Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly.
"Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik lagi gitar itu. "Ini gitar gue. Lo main ambil aja," bentak Elvano, sosok yang tadi menarik gitarnya. "Apaan sih. Gue nemu." Elsa menariknya lagi. Adegan tarik menarik itu terhenti saat Elvano tak sengaja menariknya dengan kasar hingga ujung gitar mengenai pelipis Elsa. "Aduh.." Elsa mengaduh kesakitan. Ia melepas gitar di tangannya. Nyeri di pelipisnya membuat ia meringis. Elvano yang masih berdiri sambil memeluk gitar, merasa sangat bersalah dan tak enak hati. Ia menarik tangan Elsa yang menutupi pelipis itu dan ternyata saat ia melihat lukanya, ada guratan cukup besar dengan darah di ujungnya. "Lepas." Elsa menghempas tangan Elvano. "Lo kasar banget sama cewek." Elsa beranjak pergi dari ruangan musik itu dengan perasaan kesal. Sedangkan Elvano masih berdiri termenung menyaksikan langkah Elsa yang terburu-buru pergi. Telapak tangan ditatapnya hingga ia tersadar kalau ada tetesan darah yang menempel. *** Rupanya langit sedang tidak bersahabat hari ini. Awan hitam tiba-tiba saja menggulung di atas kepala Elsa siap menjatuhkan tetesan air yang perlahan-lahan turun membasahi bumi. Elsa mendengus kesal. Ia berkali-kali melirik arlojinya tak sabaran menunggu kakaknya datang menjemput. Hujan pun datang. Terpaksa Elsa menunggu hingga reda jika ingin pulang sendiri. Sedang diam sendiri di pinggir halaman sekolah, Elvano yang berniat minta maaf pun menghampirinya. "Elsa, gue—" seseorang menepuk bahu Elsa dari belakang. Namun sebelum Elsa menoleh, Aksa sang kakak keluar dari mobil dan membawakan payung untuk Elsa. "Elsa..." Elsa tersenyum riang melihat kakaknya datang membawakan payung untuknya. "Kak Aksa," serunya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berlari ke arah kakaknya. Aksa dengan senang hati menggandeng tangan adiknya dan berjalan pergi menuju mobilnya yang terparkir di halaman sekolah. Sementara itu, Elvano hanya bisa diam mematung di tempatnya tanpa ada niat untuk mengejarnya. *** Elvano melangkah gontai ke kantin belakang sekolah. Suasana masih cukup ramai, karena banyak siswa memilih berteduh menunggu hujan reda. Ia duduk di samping temannya yang lebih dulu datang. Tak lupa ia juga memesan secangkir teh hangat untuk menghalau hawa dingin yang menusuk kulitnya. "Kenapa?" tanya Ken, teman Elvano yang sering membolos. "Lo kenal sama cewek yang namanya Elsa kan?" Elvano bukannya menjawab, malah balik bertanya. Joni menggelengkan kepalanya. Mendengar kata Elsa, Bagas yang duduk tak jauh dari tempat Elvano tiba-tiba menoleh. Ia pun mendekat. "Kenapa sama Elsa?" tanyanya penasaran sekaligus khawatir. "Lo siapanya?" tanya Elvano. "Gue teman sekelasnya." "Gue tadi enggak sengaja narik gitar dari tangan dia. Terus, pelipisnya kena ujungnya. Tadi gue lihat ada luka tapi dia enggak mau diobatin," jelas Elvano panjang lebar. "Sekarang dia dimana?" "Pulang. Sama cowok, pakaiannya rapi kayak mas mas. Kayaknya sih kakaknya." Bagas terlihat gusar. Teh manis yang ada di depannya hanya diaduk-aduk tanpa niat untuk diteguk. Setelah lima menit terdiam, dia pun berdiri lalu menarik tasnya yang ada di meja. Ken mengerutkan dahinya lalu bertanya," Mau kemana lo?" "Mau pulang," ketus Bagas. Setelah Bagas pergi, Elvano yang berada di dekat Ken menyikut lengannya hingga menoleh. "Bagas kenapa?" Ken menaikkan bahunya tidak tahu. 'Aneh.' *** "Sebel sebel sebel..." Elsa terus meraung-raung tak jelas sepanjang perjalanan pulang. Derasnya hujan membuat kekesalan gadis itu semakin menjadi-jadi. Hari ini adalah hari yang buruk baginya. Bagaimana tidak? Setelah insiden topi melayang, disambut dengan cilok bang Mamat lalu lanjut gitar menyambar pelipisnya. Semua membuat mood Elsa berantakan. Aksa yang fokus dengan kemudinya terkekeh melihat tingkah adiknya yang di luar nalar. Sungguh aneh sekali. "Apa sih yang bikin sebel? Pelipis kamu kenapa?" tanya Aksa sedikit khawatir dengan garis luka di pelipis Elsa. "Enggak kenapa-kenapa. Malas cerita." Elsa memalingkan wajahnya ke jendela mobil. "Kakak bantu obatin ya?" Elsa menggelengkan kepalanya. Aksa mengalihkan pembicaraan. "Nanti enggak jadi ke toko buku ya, kakak ada operasi malam sekalian mau diskusi sama pak direktur. Oh iya, tadi mama bilang malam ini ada tamu berkunjung. Jadi, siap-siap." Aksa menyunggingkan senyumannya. Elsa menoleh. Matanya memicing, merasakan aura misterius dari setiap senyuman Aksa kakaknya. "Aneh. Biasanya kalau ada yang datang pasti bilangnya seminggu yang lalu," gumam Elsa. "Entahlah. Mungkin ini dadakan." Aksa menggedikkan bahunya. Di lain tempat, saat sedang bersiap-siap akan pulang tiba-tiba saja ponsel Elvano bergetar. Setengah kesal, Elvano membuka layarnya dan ternyata itu dari ibunya. Huft. 'Ada apalagi ini?' "Iya, Ma. Elvano masih di sekolah," jawab Elvano setengah berteriak. [Kamu pulang cepet ya. Ada yang mau mama omongin sama kamu.] Elvano mengerutkan dahinya. Sesuatu yang misterius begini pasti ada di luar prediksi BMKG. "Apa sih ma pake misterius segala?" [Pulang!] Tutt tuttt 'Cih, dasar emak-emak.'Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya. Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir."Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi."Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya."Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini har
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly. "Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik
Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya. Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir."Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi."Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya."Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini har