Awal mula
Pagi itu, alarm Laura berbunyi keras sejak pukul enam, tapi tubuhnya tetap menolak untuk bangun. Matahari sudah tinggi saat ia akhirnya membuka mata dan melirik jam dinding. “Jam delapan? Astaga!” teriaknya panik. Dia langsung melompat dari tempat tidur, rambut masih berantakan, wajah belum sepenuhnya sadar. Dalam hitungan menit, dia memakai kemeja biru polos, rok kerja, dan menyematkan jarum peniti agar bajunya tetap rapi. Namun satu hal yang tidak bisa ia tinggalkan kopi. Tanpa secangkir kopi, Laura bisa berubah jadi monster pemarah seharian. Dengan langkah tergesa dan mata yang masih separuh terbuka, dia berjalan cepat ke minimarket kecil di bawah apartemennya. “Cuma butuh kopi. Cuma kopi dan semangat palsu,” gumamnya sambil mengambil segelas kopi dingin favoritnya dari rak pendingin. Saat ia berjalan menuju kasir, antrean sudah mengular. Dengan pasrah, ia berdiri paling belakang, tangannya memeluk segelas kopi seperti benda paling berharga di dunia. Di depan, seorang pria tampan dengan setelan kasual namun mahal tampak gelisah. Ia mengutak-atik dompetnya dengan panik. “Maaf, sepertinya kartu saya tertinggal,” gumam pria itu kepada kasir. Laura, yang sudah terburu waktu, maju ke depan tanpa pikir panjang. “Berapa?” tanyanya pada kasir. “Totalnya dua puluh delapan ribu, Mbak.” “Ini,” kata Laura, menyerahkan uang tunai dari dompetnya. “Anggap saja saya penyelamat pagimu.” Pria itu terkejut, “Tunggu, kamu...” Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Laura sudah berbalik dan berjalan cepat ke luar minimarket. Pria itu menatap punggungnya yang menjauh. Tak satu pun wanita pernah acuh seperti itu padanya. Dan entah mengapa, ia tersenyum. .... Hari ini benar-benar tidak berpihak pada Laura. Setelah terlambat bangun dan melewatkan jadwal bus, kini ia berdiri di depan halte, wajah kesal, dengan satu tangan mencoba mengangkat ponsel untuk memesan taksi online. “Kenapa sih susah banget?” gerutunya sambil menggigit bibir bawahnya. “Baterai mau habis, sinyal lambat, dan matahari panas banget... ya Tuhan, tolong kirimkan penyelamat untukku....” Ia sudah mengangkat tangan beberapa kali mencoba menghentikan taksi konvensional yang lewat, tapi tak satu pun yang berhenti. Saat ia hendak menyerah dan memilih kembali ke apartemen, sebuah mobil sedan hitam mengkilap berhenti tepat di hadapannya. Kaca jendela diturunkan, dan muncul wajah yang tak asing. “Nona,” sapa pria itu sambil tersenyum penuh percaya diri. “Anggap saja tumpangan ini balasan atas kebaikanmu di minimarket tadi.” Laura memicingkan mata. “Kamu...” “Pria yang lupa bawa kartu,” jawabnya santai. “David.” Laura menatapnya sejenak, ragu. “Kalau kau khawatir aku penculik, mobilku terlalu mahal untuk itu.” Laura mendesah. “Aku hanya sedang telat ke kantor dan sangat butuh tumpangan. Jadi, aku akan abaikan kata-kata sinismu kali ini.” David tertawa. “Silakan naik.” Dengan setengah pasrah, Laura membuka pintu dan duduk di kursi penumpang. Mobil mulai melaju. Suasana agak canggung. Laura sibuk melihat ke luar jendela, sementara David beberapa kali meliriknya dengan penasaran. “Namamu siapa?” tanya David akhirnya. “Laura,” jawabnya singkat. “Cocok,” kata David. “Cocok apa?” “Cocok jadi penyelamat pagi dan wanita misterius yang tidak suka basa-basi.” Laura menoleh cepat, mengangkat alis. “Aku tidak misterius. Aku hanya... terburu waktu.” David terkekeh. “Aku suka caramu bicara. Langsung, tajam, dan tidak bertele-tele.” “Kau juga bicara terlalu banyak untuk seseorang yang lupa bawa dompet.” “Touché,” jawab David