Satu minggu berlalu begitu cepat.
Laura masih ingat hari-hari selama tujuh hari terakhir bersama David, penuh kejutan-kejutan kecil yang seolah dirancang khusus untuk membuatnya jatuh cinta. Mulai dari secangkir kopi hangat yang secara “kebetulan” dititipkan oleh petugas lobi apartemennya dengan nama David, hingga momen-momen sederhana seperti naik bus dan jalan kaki pulang kantor bersama, bercanda di taman sambil makan es krim, dan menatap langit malam dari balkon apartemen masing-masing sambil menelepon. Setiap detik kebersamaan mereka terasa ringan… tapi menyentuh hati. Dan kini, di hari ke tujuh, tepat satu minggu setelah Laura meminta waktu untuk berpikir, David mengajaknya makan malam kembali. Kali ini mereka tidak pergi ke restoran rooftop seperti sebelumnya, melainkan sebuah restoran kecil dengan nuansa taman rahasia yang romantis, tersembunyi di dalam hotel butik mewah di pinggiran kota. Ketika Laura tiba di tempat itu, ia mendapati suasana seperti mimpi. Taman kecil itu dipenuhi dengan lampu-lampu gantung yang berkelap-kelip, meja makan hanya satu, dihias dengan bunga lily putih, bunga favoritnya. Laura melangkah perlahan, tertegun. Kemudian, dari balik dinding tanaman merambat, muncullah David, mengenakan jas abu lembut dan tersenyum hangat. "Hai, Laura..." sapa David sambil mendekat, menatap Laura dengan mata teduhnya. "Kamu terlihat luar biasa malam ini. Bagaimana apa kau suka tempat ini?" "David… tempat ini… luar biasa, iya aku sangat suka." ucap Laura sambil melirik sekeliling dengan takjub. "Aku ingin malam ini menjadi malam yang tak terlupakan." ucap David penuh misteri. David lalu menarik kursi untuk Laura dan mereka pun duduk, menikmati makan malam dengan penuh kehangatan. Obrolan mereka mengalir alami. Tawa Laura yang ringan dan lembut membuat jantung David berdetak lebih cepat. Ia tahu, malam ini harus menjadi awal segalanya. Saat dessert dihidangkan, sebuah cake cokelat kecil yang dihiasi dengan buah stroberi segar. David berdiri dari tempat duduknya. Laura mengangkat kepala, sedikit heran. "David? apa yang kau lakukan?" David menarik napas panjang, lalu mengambil kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Laura mulai menyadari sesuatu. Jantungnya berdebar tak menentu. David berlutut di hadapan Laura. Lampu-lampu kecil seolah meredup, menyisakan cahaya hangat yang menerangi wajah pria itu. Di belakang, musik violin mulai mengalun pelan, menyentuh relung-relung hati. "Laura Thompson," ucap David dengan suara bergetar, namun matanya menatap lurus penuh keteguhan. "Satu minggu ini adalah waktu terbaik dalam hidupku. Tapi bukan waktunya yang membuatku yakin… melainkan kamu." Laura tertegun, matanya membelalak tak percaya. "David… kau… kau melamarku?" David tersenyum lembut, membuka kotak hitam itu, menampilkan sebuah cincin berlian sederhana namun elegan. "Wanita cantik dan baik hati sepertimu sangat sulit ditemui. Semakin aku menghabiskan waktu bersamamu, semakin aku yakin tentang perasaan cintaku. Aku ingin bangun di sisimu setiap pagi, tertawa bersamamu setiap malam, dan melewati sisa hidupku bersamamu." David terdiam sejenak dan menghembuskan nafasnya perlahan. Dia berusaha untuk menetralkan debaran jantungnya yang berdegup kencang. "Laura Thompson, Maukah kamu menikah denganku, David Jhonson?" Laura menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berkaca-kaca. Hatinya penuh gejolak. Katahkata lamaran yang meluncur begitu saja dari mulut David membuat hati Laura berdegup kencang seperti habis lari maraton. Seminggu lalu ia bahkan belum yakin tentang arah hatinya. Tapi selama tujuh hari ini, sikap David… cara dia mendengarkan, caranya menghargai Laura tanpa memaksa, dan ketulusan yang terlihat jelas di matanya, semuanya menembus pertahanan hati Laura yang selama ini dibangun tinggi. Laura menarik