Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat.
"Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya. Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik. "Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi. "Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama direktur rumah sakitnya. Soalnya ada promosi bulan depan. Jadinya dia harus siapin pembekalan apalah itu," jawab Adi membanggakan putra keduanya. "Wah, Aksa jadi dokter ya? Duh, dulu tuh pas aku kesini masih kecil banget. Masih SMP kalau enggak salah," ujar Farah. "Iya. Dulu ke sini pas Vano umur 5 tahun kan?" Kedua keluarga itu terhanyut dalam obrolan santai. Elvano hanya diam saja, kadang tersenyum jika ada hal yang membuatnya tertawa. Obrolan orang dewasa sungguh membuatnya canggung. Hingga akhirnya, satu suara membuat Elvano mengerutkan dahinya. Ia seperti pernah dengar suara itu. "Ma..." Elvano menoleh ke belakang. Matanya terbelalak melihat sesosok gadis yang berjalan pelan ke arahnya dengan gaun cantik pilihan ibunya. 'Cantik.' "Sela—" Elsa, gadis yang tadi berteriak memanggil ibunya ikut membelalakkan matanya. "Kok lo ada di sini?" Mata Elvano tak berhenti menatap Elsa yang malam ini begitu cantik. Hanya riasan sederhana tapi sukses membuat jantung sehat Elvano berdebar keras. Elvano yang mematung membuat Elsa tak nyaman. Ditatap begitu dekat dengan mata berbinar-binar hingga membuat wajah Elsa bersemu merah menjadi tanda jika dirinya tersipu malu ditatap seperti itu. Beraneka pikiran liar berkejaran di kepalanya. 'Ehem' Suara deheman dari bibir Adi Wiguna membuat keduanya melengos. Elsa duduk di sebelah Elvano karena hanya itu satu-satunya yang tersisa. Atau lebih tepatnya sengaja disisakan untuk dirinya. "Kalian sudah saling kenal?" tanya Farah yang diangguki keduanya. Wanita cantik itu tersenyum penuh maksud. Tatapan matanya beralih pada Hani yang sepertinya juga memiliki pemikiran sama. "Ini kan si cowok galak tadi pagi. Ngapain ke sini?" Elsa memelototi Elvano dengan mata bulatnya. Hani sedikit bingung dengan tingkah anaknya, mengapa raut wajahnya nampak marah? "Eh, enggak boleh begitu anak cantik." Bibir Elsa merengut. "Tapi, ma—" Hani yang tak mengindahkan tatapan Carla segera mengalihkan pembicaraan. "Wah, berarti tinggal peresmiannya ini. Bagaimana, jeng? Sudah siapkan?" Farah yang berada di seberang Hani menganggukkan kepalanya. "Kalau para ayahnya bagaimana nih?" "Sesuai perjanjian, kita bisa resmikan secepatnya. Bagaimana pak Dharma?" ujar Pak Adi yang tentunya dibalas senyuman dan anggukan mantap darinya. "Cari hari baiknya saja dari sekarang." Elsa dan Elvano terdiam mendengar ocehan kedua orangtuanya. Mereka masih belum paham apa yang tengah dibicarakan. Elvano sempat melirik sekilas pada Elsa yang duduk di sebelahnya. Senyum manis tercetak jelas di pipi merah muda itu. Melihat Elsa yang duduk seperti anak manis membuatnya ingin sekali mencubit pipinya. Gemas dan lucu. "Bagaimana? Kalian setuju kan?" pertanyaan Dharma, ayah Elvano membuyarkan lamunan pemuda tampan itu. Tanpa tahu apa yang tengah ditanyakan padanya, ia hanya mengangguk saja sedangkan Elsa malah melotot padanya. Wajahnya terlihat geram dengan jawaban Elvano. "Ish, kenapa malah setuju sih?" Elsa memukul lengan Elvano lalu mencubitnya. "Auw, ini sakit." Elvano meringis mengusap lengannya yang dicubit keras oleh Elsa. "Biarin. Rasain tuh! Makanya dengerin orang ngomong!" Elvano menoleh pada ayahnya yang hanya tersenyum lebar melihat interaksi antara keduanya. Tidak hanya ayahnya, keluarganya yang lain pun sama. Melihat keanehan itu Elvano pun memberanikan diri bertanya pada mereka. "Memang