sambil mengangkat tangannya menyerah. “Aku pantas.” Laura akhirnya tersenyum, meski hanya sedikit. “Terima kasih, Laura. Hari ini aku belajar dua hal.” “Apa itu?” “Satu, jangan pernah lupa bawa dompet.” Laura mengangguk setuju. “Itu penting.” “Kedua... bahwa tidak semua orang ingin mendapat imbalan saat membantu. Dan itu... menyegarkan.” Suara David terdengar lebih pelan kali ini. Ada sesuatu di matanya yang membuat Laura sejenak terpaku. Ia tidak tahu kenapa, tapi detik itu, sesuatu dalam hatinya bergetar. Sesampainya di depan kantor tempat Laura bekerja, mobil berhenti. “Terima kasih untuk tumpangannya,” ucap Laura, hendak membuka pintu. “Tunggu,” kata David. Ia mengambil kartu nama dari sakunya dan menyodorkannya. “Kalau suatu hari kau butuh tumpangan lagi, atau kopi gratis, atau ingin sekadar marah pada seseorang... kau bisa hubungi aku.” Laura menatap kartu itu sejenak. “David Jhonson...” gumamnya. “Nama belakangmu seperti nama keluarga kaya dari film.” David tertawa. “Aku akan anggap itu pujian.” Laura akhirnya mengambil kartu itu dan tersenyum tipis. “Baiklah, Tuan Jhonson. Sampai jumpa lagi... atau tidak akan pernah.” Dan dengan langkah ringan, dia turun dari mobil, meninggalkan David yang kini tersenyum sendiri di dalam mobil. Dia tidak tahu mengapa wanita itu membuatnya tertarik. Tapi satu hal yang pasti, seorang David Jhonson belum pernah bertemu wanita seperti Laura Thompson sebelumnya. "Hemmm... Wanita ini cukup menarik!" Ucapnya sambil tersenyum. ==== TBCLangit mendung siang itu menyatu dengan suasana hati David. Ia duduk sendiri di ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya hanya memperlihatkan kota yang tampak lesu oleh cuaca. Di tangannya, sebuah ponsel dengan layar masih menyala menampilkan pesan singkat yang baru saja ia terima dari Javier, teman lamanya semasa kuliah. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dihantam badai."Raymond akan bertunangan minggu depan. Wanitanya cantik sekali, anak pengusaha besar di London."David menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar samar-samar."Jadi dia benar-benar pergi..." bisiknya lirih.Tangannya yang memegang ponsel perlahan gemetar. Ingatannya perlahan mundur ke beberapa tahun lalu, saat ia masih menjadi mahasiswa semester akhir yang penuh semangat namun menyimpan satu rahasia besar, perasaannya pada sahabatnya sendiri, Raymond. ....3 Tahun Lalu"Bro, serius banget ngerja
Matahari pagi belum terlalu tinggi saat David sudah berdiri di depan minimarket dekat apartemennya. Dengan sengaja ia memilih waktu yang sama seperti saat pertama kali bertemu Laura. Ia berdiri di dekat rak minuman, tangannya memegang kaleng kopi dingin, namun pikirannya hanya fokus pada satu hal. Laura.Pintu minimarket terbuka. Dentingan lonceng kecil berbunyi. Dan seperti yang ia harapkan, Laura masuk dengan rambut setengah basah dan wajah mengantuk, mengenakan kemeja longgar dan jeans biru muda. David menoleh dan tersenyum kecil."Pagi," sapanya ringan.Laura terkejut, matanya membulat, lalu buru-buru membalas, "Oh… pagi juga.""Kita bertemu lagi. Sepertinya kamu memang penggemar kopi pagi di sini, ya?" goda David sambil mengangkat kaleng kopi di tangannya.Laura tertawa kecil. "Iya… bisa dibilang begitu. Kebiasaan buruk yang tak bisa kutinggalkan."David ikut tertawa. Ia senang karena Laura terlihat lebih santai. "Aku juga mulai ketagihan kopi dari sini sejak seseorang pernah mem
