?" tanya Elvano. Pasalnya, ia tak melihat ayahnya yang biasa duduk di sofa tengah. "Papa manasin mobil. Si Putri lagi ke dapur. Yuk, kita duluan." Farah menoleh ke belakang lalu berteriak memanggil anak bungsunya. "Putri, ayo berangkat." "Iya, Ma." Putri keluar dari arah dapur membawa sebotol air minum. Putri jarang sekali minum air berperasa. Ia juga tak terbiasa minum air kemasan.Katanya, rasanya aneh. Untuk itu ia sering membawa botol air minum sendiri agar tidak kehausan lalu membelinya di jalan. Kebiasaan itu terbawa hingga remaja seperti sekarang. "Duh, di rumah jeng Hani kan juga ada minum." "Ini untuk di jalan, Ma." Setelah semuanya siap, mobil yang dikendarai keluarga Erlangga melaju dengan tenang di jalanan ibukota. Di kursi depan ada ayah Elvano dengan ibunya. Sedangkan di kursi belakang ada Putri dan juga Elvano yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya.Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Maya tak betah diabaikan oleh Elvano. Sejak kesalahan yang diperbuatnya di lantai dansa lima bulan yang lalu, seluruh media sosial miliknya diblokir, panggilannya tak pernah dijawab, chatnya juga diabaikan oleh pria muda yang telah mencatut hatinya itu. Satu hal yang paling menyakitkan, ia ditolak habis-habisan saat mengajaknya ke luar.Gadis berambut ikal itu mendengus kasar dari balik kaca jendela mobilnya. Hampir dua jam ia duduk di kursi kemudi sambil menunggu Elvano ke luar dari dalam gedung sekolah megah yang terpampang di depannya saat ini.Ia harus bertemu dengan Elvano!"Lama sekali sih," gerutunya.Setelah menunggu cukup lama, sosok yang ditunggunya ke luar dari dalam gedung menuju parkiran sekolah dekat dengan lapangan bola.Maya turun dari mobilnya lalu berlari ke arah Elvano yang nampak sibuk memakai helm dan sarung tangannya."El!" Elvano menoleh. "Ikut aku ke kafe biasa yuk. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
Sambil mengunyah makan malamnya, Elvano bertanya pada ibunya yang tengah duduk sambil membaca berita terbaru artis ibukota. Bibirnya mengerucut, mulutnya penuh makanan. "Mama ada tujuan apa sih mau jodohkan aku sama Elsa?"Farah menutup ponselnya. Ia menoleh ke belakang tepat ke arah meja makan tempat anaknya duduk mengunyah makanan."Mau tahu aja apa mau tahu banget?" ledek Farah lalu terkekeh. Elvano mendecih tak suka."Cih. Enggak usah bercanda, Ma. El enggak mau ngelawan karena malas debat sama mama papa," ucap Elvano yang kini telah menghabiskan seluruh lauk di piringnya."Kamu kenapa mau? Selain karena males debat, pasti karena dia cantik. Ya kan?" Elvano memutar bola matanya malas. Ia berjalan ke tempat cuci lalu menyusul ibunya duduk di sofa tengah."Ma, yang serius!""Ok. Ini kata papa kamu ya. Dia bilang, kakek kamu berwasiat menjodohkan anak atau cucu keturunan keluarga Wiguna dan Erlangga. Nah, karena tidak berjodoh d
Huft.Masih pukul setengah tujuh pagi. Ruang kelas masih kosong dan belum banyak siswa yang datang. Elsa mengendap-endap masuk ke dalam kelas membawa sebuah buku tebal di dalam pelukannya. Ia melirik ke kiri dan kanan lalu duduk di bangkunya.Setelah menaruh tas sekolahnya, Elsa membuka buku yang tadi dibawanya. Senyum manis melintang di bibirnya, membaca lembar demi lembar tulisan di dalamnya. Tiba-tiba saja wajahnya memanas. Ada rasa tersirat dalam setiap tulisan yang ia baca."Sibuk banget," ujar Bagas yang membuat Elsa terkejut sampai hampir menjatuhkan botol minum di sampingnya."B-bagas? Sejak kapan ada di sini?" tanya Elsa gugup. Ia terburu-buru menutup buku yang dibawanya dan memasukkannya ke dalam tas."Dari dua menit yang lalu. Kamu sibuk baca sih. Jadi enggak lihat aku datang." Bagas berlalu dan langsung duduk di bangkunya tepat di belakang Elsa."Kamu enggak lihat apa tulisannya kan?" Elsa menunduk memainkan jarinya. Ia takut jika Bagas membaca isi buku itu. Lebih tepatnya