tadi ngomongin apa?" tanya Elvano dengan wajah polosnya. "Begini, menurut perjanjian kakek kalian di masa lalu, anak keluarga Wiguna dan Erlangga setidaknya ada satu yang menikah di masa depan. Nah, kebetulan diantara saudara ayah dan pak Adi tidak ada yang umurnya hampir sama seperti kalian berdua," ujar Dharma panjang lebar. Penjelasan ayahnya membuat Elvano mengerutkan dahi. "Maksudnya, Pa?" Elvano masih belum mengerti. Perjanjian menikah? Siapa yang akan menikah? "Kamu dan Elsa telah kami jodohkan. Dan rencananya, menjelang semester akhir kalian akan menikah." Farah tersenyum senang sambil menepuk tangannya. Begitupun dengan Hani. Mereka sudah tak sabar ingin mendapatkan menantu laki-laki di rumah ini. "Jeng, seneng banget ya jeng. Nanti kita bisa jalan-jalan bareng sama anak dan menantu," seru Farah yang diangguki oleh Fani. "T-tapi kita kan masih kecil, Ma. Aku sama Elvano malah belum lulus sekolah," protes Elsa. Tahun ini memang keduanya telah berumur 17 tahun. Tak masalah bagi keduanya menikah. Namun, Elsa merasa masih sangat muda jika harus memiliki keluarga sebelum waktu yang tepat. Elvano hanya mendengus kesal melihat tingkah laku kedua orangtuanya dan juga orangtua Elsa. Dirinya setuju dengan ucapan gadis manis di sebelahnya. Mereka masih kecil, belum waktunya untuk menikah muda. "Ma, please. Kita masih muda. Okelah kalau memang dijodohkan, tapi untuk menikah? Apa tidak seharusnya dipertimbangkan ke depannya?" kini giliran Elvano yang protes. Ia juga tidak mau jadi korban keegoisan orangtua mereka sendiri. Farah menggelengkan kepalanya. Tanda jika Ia tak menerima protes dari kedua anak muda itu. Sepertinya akan sulit untuk dibantah, mengingat reputasi keluarga dan juga koneksi mereka di luar sana. "Mama sudah urus semuanya. Kamu dan Elsa menikah secara agama terlebih dahulu baru mendaftar pernikahan setelah lulus. Ini hanya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau kamu tidak mau, tetap mama paksa," ujar Farah dengan ultimatumnya. "Ma..." "Begini loh nak Vano, supaya kalian tidak menyukai atau melewati batas dengan orang lain, ya kalian harus dinikahkan," tambah Hani sebagai penyulut kalimat api Farah. "Astaga..." Elvano menggaruk kepalanya. Ia bingung dengan pemikiran orang dewasa. Kalau memang mereka dijodohkan, sudah pasti tidak akan berselingkuh bukan? "Ma, Elsa masih mau kuliah kayak abang Aksa," rengek Elsa dengan bibir mengerucut. "Kamu tetap bisa kuliah. Tenang saja." Elsa masih mengerucut sebal lalu menoleh ke arah Elvano yang duduk tenang tak terpengaruh apapun. Sepertinya ia sudah pasrah akan nasibnya. "Vano, kamu setuju?" tanya Elsa meyakinkan pemuda di sebelahnya yang hanya diam. "Setuju lah," jawabnya sambil mendengus kesal. Diam-diam Elvano berbisik di telinga Elsa. "Siap-siap aja lo gue bully tiap malem," ancam Elvano. Setelahnya, Elvano mengedipkan matanya. Elsa bergidik ngeri. "Tapi Elsa mau ajukan satu hal yang harus dipenuhi oleh Vano," seru Elsa dengan suara lantang. "Apa itu, Elsa?" Elsa menoleh lagi pada Elvano yang menyunggingkan senyum misterius. Elsa kembali bergidik ngeri. "Elvano tidak boleh menyentuh Elsa sampai waktu yang tidak ditentukan." Elsa membusungkan dadanya. Ia menantang Elvano yang tadi telah mengintimidasinya. "Tapi kalau cium, boleh kan?" 