Malam itu, langit kota dipenuhi bintang yang malu-malu bersinar di antara lampu-lampu gedung pencakar langit. Laura berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun biru navy yang membalut tubuhnya dengan anggun. Gaun itu bukan miliknya, David yang memberikannya pagi tadi lewat jasa kurir, lengkap dengan sepucuk catatan kecil bertuliskan:“Sampai jumpa malam ini. Aku ingin malam ini jadi kenangan indah pertama untuk kita.”Laura sempat tertawa geli membaca pesan itu, tapi detak jantungnya berdetak lebih cepat sejak saat itu. Dua minggu, mereka baru saling mengenal selama dua minggu. Tapi entah mengapa, kehadiran David mampu membuat hari-harinya terasa berbeda.Ketika mobil hitam berhenti tepat di depan apartemennya dan David turun membukakan pintu, Laura tak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu tampak luar biasa malam ini, mengenakan jas hitam dengan dasi tipis, rambutnya ditata rapi, dan aroma parfum maskulin yang samar tercium saat ia membungkuk kecil.“Kamu cantik sekali malam
Satu minggu berlalu begitu cepat.Laura masih ingat hari-hari selama tujuh hari terakhir bersama David, penuh kejutan-kejutan kecil yang seolah dirancang khusus untuk membuatnya jatuh cinta. Mulai dari secangkir kopi hangat yang secara “kebetulan” dititipkan oleh petugas lobi apartemennya dengan nama David, hingga momen-momen sederhana seperti naik bus dan jalan kaki pulang kantor bersama, bercanda di taman sambil makan es krim, dan menatap langit malam dari balkon apartemen masing-masing sambil menelepon. Setiap detik kebersamaan mereka terasa ringan… tapi menyentuh hati.Dan kini, di hari ke tujuh, tepat satu minggu setelah Laura meminta waktu untuk berpikir, David mengajaknya makan malam kembali. Kali ini mereka tidak pergi ke restoran rooftop seperti sebelumnya, melainkan sebuah restoran kecil dengan nuansa taman rahasia yang romantis, tersembunyi di dalam hotel butik mewah di pinggiran kota.Ketika Laura tiba di tempat itu, ia mendapati suasana seperti mimpi. Taman kecil itu dipe
Beberapa hari telah berlalu sejak lamaran romantis David kepada Laura. Cincin berlian sederhana di jari manis Laura kini menjadi pengingat manis bahwa kehidupannya akan segera berubah. Tiap pagi yang ia lalui terasa berbeda, lebih bersemangat, lebih penuh warna. Tidak hanya karena status barunya sebagai tunangan David, tapi juga karena perhatian dan kasih sayang yang terus mengalir tanpa henti dari pria itu. Pagi itu, David datang membawakan sarapan, mereka duduk berdua di balkon apartemen Laura, menikmati sarapan sambil memandangi langit cerah "Kamu terlihat bahagia sekali pagi ini," kata David sambil menatap Laura yang duduk bersandar dengan wajah berseri. "Karena memang aku bahagia," jawab Laura jujur. "Mungkin karena kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat hari hariku istimewa." David tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan Laura. "Kalau begitu… aku ingin membuat langkah selanjutnya." "Langkah apa?" t
Hujan deras mengetuk jendela kamar, menciptakan irama yang menyakitkan di telinga Laura. Malam yang seharusnya menjadi malam paling bahagia dalam hidupnya, berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya udara malam, tetapi karena perasaan kosong yang menggerogoti hatinya.Gaun putih yang masih melekat di tubuhnya kini berantakan. Rambutnya kusut, wajahnya pucat dengan sisa air mata yang tak kunjung kering. Di sudut kamar pengantin yang gelap, Laura duduk memeluk lutut, memandangi pintu kamar yang sejak tadi tidak pernah terbuka.David...Nama itu kini terasa seperti pisau yang menghujam jantungnya.Dia pergi.Tanpa penjelasan. Tanpa kata maaf.Laura menelan napasnya dengan susah payah, dada terasa sesak. Ia ingat betapa dalamnya ia mencintai pria itu, betapa berharapnya cinta permanya menjadi cinta terakhirnya. David selalu terlihat sempurna, penuh kasih sayang sebelum mereka menikah. Dia pria yang selalu membuat Laura merasa dicin