Elvano mengendap-endap mencari keberadaan Elsa setelah bubar kelas bahasa Inggris setengah jam yang lalu. Saatnya istirahat, pasti Elsa akan duduk di kantin bersama sahabatnya dan pujaan hatinya itu. Cih, rasanya Elvano ingin menjitak kepala Elsa jika sudah memamerkan Bagas di hadapannya. Kurang apa memangnya dia? Bagas dan dirinya sama-sama cerdas. Pernah jadi juara kelas, ikut lomba antar sekolah, ikut kejuaraan basket dan taekwondo. Minusnya hanya tidak mengikuti kegiatan OSIS saja. Alasannya, Elvano malas berlama-lama di ruang kelas mengikuti rapat yang menurutnya hanya gimmick saja. "Elsa!" teriakan keras menggema di lorong dekat kantin. Kaki yang berlari cukup kencang menghempas angin di sekitar disertai debu halus beterbangan. Elsa menoleh. Dilihatnya si pelaku yang berteriak cukup keras itu berdiri di belakangnya dengan raut wajah yang menampilkan sisi emosi yang cukup jelas terlihat. "Lo pura-pura kan?" tiba-tiba dia menuduh. Elvano s
Berdasarkan hasil dari kelas gabungan beberapa hari lalu, bu Rahma yang memang ditugaskan untuk mencari bibit unggul siswa siswi berprestasi akhirnya memilih beberapa kandidat yang akan mengikuti kompetisi bahasa Inggris bulan depan. Rumor mengatakan, akan ada empat kandidat yang diacak sesuai dengan urutan prestasinya di sekolah selama dua semester ke belakang. Itu berarti akan ada empat rival abadi yang bolak-balik jadi langganan rangking satu terbaik di sekolah. "Bulan depan ada kompetisi bahasa Inggris. Ada empat orang yang akan dibawa untuk mewakili sekolah. Campuran dari kelas IPA dan IPS. Ada dua orang yang dipilih dari kelas ini tapi enggak tahu siapa," teriak Mia. Entah dari siapa ia mendapat bocoran itu. Suasana kelas yang semula sepi menjadi ramai seperti dalam pasar. Bagas tak menghiraukannya. Ia sibuk menulis rangkuman pelajaran tadi pagi. Elsa menoleh ke belakang, lalu bertanya pada Bagas," Pasti kamu yang terpilih." "Kata siapa
Rencana pertunangan itu sudah ada di depan mata. Dua bulan lagi ujian tengah semester dan setelah itu mereka akan bersiap untuk ujian akhir. Entah mengapa kedua keluarga tak sabar untuk menjodohkan mereka berdua. Padahal usia mereka masih terlampau muda. Tapi tenang saja, Elvano adalah remaja yang sudah matang pemikirannya. Ia lebih mementingkan perasaan orangtuanya dibanding dirinya sendiri. Lagipula, siapa yang bisa menolak Elsa. Gadis cantik, pintar dan juga baik perilakunya. Dia adalah harta berharga keluarga Wiguna. Siapa saja pasti tak akan berani menolaknya. Termasuk Elvano, yang sejak lama tak pernah terpikirkan menjalin cinta dengan seorang gadis. "Keluarga Wiguna sudah setuju untuk mengadakan acara pertunangan secara tertutup. Kamu tidak masalah kan?" tanya Farah yang dibalas anggukan oleh Elvano. "Elvano harus sembunyikan atau terus terang sama teman sekolah?" tanya Elvano. Pasalnya, ia tak mau kejadian seperti Bagas kembali terjadi
"Elvano, sini lo!" teriak Bagas. Elvano yang sedang duduk di bawah pohon bersama teman-temannya menoleh ke belakang. Dahi Elvano berkerut lalu terkekeh tak mempedulikan panggilan Bagas. "Punya telinga kan lo?" teriak Bagas sekali lagi. "Ada apa, bro? Gue lagi ngadem sama temen-temen gue." Bagas yang tak terima karena diabaikan langsung menyeret tangan Elvano. Tangannya terlihat mengepal ingin melayangkan tinju ke arah pria di depannya yang terkekeh akan tindakannya tadi. Ken dan Niko berjaga-jaga di belakang mereka berdua. Takut kalau ada perkelahian antara kedua ketua geng itu. "Lo mau ngapain? Soal Elsa lagi?" tantang Elvano."Gue tahu, lo bohong mengenai hubungan lo dan Elsa. Apa maksud lo?" Elvano terkekeh lagi. "Bro, gue ngomong gitu karena mau lihat kesungguhan lo sama Elsa. Gue lihat lo suka sama dia, tapi sama sekali enggak ada perubahan." "Jangan ikut campur," ancam Bagas. "We
Bagas terlihat murung. Sejak tadi pagi tak ada setitik cahaya pun nampak di wajahnya yang tampan. Biasanya ia akan banyak bicara jika berhadapan dengan Elsa ataupun Mia, kini sebaliknya. Mereka berdua kompak membuat jurang pemisah. "Bagas, nanti rapat ya. Jangan lupa," ujar Serly mengingatkan. Bagas mengangguk. Serly menelisik lekuk wajah Bagas, ada semburat kesedihan tercetak jelas di matanya. "Kamu kenapa masih disini?" tanya Bagas tiba-tiba. "Bagas lagi sedih?" "Bukan urusan kamu," ketus Bagas. Serly tak habis akal, ia malah ikut duduk di kursi samping Bagas lalu mulai mengganggunya. Bagas tak terusik sama sekali. Ia memilih untuk berkonsentrasi dengan pelajaran tanpa menghiraukan Serly. "Bagas, kamu jangan sedih. Senyum dong." Bagas menepis tangan Serly yang mulai berjalan di sekitar lengannya. Bagas risih. "Bisa pergi dari kelas aku enggak? Serius, hari ini aku lagi enggak mau bercanda." Bagas menoleh lalu me
Pulang sekolah, Elsa bergegas keluar dari dalam kelas. Ia tak ingin berlama-lama di dalam. Rasanya napas sesak di sana. Elsa memilih duduk sendiri di pos satpam sembari menunggu kakaknya datang menjemput. Sudah hampir setengah jam belum ada kabar apapun darinya. Aksa tadi pagi berjanji akan menjemputnya jika memang tak ada halangan. Namun entah mengapa hingga sekarang belum nampak batang hidungnya sama sekali. "Kakak kemana, ya?" Elsa mencebikkan bibirnya. Berkali-kali ia mengecek jam dan menghubungi kakaknya lewat pesan. Tidak ada jawaban. "Elsa, belum pulang?" tanya seseorang yang sudah dihafal suaranya oleh Elsa. "Kakak belum jemput," jawab Elsa malas."Pulang bareng gue yuk," ajak Elvano yang tadi bertanya pada Elsa. "Enggak repotin?" "Enggak dong. Ayo naik." Elsa menerima helm yang disodorkan kepadanya. Ia pun segera naik ke atas motor Elvano. "Elvano, susah naiknya." Elsa mengeluh. Motor E
"Woy, gosip!" Seluruh siswa siswi berlari memberondong pintu keluar menuju mading yang terletak di lantai satu dekat ruang guru. Semua berusaha maju untuk melihat apa saja gosip terbaru hari ini. Biasanya, ada cerita siswa siswi yang jadian tapi di luar prediksi mereka. "Woy, ini bener? Inisialnya E dan E?" "Siapa woy murid sini yang inisialnya E? Eh, clue-nya dua-duanya beda jurusan dan terkenal karena prestasi. Tapi yang cowok sering dipanggil berandalan. Siapa ya?"Semua berusaha untuk jadi detektif dadakan. Tak ada yang mengetahui siapa pasangan tak terdeteksi itu. Namun seketika seorang siswa tersadar. Bukankah yang sedang heboh saling dekat itu adalah Elvano dan Elsa? Siswa itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Ah enggak mungkin mereka deh."Saat mereka semuanya sedang saling berusaha mencari siapa siswa siswi yang sedang jadi bahan gosip itu, tiba-tiba muncul Elvano dan gengnya dari arah gerbang sekolah lalu disusul oleh Elsa yang hari ini datang diantar oleh kakaknya. M
