Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.
Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayaknya." Ray terkekeh melihat senyum sinis Elvano. Decihannya membuat tanda tanya beberapa orang yang duduk di sana. "Jangan gitu, nanti lo suka beneran sama dia." "Dia freak, bang. Gue paling anti dikejar sama cewek. Lagian, gue udah punya tunangan. Jaga hati tunangan gue lah," jawab Elvano panjang lebar. "Wah, hebat. Masih kecil udah punya calon istri. Cantik?" Elvano mengangguk. Tengah menikmati pesta, ponsel Elvano berbunyi. Ting! Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya. Elvano sempat mengerutkan dahinya lalu menyeringai. [Ini nomor gue, disimpen!] Elvano membalasnya. "Siapa? Sok kenal nih." [Gue, Elsa!] "Ok!" Elvano tersenyum membaca balasan pesan Elsa. Gadis unik yang tadi siang kesal dengan cilok. Namun, mengingat perkenalan dirinya dan Elsa yang terbilang buruk sepertinya akan sulit untuk mendekatinya. Memberikan nomor ponsel saja pasti diperintah oleh orangtuanya. "Kenapa diem? Turun enggak?" Elvano menyambar jaket dan ponselnya yang tergeletak di meja lalu menepuk bahu Ray sekilas. "Gue pulang dulu, bang. Salam aja buat kru," pamit Elvano. "Iya, hati-hati." *** Belajar dari salah satu web pakar cinta di internet, hal pertama yang harus dilakukan oleh pria jika ingin dimaafkan wanitanya adalah dengan memberinya hadiah romantis. Untuk permulaan, Elvano memilih cokelat yang telah dibungkus rapi dengan kotak khusus. Ini pertama kalinya ia akan meminta maaf pada seorang wanita. Elvano datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Dia masuk ke dalam kelas Elsa lebih dulu lalu menaruh coklat yang sudah diberinya surat ucapan permintaan maaf. Berbekal info dari temannya, ia berhasil mengetahui dimana letak meja Elsa. Ia berharap akan segera dimaafkan. "Nah, sudah." Elvano pun kembali ke kelasnya karena sekolah sudah mulai ramai. Tak berapa lama kemudian, Elsa dan Mia masuk ke dalam kelas. Elsa lapar dan sempat mampir dulu ke warung pak Mamat. Untung saja ada Mia, Elsa tak harus takut membeli makanan disana. "Mia..." panggil Elsa. mia yang sedang menaruh tasnya menoleh. "Ini dari siapa?" Mia membaca sekilas lalu mengangkat bahunya. Ia tidak mengetahuinya. "Ada suratnya. Dia bilang minta maaf. Dari siapa ya?" Elsa mengetuk dagunya berusaha mencari tahu siapa pemilik tulisan tangan dan juga coklat premium kesukaannya itu. "Dari Bagas kali. Kan kemarin dia bilang mau anterin Kamu pulang, tahunya dia ada rapat OSIS," celetuk Mia. "Benar juga. Dia tuh so sweet banget. Kalau suka, kenapa enggak bilang sih?" 'Apa gara-gara cilok ya?' "Idih..." Bagas pun datang. Ia tersenyum lega karena Elsa baik-baik saja setelah kemarin didengarnya dari mulut elvano kalau mereka habis bertengkar. Ia menghampiri Elsa dan berdiri tepat di belakangnya. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Bagas. Yang ditanya hanya diam saja. Entah kenapa tiba-tiba tubuh Elsa membeku saat bertatapan langsung dengan Bagas. "Enggak apa-apa kok." "Aku minta maaf karena—" Elsa cepat-cepat memotong kalimat yang akan dilontarkan Bagas. "Enggak usah minta maaf. Aku udah maafin." Bagas tersenyum. Ternyata, Elsa tahu apa yang ia resahkan malam ini. Tangan Bagas pun terulur mengacak rambut Elsa lalu merapikannya kembali. Jantung Elsa berdetak dua kali lebih kuat dari biasanya. Perlakuan Bagas benar-benar membuatnya mabuk. "Sehat terus Elsa." Elsa tak mengerti dengan apa yang Bagas ucapkan. Ia hanya mengangguk saja. Selebihnya ia hanya lewatkan begitu saja di kepala. *** "Elsa, tungguin." Mia berteriak dari depan mading lalu berlari mengejar Nayya yang lebih dulu berjalan menuju kantin belakang sekolah. "Lama sih." "Gue baca pesan dulu di mading," ujar Mia. Elsa melirik temannya yang sejak tadi tersenyum tak berhenti. "Kenapa sih lu?" "Ada yang nulis pesan untuk aku. Katanya, dia suka sama aku. Tapi belum mau nunjukin mukanya," ujar Mia yang terlihat lesu tiba-tiba. Elsa berhenti lalu menatap mata Mia. Ia pun bertanya padanya, "Kenapa?" "Dia mau aku fokus belajar. Nanti kalau udah lulus, baru dia mau kasih tahu siapa dia sebenarnya." "Dih, sok misterius banget." Mereka pun sampai di kantin belakang sekolah. Suasana tak terlalu ramai siang ini karena sebagian murid masih mengikuti pelajaran olahraga di halaman. "Duduk disana," tunjuk Elsa. Mia pun mengangguk. "Pesen apa kamu?" tanya Mia yang masih berdiri di tempatnya. Elsa berpikir sejenak, ia ingin makan apa hari ini. "Sama aja deh." "Aku mau makan soto. Kamu mau?" tanya Mia yang diangguki oleh Elsa. Mia pun pergi ke warung soto meninggalkan Elsa yang duduk di bangku dekat es kelapa muda. Elsa sibuk dengan ponselnya hingga tak sadar jika ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Orang itu menyodorkan satu botol teh manis kemasan dingin di mejanya. Elsa meliriknya. Tanpa banyak tanya lagi ia mengambil botol itu lalu membuka dan meminumnya. "Ah, leganya. Mia kok ta—" mata Elsa membola saat ia menoleh ke samping. Ternyata bukan Mia yang duduk disana melainkan Elvano dengan wajah datarnya. "—kok lo sih? Minggir!" Elsa mengusir Elvano. "Gue mau minta maaf. Gue—" belum selesai Elvano bicara tiba-tiba ada yang memanggil Elsa dari belakang. "Elsa, sendirian?" Wajah Elsa yang tadinya penuh emosi seketika berubah menjadi ramah. Ada Bagas di belakangnya. "Sama Mia.Tuh lagi beli soto. Ayo duduk sini." Elsa menepuk bangku di sebelahnya lalu menyuruh Bagas untuk duduk. "Heh, lo minggir." Elsa mengusir Elvano yang masih diam di tempatnya. "Gue duluan disini," sahutnya tak mau kalah. Elsa mendengus tak suka. "Aku duduk di depan kamu." Bagas pun memutar di samping Elsa dan duduk berhadapan dengannya. Tak lama kemudian Mia pun datang. Ia membawa dua mangkuk soto dan es teh manis. "Loh, kamu beli minum juga?" tanya Mia. Elsa menoleh lalu menatap botol teh kemasan yang ada di sampingnya. "Oh, ini punya dia tuh." Elsa menunjuk Elvano dan menyerahkan botol itu padanya. "Nih, punya lo." Tak terima dengan ucapan Elsa, Elvano pun membanting kasar botol yang ada di depannya. Sontak saja ketiga orang yang sedang duduk di kantin menoleh kaget ke arahnya. Begitupun dengan Elsa yang duduk di sampingnya. "Lo tuh bukannya terima kasih gue beliin air minum, tapi malah ngusir gue. Mau lo apa sih?" tunjuk Elvano pada Elsa penuh