Setelah mendengarkan panjang lebar apa yang tengah dibahas oleh bu Rahma, kini keempat siswa siswi itu kembali ke kelas masing-masing. Bagas dan Elsa berjalan beriringan sembari bercerita tentang rencana mereka berdua yang akan belajar bersama untuk menghadapi ujian tes. Elsa yang paling bersemangat, Bagas hanya mengangguk. Ia sangat mengagumi antusias dan semangat pantang menyerah Elsa.
“Kita undang Serly juga. Ke perpustakaan kota, bagaimana?” ajak Elsa yang diangguki oleh Bagas. Elsa menghentikan langkahnya tiba-tiba, Bagas yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti.“Kenapa?”“Bagaimana dengan Elvano? Kita ajak juga?” tanya Elsa bingung.“Menurut kamu? Kita bikin tugas itu berempat dan butuh kontribusi dia juga.”Tepat saat mereka berdiskusi, Elvano berjalan melewatinya dengan langkah pelan yang sengaja dibuatnya. Gaya sombong terlihat dari caranya melirik Bagas dan Elsa yang menatapnya diam-diam. Elvano berhenti sejenak lalu bertSudah pukul dua belas siang. Elsa dan Bagas serta Serly sudah sejak dua jam lalu datang dan duduk sembari mencari bahan untuk pembuatan makalah yang mereka perlukan. Elsa sudah menemukan dua buku tambahan, Bagas bahkan sudah merangkul sebagian sedangkan Fina sibuk mencatat tulisan kasarnya ke dalam laptop yang ia bawa. Mereka hampir melupakan satu anggota yang belum datang. Bagas melirik arlojinya. Sudah pukul setengah dua siang, sudah waktunya makan siang. Elsa dan Fina belum beranjak dari duduknya. Mereka masih serius berdiskusi tanpa memperhatikan sekitarnya. Serly menepuk perlahan bahu Bagas hingga ia menoleh, "Ada apa?" "Makan siang yuk. Di bawah aja. Kayaknya ada menu yang enak tadi," ajak Serly. Bagas mencolek Elsa yang masih sibuk mengetik. "Ke bawah yuk. Serly ngajak makan." "Eh, sudah jam dua ya? Nanti kita balik lagi atau enggak?" tanya Elsa. "Kamu kalau mau nunggu si Vano ya enggak apa-apa. Biar aku pu
Elsa tak bisa tidur malam ini. Di kepalanya selalu terngiang-ngiang pertengkaran antara Bagas dan Elvano yang membuat keduanya hampir saja terluka. Elvano memang pemarah, tapi Bagas juga mudah terpancing oleh ucapan kasar pria itu. Elsa jadi merasa bersalah pada mereka. Andai saja ia tak memilih tempat yang jauh, mungkin tak akan terjadi pertengkaran itu.Pagi harinya, Elsa berangkat lebih awal. Ia mengingat lagi tantangan yang dilontarkan Bagas pada Elvano untuk bermain basket untuk menentukan tempat kemana lagi mereka akan mencari referensi untuk tugas artikel yang akan diserahkan ke bu Rahma bulan depan.Elsa terburu-buru berangkat lebih awal dari biasanya. Ia duduk di lapangan basket menunggu kedua orang itu datang. Bagas katanya ada pertemuan di ruang OSIS pagi ini sedangkan Elvano belum datang. Karena menunggu cukup lama, terpaksa Elsa kembali lagi ke kelas menunggu jam kedua pelajaran."Dari mana aja, Sa?" tegur Mia yang sedang asik mengobrol dengan
Elvano mengajak kedua temannya ke atap sekolah hanya untuk menemaninya duduk diam menatap langit. Dua jam pelajaran terakhir dihabiskan ketiganya hanya untuk bersenang-senang. Ken dan Niko tentunya sangat senang. Mereka berdua malah sibuk berselancar mencari teman di dunia maya sedangkan Elvano lebih senang melamun.Membayangkan betapa bahagianya Elsa dan Bagas tadi pagi, membuat hati Elvano mendadak kesal dan marah tak terbendung. Entahlah, sebenarnya apa yang dirasakan Elvano saat ini ada hubungannya dengan status antara dirinya dan Elsa."Kalian berdua, bagaimana persiapannya kalau misalnya dijodohkan sejak kecil? Maksud gue, kalau dipaksa tunangan gitu?" tanya Elvano dengan wajah serius pada kedua temannya. Ken yang sedang menenggak minuman jadi tersedak. Sedangkan Niko mendadak tak bisa bicara. Mereka berdua akhirnya saling pandang satu sama lain. "Ck. Gue nanya malah pada diem lo semua," kesal Elvano. "Lo dijodohin?" Elvano tak menjawab. Kedua temannya saling bertatapan. "Kal
"Minggir!" Elvano menepis bahu siswa yang menghalangi jalannya menuju ke dalam kelas. Sejak kemarin mood dia hilang karena ulah Bagas dan Elsa. Taruhan basket yang ia mainkan bersama Bagas nyatanya tak cukup membuat hatinya lega. Ada sesuatu yang janggal memenuhi pikirannya saat ini. "Elsa!" Teriakan Elvano membuat Elsa yang berdiri empat langkah darinya menoleh tiba-tiba. Tatapannya datar lalu alisnya menukik. Melihat reaksi Elsa, Elvano berjalan menghampiri bermaksud ingin menyapanya. "Hai.." Dahi Elsa berkerut. Mata dingin Elsa membuat Elvano canggung dan emosi sesaat tapi berhasil diredakannya. "Makan siang bareng gue," ujarnya tiba-tiba. Elsa tersentak kaget. Hampir saja buku yang sedang dibawanya jatuh. "Kepala lo enggak abis kejedot, kan?" tanya Elsa yang dibalas kekehan Elvano. "Enggak. Salah kalau gue ngajak makan siang?" Elsa tak merespon. Ia terus berjalan menuju kelasnya l
Elsa mendengus. Pagi hari yang cerah seharusnya bisa membuat hatinya juga cerah. Nyatanya tidak. Dua lembar tulisan di mading dan meja kelasnya cukup membuat kepalanya pusing. Isi tulisan di lembaran itu sangat aneh, pikir Elsa. "Dari siapa?" tanya Mia yang baru saja datang. Hari ini ia tak terlambat lagi seperti minggu kemarin. Ini berkat Elsa yang memberikan tips bangun pagi padanya. "Enggak tahu. Ada dua nih." Elsa menunjukkan dua lembar kertas berisikan kalimat rayuan. Mia membacanya lalu tertawa terpingkal-pingkal. Elsa mendelik. Ia merebut kembali kertas itu lalu menyimpannya di dalam buku diary yang selalu ia bawa. "Jangan-jangan selama ini ada orang yang suka sama kamu," ujar Mia yang sepertinya tahu akan sesuatu. Elsa memicingkan matanya. Ia tahu jika insting Mia itu bisa dipercaya. Sudah berkali-kali ia menebak tingkah laku aneh seseorang dan semuanya tepat. Elsa memusatkan pandangannya pada Mia yang berpura-pura tak mengetahui apapun. Mia menoleh lalu mencubit pipi El
Elvano merasakan degupan tak nyaman dengan jantungnya. Pertemuan tatapan mata antara ia dan Elsa baru pertama kali dilakukannya tadi saat mereka tak sengaja terjatuh. Biasanya Elvano langsung memutus tatapan itu, tapi apa yang dilakukannya tadi sungguh aneh sekali."Gue kenapa sih?" Elvano mendengus kesal. Tangannya mengusak kasar rambut hingga berantakan. "Bro!" Ken menepuk bahu Elvano. "Tadi lo kenapa?" Elvano menggelengkan kepalanya. "Udah temuin Elsa di UKS belum?""Ada siapa di sana?" tanya Elvano cemas."Temennya yang cerewet itu sih. Minta maaf gih." Niko melempar kaleng minuman pada Ken lalu mengopernya pada Elvano. "Enggak ada salahnya lo minta maaf duluan. Jangan gengsi. Lagian, lo kok kayak cowok yang lagi cemburu sama ceweknya sih?" terka Niko. "Apa jangan-jangan itu cewek yang lo bilang kemarin?" Niko dan Ken terbelalak saat baru sadar kalau tingkah Elvano berbeda beberapa hari ini. Dia sering uring-uringan tak jelas hanya karena Elsa berdekatan dengan Bagas."Lo cemb
Elvano membuang semua kertas yang sudah ditulisnya dengan tinta hitam. Kata-kata yang indah sudah ia tuangkan tapi tak satupun membuatnya puas. Rencananya, Elvano akan meminta maaf pada Elsa tapi ia bingung dengan cara apa yang paling tepat. "Apa seperti waktu itu? Ah, tidak." Elvano terus berpikir sambil menggumam. "Coklat?" "Bunga?" "Atau kue?" Elvano mengacak-acak rambutnya hingga tak berbentuk. Kesal, ia membanting pensil dan beralih merebahkan tubuhnya di atas ranjang miliknya. "Susah juga minta maaf," tuturnya kesal. Sekali lagi Elvano berpikir keras hingga akhirnya ia menemukan ide. "Bagaimana kalau menyanyikan lagu untuknya?" Jika sudah bunyi seperti ini, biasanya Elvano akan membutuhkan dua sahabatnya untuk dimintai pendapat. Terutama Ken, yang idenya paling brilian diantara mereka bertiga. Elvano mencari ponsel yang dimatikannya sejak sore tadi. Saat ia buka, puluhan pesan masuk secara beruntun ke dalam ponselnya. Dari sekian banyak pesan, ia malah tertarik membuk
Baru saja keduanya duduk setelah kepergian Aksa ke lantai bawah, tiba-tiba saja pintu diketuk dari luar. Elsa dan Elvano sama menoleh ke arah yang sama. "Non," panggil si bibi."Kenapa, Bi?" Elsa mempersilakan bibi membuka pintu kamar sementara ia dan Elvano masih duduk diam di tempat masing-masing."Non, ada temannya di bawah. Bibi suruh masuk atau—" "Suruh ke atas saja." Elvano mengerutkan dahinya. Teman? Siapa teman Elsa yang berani datang kemari? "Pasti si Bagas," cibir Elvano. Entah mengapa dirinya kesal begitu mengingat nama itu. Masih teringat jelas bagaimana pria itu mengkhawatirkan keadaan Elsa yang terjatuh kemarin. Sungguh sangat membuatnya muak. Pintu pun dibuka lagi dari luar. Tampak Bagas dan Mia yang datang membawa bungkusan makanan dari sebuah toko kue. Elvano menatap keduanya dengan tatapan tak suka. Terutama Bagas, sungguh sangat merusak harinya bersama Elsa. "Loh, kenapa ada—"
Rencana pertunangan itu sudah ada di depan mata. Dua bulan lagi ujian tengah semester dan setelah itu mereka akan bersiap untuk ujian akhir. Entah mengapa kedua keluarga tak sabar untuk menjodohkan mereka berdua. Padahal usia mereka masih terlampau muda. Tapi tenang saja, Elvano adalah remaja yang sudah matang pemikirannya. Ia lebih mementingkan perasaan orangtuanya dibanding dirinya sendiri. Lagipula, siapa yang bisa menolak Elsa. Gadis cantik, pintar dan juga baik perilakunya. Dia adalah harta berharga keluarga Wiguna. Siapa saja pasti tak akan berani menolaknya. Termasuk Elvano, yang sejak lama tak pernah terpikirkan menjalin cinta dengan seorang gadis. "Keluarga Wiguna sudah setuju untuk mengadakan acara pertunangan secara tertutup. Kamu tidak masalah kan?" tanya Farah yang dibalas anggukan oleh Elvano. "Elvano harus sembunyikan atau terus terang sama teman sekolah?" tanya Elvano. Pasalnya, ia tak mau kejadian seperti Bagas kembali terjadi
"Elvano, sini lo!" teriak Bagas. Elvano yang sedang duduk di bawah pohon bersama teman-temannya menoleh ke belakang. Dahi Elvano berkerut lalu terkekeh tak mempedulikan panggilan Bagas. "Punya telinga kan lo?" teriak Bagas sekali lagi. "Ada apa, bro? Gue lagi ngadem sama temen-temen gue." Bagas yang tak terima karena diabaikan langsung menyeret tangan Elvano. Tangannya terlihat mengepal ingin melayangkan tinju ke arah pria di depannya yang terkekeh akan tindakannya tadi. Ken dan Niko berjaga-jaga di belakang mereka berdua. Takut kalau ada perkelahian antara kedua ketua geng itu. "Lo mau ngapain? Soal Elsa lagi?" tantang Elvano."Gue tahu, lo bohong mengenai hubungan lo dan Elsa. Apa maksud lo?" Elvano terkekeh lagi. "Bro, gue ngomong gitu karena mau lihat kesungguhan lo sama Elsa. Gue lihat lo suka sama dia, tapi sama sekali enggak ada perubahan." "Jangan ikut campur," ancam Bagas. "We
Bagas terlihat murung. Sejak tadi pagi tak ada setitik cahaya pun nampak di wajahnya yang tampan. Biasanya ia akan banyak bicara jika berhadapan dengan Elsa ataupun Mia, kini sebaliknya. Mereka berdua kompak membuat jurang pemisah. "Bagas, nanti rapat ya. Jangan lupa," ujar Serly mengingatkan. Bagas mengangguk. Serly menelisik lekuk wajah Bagas, ada semburat kesedihan tercetak jelas di matanya. "Kamu kenapa masih disini?" tanya Bagas tiba-tiba. "Bagas lagi sedih?" "Bukan urusan kamu," ketus Bagas. Serly tak habis akal, ia malah ikut duduk di kursi samping Bagas lalu mulai mengganggunya. Bagas tak terusik sama sekali. Ia memilih untuk berkonsentrasi dengan pelajaran tanpa menghiraukan Serly. "Bagas, kamu jangan sedih. Senyum dong." Bagas menepis tangan Serly yang mulai berjalan di sekitar lengannya. Bagas risih. "Bisa pergi dari kelas aku enggak? Serius, hari ini aku lagi enggak mau bercanda." Bagas menoleh lalu me
Pulang sekolah, Elsa bergegas keluar dari dalam kelas. Ia tak ingin berlama-lama di dalam. Rasanya napas sesak di sana. Elsa memilih duduk sendiri di pos satpam sembari menunggu kakaknya datang menjemput. Sudah hampir setengah jam belum ada kabar apapun darinya. Aksa tadi pagi berjanji akan menjemputnya jika memang tak ada halangan. Namun entah mengapa hingga sekarang belum nampak batang hidungnya sama sekali. "Kakak kemana, ya?" Elsa mencebikkan bibirnya. Berkali-kali ia mengecek jam dan menghubungi kakaknya lewat pesan. Tidak ada jawaban. "Elsa, belum pulang?" tanya seseorang yang sudah dihafal suaranya oleh Elsa. "Kakak belum jemput," jawab Elsa malas."Pulang bareng gue yuk," ajak Elvano yang tadi bertanya pada Elsa. "Enggak repotin?" "Enggak dong. Ayo naik." Elsa menerima helm yang disodorkan kepadanya. Ia pun segera naik ke atas motor Elvano. "Elvano, susah naiknya." Elsa mengeluh. Motor E
"Woy, gosip!" Seluruh siswa siswi berlari memberondong pintu keluar menuju mading yang terletak di lantai satu dekat ruang guru. Semua berusaha maju untuk melihat apa saja gosip terbaru hari ini. Biasanya, ada cerita siswa siswi yang jadian tapi di luar prediksi mereka. "Woy, ini bener? Inisialnya E dan E?" "Siapa woy murid sini yang inisialnya E? Eh, clue-nya dua-duanya beda jurusan dan terkenal karena prestasi. Tapi yang cowok sering dipanggil berandalan. Siapa ya?"Semua berusaha untuk jadi detektif dadakan. Tak ada yang mengetahui siapa pasangan tak terdeteksi itu. Namun seketika seorang siswa tersadar. Bukankah yang sedang heboh saling dekat itu adalah Elvano dan Elsa? Siswa itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Ah enggak mungkin mereka deh."Saat mereka semuanya sedang saling berusaha mencari siapa siswa siswi yang sedang jadi bahan gosip itu, tiba-tiba muncul Elvano dan gengnya dari arah gerbang sekolah lalu disusul oleh Elsa yang hari ini datang diantar oleh kakaknya. M
"Aku mau ketemu kamu, besok." suara Bagas membuat tubuh Elsa berhenti bergerak. Walau hanya dengan suara panggilan di telepon, tapi rasanya terdengar jelas di depan matanya. "Jam berapa?" tanya Elsa. Ia menggigit bibir bawahnya lalu mulai mencubit pahanya sendiri. Ini selalu dilakukannya kalau sedang gelisah. "Mungkin pagi. Kamu bisa, kan?" Elsa melihat jadwalnya kembali. Besok ia dan Rayyan masih harus berdiskusi untuk memantapkan perlombaan minggu depan. Ia sangat ingin bertemu dengan Bagas tapi Elvano pasti tidak mau diundur waktunya. "Sampai jam?" Elsa bertanya kembali. "Sore. Aku mau ajak kamu jalan keliling Jakarta. Bisa kan?" Elsa terdiam. Ia tak tahu apakah akan menerimanya atau tidak. Karena ini sangatlah sulit. Elvano pasti tidak mau jika waktu belajarnya diundur dan ini adalah kesempatan terbaik baginya untuk lebih dekat dengan Bagas. "Maaf. Besok aku ada janji sama Elvano," jawab Elsa pelan. Ponselnya dijauhkan dari telinga agar ia tak mendengar ocehan kemarahan Bag
Elsa hanya duduk dan diam memandangi foto dirinya bersama Mia juga Bagas. Foto yang diambilnya tiga bulan lalu saat sedang tamasya ke taman safari. Bagas tersenyum lebar sambil memegang erat tangannya. Mia di sampingnya mengulurkan satu jarinya. Mereka tampak bahagia. "Lagi ngeliat apa sih? Kayaknya serius banget." Aksa berdiri disamping Elsa lalu mengusap rambutnya. "Katanya lagi pusing?" "Kak, apakah antara pria dan wanita yang berteman akan ada perasaan cinta diantara mereka?" tanya Elsa. Aksa mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tanya seperti ini?" "Elsa suka sama Bagas tapi tidak mau merusak hubungan pertemanan." "Ya sudah, jangan suka sama dia. Emangnya kita bisa atur akan suka dengan siapa nantinya? Lagipula, kan kamu akan bertunangan dengan Elvano, enggak kasihan sama dia?" Elsa menggeleng."Maksudnya?" "Jangan membuat orang lain kecewa. Ayo, istirahat." Elsa mengangguk. Setelah A
Elsa menemukan Elvano yang sedang duduk sendiri di dekat taman sekolah. Di dekatnya ada dua ekor kucing lucu yang sedang ia beri makan. Elsa tersenyum melihatnya. Hati lembut Elvano berbanding terbalik dengan sikapnya yang mudah sekali emosi. "Kalau mau tanya, ya tanya aja." Elsa mematung. Wajahnya memerah malu karena ternyata Elvano menyadari kehadirannya. "El, tadi gue sempet liat lu berantem sama serly. Maaf." Elvano menutup kembali toples makanan kucingnya lalu menepuk bangku di sebelahnya dan menyuruh Elsa untuk duduk. "Masalah intern antara gue sama dia sih. Pasti lo pernah denger." Elsa menggelengkan kepalanya. "Gue enggak tahu, El." Elvano terkekeh. "Kapan-kapan gue ceritain. Gue lagi enggak mood." Mereka berdua terdiam. Ada rasa canggung yang tiba-tiba merayap diantara mereka. Elsa melirik lalu kembali menatap pemandangan di depannya. "Enggak masalah. Lagipula kan itu masalah kalian."
Elvano tak langsung pulang ke rumahnya. Hari ini ia ingin mampir ke studio musik yang dibuatkan oleh ayahnya satu tahun yang lalu. Ayahnya, walaupun menginginkan Elvano untuk meneruskan bisnis gurita keluarga besar Erlangga tetapi tetap memberikan kesempatan untuk putra sulungnya mengembangkan bakat. Ia tak pernah memaksa Elvano mematuhi keinginannya kecuali dijodohkan dengan Elsa. Itu mutlak katanya."Bengong aja lo. Ada yang bikin pusing?" celetuk Niko yang sejak tadi sibuk bermain game. Elvano diam saja tapi tangannya sejak tadi hanya memutar-mutar stik drum."Dia lagi mulai jatuh cinta tuh," timpal Ken yang ditanggapi kekehan oleh Niko."Pantesan, kayak orang kesambet."Elvano melirik kesal ke arah dua temannya yang terus menyindirnya. Ia beranjak pergi dari atas kursi drummer lalu mengikuti dua temannya di sofa tengah."Gue bingung. Gue deket sama Elsa, seperti dijadikan tameng sama dia. Menurut lo gimana?" tanya Elvano pada Niko yan