"Aku mau ketemu kamu, besok." suara Bagas membuat tubuh Elsa berhenti bergerak. Walau hanya dengan suara panggilan di telepon, tapi rasanya terdengar jelas di depan matanya. "Jam berapa?" tanya Elsa. Ia menggigit bibir bawahnya lalu mulai mencubit pahanya sendiri. Ini selalu dilakukannya kalau sedang gelisah. "Mungkin pagi. Kamu bisa, kan?" Elsa melihat jadwalnya kembali. Besok ia dan Rayyan masih harus berdiskusi untuk memantapkan perlombaan minggu depan. Ia sangat ingin bertemu dengan Bagas tapi Elvano pasti tidak mau diundur waktunya. "Sampai jam?" Elsa bertanya kembali. "Sore. Aku mau ajak kamu jalan keliling Jakarta. Bisa kan?" Elsa terdiam. Ia tak tahu apakah akan menerimanya atau tidak. Karena ini sangatlah sulit. Elvano pasti tidak mau jika waktu belajarnya diundur dan ini adalah kesempatan terbaik baginya untuk lebih dekat dengan Bagas. "Maaf. Besok aku ada janji sama Elvano," jawab Elsa pelan. Ponselnya dijauhkan dari telinga agar ia tak mendengar ocehan kemarahan Bag
Elsa hanya duduk dan diam memandangi foto dirinya bersama Mia juga Bagas. Foto yang diambilnya tiga bulan lalu saat sedang tamasya ke taman safari. Bagas tersenyum lebar sambil memegang erat tangannya. Mia di sampingnya mengulurkan satu jarinya. Mereka tampak bahagia. "Lagi ngeliat apa sih? Kayaknya serius banget." Aksa berdiri disamping Elsa lalu mengusap rambutnya. "Katanya lagi pusing?" "Kak, apakah antara pria dan wanita yang berteman akan ada perasaan cinta diantara mereka?" tanya Elsa. Aksa mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tanya seperti ini?" "Elsa suka sama Bagas tapi tidak mau merusak hubungan pertemanan." "Ya sudah, jangan suka sama dia. Emangnya kita bisa atur akan suka dengan siapa nantinya? Lagipula, kan kamu akan bertunangan dengan Elvano, enggak kasihan sama dia?" Elsa menggeleng."Maksudnya?" "Jangan membuat orang lain kecewa. Ayo, istirahat." Elsa mengangguk. Setelah A
Elsa menemukan Elvano yang sedang duduk sendiri di dekat taman sekolah. Di dekatnya ada dua ekor kucing lucu yang sedang ia beri makan. Elsa tersenyum melihatnya. Hati lembut Elvano berbanding terbalik dengan sikapnya yang mudah sekali emosi. "Kalau mau tanya, ya tanya aja." Elsa mematung. Wajahnya memerah malu karena ternyata Elvano menyadari kehadirannya. "El, tadi gue sempet liat lu berantem sama serly. Maaf." Elvano menutup kembali toples makanan kucingnya lalu menepuk bangku di sebelahnya dan menyuruh Elsa untuk duduk. "Masalah intern antara gue sama dia sih. Pasti lo pernah denger." Elsa menggelengkan kepalanya. "Gue enggak tahu, El." Elvano terkekeh. "Kapan-kapan gue ceritain. Gue lagi enggak mood." Mereka berdua terdiam. Ada rasa canggung yang tiba-tiba merayap diantara mereka. Elsa melirik lalu kembali menatap pemandangan di depannya. "Enggak masalah. Lagipula kan itu masalah kalian."
Elvano tak langsung pulang ke rumahnya. Hari ini ia ingin mampir ke studio musik yang dibuatkan oleh ayahnya satu tahun yang lalu. Ayahnya, walaupun menginginkan Elvano untuk meneruskan bisnis gurita keluarga besar Erlangga tetapi tetap memberikan kesempatan untuk putra sulungnya mengembangkan bakat. Ia tak pernah memaksa Elvano mematuhi keinginannya kecuali dijodohkan dengan Elsa. Itu mutlak katanya."Bengong aja lo. Ada yang bikin pusing?" celetuk Niko yang sejak tadi sibuk bermain game. Elvano diam saja tapi tangannya sejak tadi hanya memutar-mutar stik drum."Dia lagi mulai jatuh cinta tuh," timpal Ken yang ditanggapi kekehan oleh Niko."Pantesan, kayak orang kesambet."Elvano melirik kesal ke arah dua temannya yang terus menyindirnya. Ia beranjak pergi dari atas kursi drummer lalu mengikuti dua temannya di sofa tengah."Gue bingung. Gue deket sama Elsa, seperti dijadikan tameng sama dia. Menurut lo gimana?" tanya Elvano pada Niko yan