emosi. "G-gue enggak tahu." Elvano kembali membanting botol itu hingga jatuh ke lantai. "Nyesel gue minta maaf." Elvano pun pergi dari hadapan mereka bertiga. Elsa menunduk ketakutan. Tangannya gemetar dan ada gumpalan air mata di sudut matanya. "A-aku mau ke kelas." Elsa pun pergi menuju kelasnya dengan mata sembab dan air mata yang siap jatuh meleleh di pipinya. Bagas pun berdiri. Namun tangannya ditahan oleh Mia. "Habisin sotonya Elsa dong. Aku enggak sanggup." ***Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Maya tak betah diabaikan oleh Elvano. Sejak kesalahan yang diperbuatnya di lantai dansa lima bulan yang lalu, seluruh media sosial miliknya diblokir, panggilannya tak pernah dijawab, chatnya juga diabaikan oleh pria muda yang telah mencatut hatinya itu. Satu hal yang paling menyakitkan, ia ditolak habis-habisan saat mengajaknya ke luar.Gadis berambut ikal itu mendengus kasar dari balik kaca jendela mobilnya. Hampir dua jam ia duduk di kursi kemudi sambil menunggu Elvano ke luar dari dalam gedung sekolah megah yang terpampang di depannya saat ini.Ia harus bertemu dengan Elvano!"Lama sekali sih," gerutunya.Setelah menunggu cukup lama, sosok yang ditunggunya ke luar dari dalam gedung menuju parkiran sekolah dekat dengan lapangan bola.Maya turun dari mobilnya lalu berlari ke arah Elvano yang nampak sibuk memakai helm dan sarung tangannya."El!" Elvano menoleh. "Ikut aku ke kafe biasa yuk. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
Sambil mengunyah makan malamnya, Elvano bertanya pada ibunya yang tengah duduk sambil membaca berita terbaru artis ibukota. Bibirnya mengerucut, mulutnya penuh makanan. "Mama ada tujuan apa sih mau jodohkan aku sama Elsa?"Farah menutup ponselnya. Ia menoleh ke belakang tepat ke arah meja makan tempat anaknya duduk mengunyah makanan."Mau tahu aja apa mau tahu banget?" ledek Farah lalu terkekeh. Elvano mendecih tak suka."Cih. Enggak usah bercanda, Ma. El enggak mau ngelawan karena malas debat sama mama papa," ucap Elvano yang kini telah menghabiskan seluruh lauk di piringnya."Kamu kenapa mau? Selain karena males debat, pasti karena dia cantik. Ya kan?" Elvano memutar bola matanya malas. Ia berjalan ke tempat cuci lalu menyusul ibunya duduk di sofa tengah."Ma, yang serius!""Ok. Ini kata papa kamu ya. Dia bilang, kakek kamu berwasiat menjodohkan anak atau cucu keturunan keluarga Wiguna dan Erlangga. Nah, karena tidak berjodoh d
Huft.Masih pukul setengah tujuh pagi. Ruang kelas masih kosong dan belum banyak siswa yang datang. Elsa mengendap-endap masuk ke dalam kelas membawa sebuah buku tebal di dalam pelukannya. Ia melirik ke kiri dan kanan lalu duduk di bangkunya.Setelah menaruh tas sekolahnya, Elsa membuka buku yang tadi dibawanya. Senyum manis melintang di bibirnya, membaca lembar demi lembar tulisan di dalamnya. Tiba-tiba saja wajahnya memanas. Ada rasa tersirat dalam setiap tulisan yang ia baca."Sibuk banget," ujar Bagas yang membuat Elsa terkejut sampai hampir menjatuhkan botol minum di sampingnya."B-bagas? Sejak kapan ada di sini?" tanya Elsa gugup. Ia terburu-buru menutup buku yang dibawanya dan memasukkannya ke dalam tas."Dari dua menit yang lalu. Kamu sibuk baca sih. Jadi enggak lihat aku datang." Bagas berlalu dan langsung duduk di bangkunya tepat di belakang Elsa."Kamu enggak lihat apa tulisannya kan?" Elsa menunduk memainkan jarinya. Ia takut jika Bagas membaca isi buku itu. Lebih tepatnya
Elvano mengendap-endap mencari keberadaan Elsa setelah bubar kelas bahasa Inggris setengah jam yang lalu. Saatnya istirahat, pasti Elsa akan duduk di kantin bersama sahabatnya dan pujaan hatinya itu. Cih, rasanya Elvano ingin menjitak kepala Elsa jika sudah memamerkan Bagas di hadapannya. Kurang apa memangnya dia? Bagas dan dirinya sama-sama cerdas. Pernah jadi juara kelas, ikut lomba antar sekolah, ikut kejuaraan basket dan taekwondo. Minusnya hanya tidak mengikuti kegiatan OSIS saja. Alasannya, Elvano malas berlama-lama di ruang kelas mengikuti rapat yang menurutnya hanya gimmick saja. "Elsa!" teriakan keras menggema di lorong dekat kantin. Kaki yang berlari cukup kencang menghempas angin di sekitar disertai debu halus beterbangan. Elsa menoleh. Dilihatnya si pelaku yang berteriak cukup keras itu berdiri di belakangnya dengan raut wajah yang menampilkan sisi emosi yang cukup jelas terlihat. "Lo pura-pura kan?" tiba-tiba dia menuduh. Elvano s
Berdasarkan hasil dari kelas gabungan beberapa hari lalu, bu Rahma yang memang ditugaskan untuk mencari bibit unggul siswa siswi berprestasi akhirnya memilih beberapa kandidat yang akan mengikuti kompetisi bahasa Inggris bulan depan. Rumor mengatakan, akan ada empat kandidat yang diacak sesuai dengan urutan prestasinya di sekolah selama dua semester ke belakang. Itu berarti akan ada empat rival abadi yang bolak-balik jadi langganan rangking satu terbaik di sekolah. "Bulan depan ada kompetisi bahasa Inggris. Ada empat orang yang akan dibawa untuk mewakili sekolah. Campuran dari kelas IPA dan IPS. Ada dua orang yang dipilih dari kelas ini tapi enggak tahu siapa," teriak Mia. Entah dari siapa ia mendapat bocoran itu. Suasana kelas yang semula sepi menjadi ramai seperti dalam pasar. Bagas tak menghiraukannya. Ia sibuk menulis rangkuman pelajaran tadi pagi. Elsa menoleh ke belakang, lalu bertanya pada Bagas," Pasti kamu yang terpilih." "Kata siapa
Setelah mendengarkan panjang lebar apa yang tengah dibahas oleh bu Rahma, kini keempat siswa siswi itu kembali ke kelas masing-masing. Bagas dan Elsa berjalan beriringan sembari bercerita tentang rencana mereka berdua yang akan belajar bersama untuk menghadapi ujian tes. Elsa yang paling bersemangat, Bagas hanya mengangguk. Ia sangat mengagumi antusias dan semangat pantang menyerah Elsa. “Kita undang Serly juga. Ke perpustakaan kota, bagaimana?” ajak Elsa yang diangguki oleh Bagas. Elsa menghentikan langkahnya tiba-tiba, Bagas yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti. “Kenapa?” “Bagaimana dengan Elvano? Kita ajak juga?” tanya Elsa bingung. “Menurut kamu? Kita bikin tugas itu berempat dan butuh kontribusi dia juga.” Tepat saat mereka berdiskusi, Elvano berjalan melewatinya dengan langkah pelan yang sengaja dibuatnya. Gaya sombong terlihat dari caranya melirik Bagas dan Elsa yang menatapnya diam-diam. Elvano berhenti sejenak lalu bert
Sudah pukul dua belas siang. Elsa dan Bagas serta Serly sudah sejak dua jam lalu datang dan duduk sembari mencari bahan untuk pembuatan makalah yang mereka perlukan. Elsa sudah menemukan dua buku tambahan, Bagas bahkan sudah merangkul sebagian sedangkan Fina sibuk mencatat tulisan kasarnya ke dalam laptop yang ia bawa. Mereka hampir melupakan satu anggota yang belum datang. Bagas melirik arlojinya. Sudah pukul setengah dua siang, sudah waktunya makan siang. Elsa dan Fina belum beranjak dari duduknya. Mereka masih serius berdiskusi tanpa memperhatikan sekitarnya. Serly menepuk perlahan bahu Bagas hingga ia menoleh, "Ada apa?" "Makan siang yuk. Di bawah aja. Kayaknya ada menu yang enak tadi," ajak Serly. Bagas mencolek Elsa yang masih sibuk mengetik. "Ke bawah yuk. Serly ngajak makan." "Eh, sudah jam dua ya? Nanti kita balik lagi atau enggak?" tanya Elsa. "Kamu kalau mau nunggu si Vano ya enggak apa-apa. Biar aku pu
Rencana pertunangan itu sudah ada di depan mata. Dua bulan lagi ujian tengah semester dan setelah itu mereka akan bersiap untuk ujian akhir. Entah mengapa kedua keluarga tak sabar untuk menjodohkan mereka berdua. Padahal usia mereka masih terlampau muda. Tapi tenang saja, Elvano adalah remaja yang sudah matang pemikirannya. Ia lebih mementingkan perasaan orangtuanya dibanding dirinya sendiri. Lagipula, siapa yang bisa menolak Elsa. Gadis cantik, pintar dan juga baik perilakunya. Dia adalah harta berharga keluarga Wiguna. Siapa saja pasti tak akan berani menolaknya. Termasuk Elvano, yang sejak lama tak pernah terpikirkan menjalin cinta dengan seorang gadis. "Keluarga Wiguna sudah setuju untuk mengadakan acara pertunangan secara tertutup. Kamu tidak masalah kan?" tanya Farah yang dibalas anggukan oleh Elvano. "Elvano harus sembunyikan atau terus terang sama teman sekolah?" tanya Elvano. Pasalnya, ia tak mau kejadian seperti Bagas kembali terjadi
"Elvano, sini lo!" teriak Bagas. Elvano yang sedang duduk di bawah pohon bersama teman-temannya menoleh ke belakang. Dahi Elvano berkerut lalu terkekeh tak mempedulikan panggilan Bagas. "Punya telinga kan lo?" teriak Bagas sekali lagi. "Ada apa, bro? Gue lagi ngadem sama temen-temen gue." Bagas yang tak terima karena diabaikan langsung menyeret tangan Elvano. Tangannya terlihat mengepal ingin melayangkan tinju ke arah pria di depannya yang terkekeh akan tindakannya tadi. Ken dan Niko berjaga-jaga di belakang mereka berdua. Takut kalau ada perkelahian antara kedua ketua geng itu. "Lo mau ngapain? Soal Elsa lagi?" tantang Elvano."Gue tahu, lo bohong mengenai hubungan lo dan Elsa. Apa maksud lo?" Elvano terkekeh lagi. "Bro, gue ngomong gitu karena mau lihat kesungguhan lo sama Elsa. Gue lihat lo suka sama dia, tapi sama sekali enggak ada perubahan." "Jangan ikut campur," ancam Bagas. "We
Bagas terlihat murung. Sejak tadi pagi tak ada setitik cahaya pun nampak di wajahnya yang tampan. Biasanya ia akan banyak bicara jika berhadapan dengan Elsa ataupun Mia, kini sebaliknya. Mereka berdua kompak membuat jurang pemisah. "Bagas, nanti rapat ya. Jangan lupa," ujar Serly mengingatkan. Bagas mengangguk. Serly menelisik lekuk wajah Bagas, ada semburat kesedihan tercetak jelas di matanya. "Kamu kenapa masih disini?" tanya Bagas tiba-tiba. "Bagas lagi sedih?" "Bukan urusan kamu," ketus Bagas. Serly tak habis akal, ia malah ikut duduk di kursi samping Bagas lalu mulai mengganggunya. Bagas tak terusik sama sekali. Ia memilih untuk berkonsentrasi dengan pelajaran tanpa menghiraukan Serly. "Bagas, kamu jangan sedih. Senyum dong." Bagas menepis tangan Serly yang mulai berjalan di sekitar lengannya. Bagas risih. "Bisa pergi dari kelas aku enggak? Serius, hari ini aku lagi enggak mau bercanda." Bagas menoleh lalu me
Pulang sekolah, Elsa bergegas keluar dari dalam kelas. Ia tak ingin berlama-lama di dalam. Rasanya napas sesak di sana. Elsa memilih duduk sendiri di pos satpam sembari menunggu kakaknya datang menjemput. Sudah hampir setengah jam belum ada kabar apapun darinya. Aksa tadi pagi berjanji akan menjemputnya jika memang tak ada halangan. Namun entah mengapa hingga sekarang belum nampak batang hidungnya sama sekali. "Kakak kemana, ya?" Elsa mencebikkan bibirnya. Berkali-kali ia mengecek jam dan menghubungi kakaknya lewat pesan. Tidak ada jawaban. "Elsa, belum pulang?" tanya seseorang yang sudah dihafal suaranya oleh Elsa. "Kakak belum jemput," jawab Elsa malas."Pulang bareng gue yuk," ajak Elvano yang tadi bertanya pada Elsa. "Enggak repotin?" "Enggak dong. Ayo naik." Elsa menerima helm yang disodorkan kepadanya. Ia pun segera naik ke atas motor Elvano. "Elvano, susah naiknya." Elsa mengeluh. Motor E
"Woy, gosip!" Seluruh siswa siswi berlari memberondong pintu keluar menuju mading yang terletak di lantai satu dekat ruang guru. Semua berusaha maju untuk melihat apa saja gosip terbaru hari ini. Biasanya, ada cerita siswa siswi yang jadian tapi di luar prediksi mereka. "Woy, ini bener? Inisialnya E dan E?" "Siapa woy murid sini yang inisialnya E? Eh, clue-nya dua-duanya beda jurusan dan terkenal karena prestasi. Tapi yang cowok sering dipanggil berandalan. Siapa ya?"Semua berusaha untuk jadi detektif dadakan. Tak ada yang mengetahui siapa pasangan tak terdeteksi itu. Namun seketika seorang siswa tersadar. Bukankah yang sedang heboh saling dekat itu adalah Elvano dan Elsa? Siswa itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Ah enggak mungkin mereka deh."Saat mereka semuanya sedang saling berusaha mencari siapa siswa siswi yang sedang jadi bahan gosip itu, tiba-tiba muncul Elvano dan gengnya dari arah gerbang sekolah lalu disusul oleh Elsa yang hari ini datang diantar oleh kakaknya. M
"Aku mau ketemu kamu, besok." suara Bagas membuat tubuh Elsa berhenti bergerak. Walau hanya dengan suara panggilan di telepon, tapi rasanya terdengar jelas di depan matanya. "Jam berapa?" tanya Elsa. Ia menggigit bibir bawahnya lalu mulai mencubit pahanya sendiri. Ini selalu dilakukannya kalau sedang gelisah. "Mungkin pagi. Kamu bisa, kan?" Elsa melihat jadwalnya kembali. Besok ia dan Rayyan masih harus berdiskusi untuk memantapkan perlombaan minggu depan. Ia sangat ingin bertemu dengan Bagas tapi Elvano pasti tidak mau diundur waktunya. "Sampai jam?" Elsa bertanya kembali. "Sore. Aku mau ajak kamu jalan keliling Jakarta. Bisa kan?" Elsa terdiam. Ia tak tahu apakah akan menerimanya atau tidak. Karena ini sangatlah sulit. Elvano pasti tidak mau jika waktu belajarnya diundur dan ini adalah kesempatan terbaik baginya untuk lebih dekat dengan Bagas. "Maaf. Besok aku ada janji sama Elvano," jawab Elsa pelan. Ponselnya dijauhkan dari telinga agar ia tak mendengar ocehan kemarahan Bag