'Uhuk uhuk' "Elvano! Ada anak kecil di sini. Put, jangan didengar ya." Farah mengusap punggung Putri yang tadi tersedak. Elsa melirik sadis lalu melengos. "Ogah!" Elvano menyeringai kecil. Gadis yang ditemuinya tadi pagi sepertinya bisa dijadikan tameng olehnya agar menghindar dari kejaran Maya selama bertahun-tahun. "Saya mau acaranya dipercepat, tante." Elvano menyeringai ke arah Elsa yang kini membelalakkan matanya. Elsa tahu, laki-laki itu sedang merencanakan sesuatu di kepalanya. "Ah, tante senang sekali. Kalau begitu, kita cari tanggal yang bagus buat harinya," sorak Hani gembira. "Bagaimana kalau menjelang libur semester. Kan ada waktu tuh untuk mempersiapkannya. Yah, walaupun hanya pesta kecil saja," usul Dharma yang diangguki oleh Adi Wiguna. "Yah, saya setuju. Nanti untuk peresmiannya menunggu mereka lulus sekolah," jawab Adi Wiguna. "Ditunggu tanggalnya, jeng Farah." "Tenang saja jeng Hani." Sementara itu, Elsa masih merasa kesal dengan laki-laki yang berada di sebelahnya. Dirinya tak bisa menolak, karena ini keinginan kakeknya. Dalam hatinya berkata, jangan-jangan Elvano sengaja menyetujui perjanjian itu agar bisa menjahilinya. 'Argghhh....'Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya. Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir."Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi."Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya."Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini har
Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly. "Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik
Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Elsa melangkah gontai masuk ke dalam kelas. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia pun duduk di kursinya dengan tangan yang masih gemetar, kepalanya tertunduk lesu menelungkup di atas meja. Ia ingin menangis tapi air matanya tak bisa terjatuh. Seperti ada yang menahannya. Bagas yang berdiri di depan kelas, mengamati Elsa lalu ikut masuk dan duduk di kursi depan Elsa. Tangannya terulur mengusap kepala Elsa dengan lembut. Lalu berbisik di telinganya. "Elsa, kenapa?" Elsa menggelengkan kepalanya. "Kalau ada masalah, beritahu aku." Elsa lagi-lagi menggeleng. Ia semakin menundukkan wajahnya lalu menjauh dari jangkauan Bagas. Ia malu, wajahnya merah karena menahan tangis. Bagas berdiri lalu berjalan mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ada roti isi dan susu yang biasa ia bawa untuk bekal. Harusnya dimakan saat pagi, tapi sengaja disisihkannya untuk Elsa. "Elsa, tadi kamu belum sempat makan. Ini aku bawa roti isi buatan mama. Dimakan ya," ujar Bagas sambil m
Pukul setengah sepuluh malam Elvano diam-diam keluar dari dalam rumahnya lewat pintu belakang. Setengah jam yang lalu dirinya telah memesan taksi online dan disuruhnya untuk menunggu di perempatan dekat gapura pintu masuk kompleks rumahnya.Tak sampai satu jam perjalanan, Elvano telah sampai di klub tempatnya mencari hiburan tiap ada panggilan. Hobinya yang mengutak-atik lagu membuatnya terkenal sebagai DJ profesional termuda di klub malam itu. Wajah tampannya jadi salah satu jimat Elvano untuk menarik pelanggan. "Woy, dateng juga lo. Hari ini main sebentar aja. Soalnya ada yang ulang tahun tuh," sapa Ray, teman Elvano yang memperkenalkannya pada dunia malam. "Main atau enggak nih? Sebenarnya lagi suntuk juga sih." Elvano memilih duduk di sofa paling ujung. Ia menggelengkan kepalanya saat ditawari minuman dan rokok. Cukup cola saja karena ia masih ingin hidup jika tak ingin dipukuli ibunya saat pulang dalam keadaan mabuk. "Terserah aja. Eh, Maya tadi nyariin lo. Doi kangen kayakny