Beberapa hari telah berlalu sejak lamaran romantis David kepada Laura. Cincin berlian sederhana di jari manis Laura kini menjadi pengingat manis bahwa kehidupannya akan segera berubah. Tiap pagi yang ia lalui terasa berbeda, lebih bersemangat, lebih penuh warna. Tidak hanya karena status barunya sebagai tunangan David, tapi juga karena perhatian dan kasih sayang yang terus mengalir tanpa henti dari pria itu. Pagi itu, David datang membawakan sarapan, mereka duduk berdua di balkon apartemen Laura, menikmati sarapan sambil memandangi langit cerah "Kamu terlihat bahagia sekali pagi ini," kata David sambil menatap Laura yang duduk bersandar dengan wajah berseri. "Karena memang aku bahagia," jawab Laura jujur. "Mungkin karena kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat hari hariku istimewa." David tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan Laura. "Kalau begitu… aku ingin membuat langkah selanjutnya." "Langkah apa?" t
Satu minggu berlalu begitu cepat.Laura masih ingat hari-hari selama tujuh hari terakhir bersama David, penuh kejutan-kejutan kecil yang seolah dirancang khusus untuk membuatnya jatuh cinta. Mulai dari secangkir kopi hangat yang secara “kebetulan” dititipkan oleh petugas lobi apartemennya dengan nama David, hingga momen-momen sederhana seperti naik bus dan jalan kaki pulang kantor bersama, bercanda di taman sambil makan es krim, dan menatap langit malam dari balkon apartemen masing-masing sambil menelepon. Setiap detik kebersamaan mereka terasa ringan… tapi menyentuh hati.Dan kini, di hari ke tujuh, tepat satu minggu setelah Laura meminta waktu untuk berpikir, David mengajaknya makan malam kembali. Kali ini mereka tidak pergi ke restoran rooftop seperti sebelumnya, melainkan sebuah restoran kecil dengan nuansa taman rahasia yang romantis, tersembunyi di dalam hotel butik mewah di pinggiran kota.Ketika Laura tiba di tempat itu, ia mendapati suasana seperti mimpi. Taman kecil itu dipe
Malam itu, langit kota dipenuhi bintang yang malu-malu bersinar di antara lampu-lampu gedung pencakar langit. Laura berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun biru navy yang membalut tubuhnya dengan anggun. Gaun itu bukan miliknya, David yang memberikannya pagi tadi lewat jasa kurir, lengkap dengan sepucuk catatan kecil bertuliskan:“Sampai jumpa malam ini. Aku ingin malam ini jadi kenangan indah pertama untuk kita.”Laura sempat tertawa geli membaca pesan itu, tapi detak jantungnya berdetak lebih cepat sejak saat itu. Dua minggu, mereka baru saling mengenal selama dua minggu. Tapi entah mengapa, kehadiran David mampu membuat hari-harinya terasa berbeda.Ketika mobil hitam berhenti tepat di depan apartemennya dan David turun membukakan pintu, Laura tak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu tampak luar biasa malam ini, mengenakan jas hitam dengan dasi tipis, rambutnya ditata rapi, dan aroma parfum maskulin yang samar tercium saat ia membungkuk kecil.“Kamu cantik sekali malam