Elsa hanya duduk dan diam memandangi foto dirinya bersama Mia juga Bagas. Foto yang diambilnya tiga bulan lalu saat sedang tamasya ke taman safari. Bagas tersenyum lebar sambil memegang erat tangannya. Mia di sampingnya mengulurkan satu jarinya. Mereka tampak bahagia. "Lagi ngeliat apa sih? Kayaknya serius banget." Aksa berdiri disamping Elsa lalu mengusap rambutnya. "Katanya lagi pusing?" "Kak, apakah antara pria dan wanita yang berteman akan ada perasaan cinta diantara mereka?" tanya Elsa. Aksa mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tanya seperti ini?" "Elsa suka sama Bagas tapi tidak mau merusak hubungan pertemanan." "Ya sudah, jangan suka sama dia. Emangnya kita bisa atur akan suka dengan siapa nantinya? Lagipula, kan kamu akan bertunangan dengan Elvano, enggak kasihan sama dia?" Elsa menggeleng."Maksudnya?" "Jangan membuat orang lain kecewa. Ayo, istirahat." Elsa mengangguk. Setelah A
Elsa menemukan Elvano yang sedang duduk sendiri di dekat taman sekolah. Di dekatnya ada dua ekor kucing lucu yang sedang ia beri makan. Elsa tersenyum melihatnya. Hati lembut Elvano berbanding terbalik dengan sikapnya yang mudah sekali emosi. "Kalau mau tanya, ya tanya aja." Elsa mematung. Wajahnya memerah malu karena ternyata Elvano menyadari kehadirannya. "El, tadi gue sempet liat lu berantem sama serly. Maaf." Elvano menutup kembali toples makanan kucingnya lalu menepuk bangku di sebelahnya dan menyuruh Elsa untuk duduk. "Masalah intern antara gue sama dia sih. Pasti lo pernah denger." Elsa menggelengkan kepalanya. "Gue enggak tahu, El." Elvano terkekeh. "Kapan-kapan gue ceritain. Gue lagi enggak mood." Mereka berdua terdiam. Ada rasa canggung yang tiba-tiba merayap diantara mereka. Elsa melirik lalu kembali menatap pemandangan di depannya. "Enggak masalah. Lagipula kan itu masalah kalian."
Elvano tak langsung pulang ke rumahnya. Hari ini ia ingin mampir ke studio musik yang dibuatkan oleh ayahnya satu tahun yang lalu. Ayahnya, walaupun menginginkan Elvano untuk meneruskan bisnis gurita keluarga besar Erlangga tetapi tetap memberikan kesempatan untuk putra sulungnya mengembangkan bakat. Ia tak pernah memaksa Elvano mematuhi keinginannya kecuali dijodohkan dengan Elsa. Itu mutlak katanya."Bengong aja lo. Ada yang bikin pusing?" celetuk Niko yang sejak tadi sibuk bermain game. Elvano diam saja tapi tangannya sejak tadi hanya memutar-mutar stik drum."Dia lagi mulai jatuh cinta tuh," timpal Ken yang ditanggapi kekehan oleh Niko."Pantesan, kayak orang kesambet."Elvano melirik kesal ke arah dua temannya yang terus menyindirnya. Ia beranjak pergi dari atas kursi drummer lalu mengikuti dua temannya di sofa tengah."Gue bingung. Gue deket sama Elsa, seperti dijadikan tameng sama dia. Menurut lo gimana?" tanya Elvano pada Niko yan