Perjalanan berlangsung selama setengah jam. Mereka sampai di depan rumah mewah keluarga Wiguna yang ternyata telah menunggu di depan pintu rumahnya. Dharma terasa diistimewakan oleh si tuan rumah. Setahu dirinya, keluarga Wiguna jarang kedatangan tamu selain keluarganya apalagi disambut dengan hangat."Selamat datang pak Dharma. Silakan masuk." Adi Wiguna mengajak Dharma masuk ke dalam rumah lebih dulu. Diikuti oleh sang istri dan Hani serta anak-anaknya.Sesampainya di ruang makan, mereka duduk di tempat yang telah ditentukan. Tak lama kemudian seorang pria tampan tinggi besar datang membawa anak dan istrinya. Itu adalah Haris Wiguna, putra pertama Adi Wiguna yang telah menikah dan memiliki satu putri yang cantik."Selamat malam," sapa Haris sambil menyalami satu persatu tamu di ruang makan. "Wah, sudah kumpul semua. Maaf terlambat. Loh, Aksa dan Lita mana?" tanya Haris yang kebingungan mencari dua adiknya lagi."Biasa, lagi dandan. Aksa ada operasi katanya sekaligus diskusi sama dir
Elvano lelah. Ia baru saja pulang setelah melewati satu hari yang cukup sibuk di sekolah. Hari pertama di sekolah cukup membuatnya menguras energi. Menyebalkan tapi menyenangkan juga.Niat Elvano ingin segera merebahkan tubuhnya sejenak namun deringan telpon membuyarkan semuanya. Ia melirik sejenak. Tak lama kemudian ia mendecih tak suka tapi tetap saja ia menjawab panggilan tersebut."Ya, kenapa?" jawab Elvano ketus.Suara di seberang sana mendengus tak suka dengan jawaban yang diucapkan Elvano. Sejak lima bulan lalu, perangai pemuda itu tak pernah berubah. Selalu saja ketus dan berusaha menghindar.[Kenapa sih galak banget sama aku?]"Maya, aku lagi capek. Jangan ganggu aku dulu ya." Elvano mengusap wajahnya yang lelah. Sungguh, ia ingin segera tertidur agar nanti malam tak mengantuk saat bekerja.Banyak yang tak tahu apa yang dilakukan Elvano saat malam hari. Sudah lima bulan pemuda itu sering keluar masuk klub malam untuk bekerja sebagai DJ. Temannya yang juga anak seorang pengusa
Elsa masih kesal dengan peristiwa rebutan cilok di kantin tadi siang. Tidak disangka olehnya, Bagas yang dikira akan memberikan cilok itu untuknya malah memberikannya pada Serly. "Pasti dia seneng banget dikasih cilok sama Bagas. Dasar cewek genit," gerutu Elsa. Untuk mengurangi rasa kesalnya, ia memilih duduk di ruang musik selepas jam pelajaran terakhir selesai. Ia malas pulang terburu-buru, hari ini ayah dan ibunya sedang berada di luar rumah dan kakaknya pasti masih berada di tempat kerjanya. Lebih baik dirinya disini, di ruang musik ditemani alat musik kesayangannya. "Wah, ada gitar." mata Elsa berbinar-binar melihat seonggok gitar yang tergeletak di sudut ruangan. Ia mengambilnya dan duduk di sofa tengah sambil memeluknya. Sebuah lagu pun terdengar. Elsa memetik gitarnya dengan apik. Namun tiba-tiba semua berhenti. "Woy, balikin." seseorang berteriak dari balik pintu. Ia berlari ke arah Elsa lalu mengambil paksa gitar itu. "Ih, apa-apaan sih. Main ambil aja." Elsa menarik
Hari ini Elsa datang pagi seperti biasa setelah libur panjang kenaikan kelas. Aksa sebagai kakak yang baik bersemangat mengantar adik kesayangannya ke sekolah. Ini sebagai bukti jika dirinya sangat menyayanginya. Sebagai pria matang yang sukses, banyak sekali yang meliriknya saat ia turun dari mobil mewahnya. Pemandangan ini tak luput dari penglihatan Elsa sang adik. Gadis itu mendengus dengan lirikan tajam matanya menatap ke sekeliling halaman sekolah tempat mobil kakaknya terparkir."Kakak langsung pulang aja. Nanti di sini malah tebar pesona," kesal Elsa pada Aksa. Aksa tertawa. Sudah biasa dirinya mendapat lirikan tajam dari adiknya. Gadis itu mengusirnya sejak turun dari mobil tadi."Dijemput enggak?" Elsa menggelengkan kepalanya."Jemput saja deh. Nanti sore kita jalan ke toko buku. Kakak mau cari buku referensi." Elsa melambaikan tangannya hingga sosok kakaknya menghilang dari pagar sekolah. Elsa berjalan menunduk menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Entah hari ini har