Matahari pagi belum terlalu tinggi saat David sudah berdiri di depan minimarket dekat apartemennya. Dengan sengaja ia memilih waktu yang sama seperti saat pertama kali bertemu Laura. Ia berdiri di dekat rak minuman, tangannya memegang kaleng kopi dingin, namun pikirannya hanya fokus pada satu hal. Laura.Pintu minimarket terbuka. Dentingan lonceng kecil berbunyi. Dan seperti yang ia harapkan, Laura masuk dengan rambut setengah basah dan wajah mengantuk, mengenakan kemeja longgar dan jeans biru muda. David menoleh dan tersenyum kecil."Pagi," sapanya ringan.Laura terkejut, matanya membulat, lalu buru-buru membalas, "Oh… pagi juga.""Kita bertemu lagi. Sepertinya kamu memang penggemar kopi pagi di sini, ya?" goda David sambil mengangkat kaleng kopi di tangannya.Laura tertawa kecil. "Iya… bisa dibilang begitu. Kebiasaan buruk yang tak bisa kutinggalkan."David ikut tertawa. Ia senang karena Laura terlihat lebih santai. "Aku juga mulai ketagihan kopi dari sini sejak seseorang pernah mem
Langit mendung siang itu menyatu dengan suasana hati David. Ia duduk sendiri di ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya hanya memperlihatkan kota yang tampak lesu oleh cuaca. Di tangannya, sebuah ponsel dengan layar masih menyala menampilkan pesan singkat yang baru saja ia terima dari Javier, teman lamanya semasa kuliah. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dihantam badai."Raymond akan bertunangan minggu depan. Wanitanya cantik sekali, anak pengusaha besar di London."David menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar samar-samar."Jadi dia benar-benar pergi..." bisiknya lirih.Tangannya yang memegang ponsel perlahan gemetar. Ingatannya perlahan mundur ke beberapa tahun lalu, saat ia masih menjadi mahasiswa semester akhir yang penuh semangat namun menyimpan satu rahasia besar, perasaannya pada sahabatnya sendiri, Raymond. ....3 Tahun Lalu"Bro, serius banget ngerja
Awal mulaPagi itu, alarm Laura berbunyi keras sejak pukul enam, tapi tubuhnya tetap menolak untuk bangun. Matahari sudah tinggi saat ia akhirnya membuka mata dan melirik jam dinding.“Jam delapan? Astaga!” teriaknya panik.Dia langsung melompat dari tempat tidur, rambut masih berantakan, wajah belum sepenuhnya sadar. Dalam hitungan menit, dia memakai kemeja biru polos, rok kerja, dan menyematkan jarum peniti agar bajunya tetap rapi.Namun satu hal yang tidak bisa ia tinggalkan kopi. Tanpa secangkir kopi, Laura bisa berubah jadi monster pemarah seharian.Dengan langkah tergesa dan mata yang masih separuh terbuka, dia berjalan cepat ke minimarket kecil di bawah apartemennya.“Cuma butuh kopi. Cuma kopi dan semangat palsu,” gumamnya sambil mengambil segelas kopi dingin favoritnya dari rak pendingin.Saat ia berjalan menuju kasir, antrean sudah mengular. Dengan pasrah, ia berdiri paling belakang, tangannya memeluk segelas kopi seperti benda paling berharga di dunia.Di depan, seorang pri
Hujan deras mengetuk jendela kamar, menciptakan irama yang menyakitkan di telinga Laura. Malam yang seharusnya menjadi malam paling bahagia dalam hidupnya, berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya udara malam, tetapi karena perasaan kosong yang menggerogoti hatinya.Gaun putih yang masih melekat di tubuhnya kini berantakan. Rambutnya kusut, wajahnya pucat dengan sisa air mata yang tak kunjung kering. Di sudut kamar pengantin yang gelap, Laura duduk memeluk lutut, memandangi pintu kamar yang sejak tadi tidak pernah terbuka.David...Nama itu kini terasa seperti pisau yang menghujam jantungnya.Dia pergi.Tanpa penjelasan. Tanpa kata maaf.Laura menelan napasnya dengan susah payah, dada terasa sesak. Ia ingat betapa dalamnya ia mencintai pria itu, betapa berharapnya cinta permanya menjadi cinta terakhirnya. David selalu terlihat sempurna, penuh kasih sayang sebelum mereka menikah. Dia pria yang selalu membuat Laura merasa dicin