napas dalam, menatap mata pria itu. Mata yang sebelumnya menyimpan luka, kini bersinar penuh harap. "David," ucap Laura lembut, nadanya gemetar. "Aku masih ingat bagaimana terkejutnya aku saat kau menyatakan cintamu minggu lalu. Aku masih belum percaya kita sampai sejauh ini hanya dalam waktu singkat." David menunduk sejenak, menanti penuh harap. Laura yang kembali tersadar dari keterkejutannya, berkata dengan malu-malu. "Tapi hari-hari bersamamu membuatku merasa… aku tidak harus menunggu bertahun-tahun untuk mengenal cinta." Setelah menyelesaikan kata-katanya. Kemudian Laura mengangguk. "Iya, David. Aku bersedia menikah denganmu." Seketika senyum lebar terukir di wajah David. Ia menyematkan cincin di jari manis Laura, lalu berdiri, menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang penuh rasa lega dan bahagia. Laura memejamkan mata, membenamkan wajahnya di dada David, mendengarkan degup jantung pria itu yang berirama cepat. "Aku tak menyangka kamu akan setuju secepat ini," bisik David, masih dalam pelukan. "Aku juga tidak menyangka aku akan merasa setenang ini saat mengatakan iya," balas Laura pelan. David kemudian menatap wajah Laura, menyentuh pipinya dengan lembut. "Bolehkah aku… mencium tunanganku?" Laura tertawa pelan, matanya masih berembun. "Sangat boleh." Dan ciuman itu terjadi di bawah taburan lampu kecil, dengan saksi malam dan bintang yang menyaksikan cinta dua hati yang akhirnya menyatu. Ciuman yang hangat, lembut, dan penuh perasaan. Mereka lalu berdansa pelan di tengah taman, diiringi alunan violin dan suara alam malam. ... Beberapa saat kemudian, ketika mereka duduk berdampingan di bangku taman kecil, tangan mereka saling menggenggam erat, Laura bertanya pelan, "David… bisakah aku tahu… kenapa kamu begitu yakin untuk melamarku secepat ini?" David terdiam sejenak, lalu menoleh padanya. "Karena aku tahu seperti apa rasanya mencintai seseorang tapi tidak pernah bisa memilikinya. Dulu… aku pernah mencintai seseorang. Tapi dia tidak membalas perasaanku. Aku kehilangan dia tanpa pernah sempat benar-benar mengatakan apa yang kuinginkan." Laura memandang David dengan tatapan lembut. "Apakah kamu masih mencintainya?" David menggeleng pelan. "Aku tidak tahu apakah rasa itu masih cinta, atau hanya luka lama yang belum sembuh. Tapi yang pasti… saat aku melihatmu, aku merasa diberi kesempatan kedua. Kesempatan untuk mencintai tanpa takut kehilangan lagi." Laura mengangguk. "Dan aku akan menjaga kesempatan itu dengan sepenuh hatiku." David mencium punggung tangan Laura dengan lembut. "Terima kasih karena percaya padaku." "Terima kasih karena kamu sabar menungguku." ucap Laura sambil tersenyum manis. "Semoga aku bisa lebih cepat lagi mencintaimu dengan tulus." batin David, masih dengan ekspresi tersenyum. ===== TBCBeberapa hari telah berlalu sejak lamaran romantis David kepada Laura. Cincin berlian sederhana di jari manis Laura kini menjadi pengingat manis bahwa kehidupannya akan segera berubah. Tiap pagi yang ia lalui terasa berbeda, lebih bersemangat, lebih penuh warna. Tidak hanya karena status barunya sebagai tunangan David, tapi juga karena perhatian dan kasih sayang yang terus mengalir tanpa henti dari pria itu. Pagi itu, David datang membawakan sarapan, mereka duduk berdua di balkon apartemen Laura, menikmati sarapan sambil memandangi langit cerah "Kamu terlihat bahagia sekali pagi ini," kata David sambil menatap Laura yang duduk bersandar dengan wajah berseri. "Karena memang aku bahagia," jawab Laura jujur. "Mungkin karena kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat hari hariku istimewa." David tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan Laura. "Kalau begitu… aku ingin membuat langkah selanjutnya." "Langkah apa?" t
Hujan deras mengetuk jendela kamar, menciptakan irama yang menyakitkan di telinga Laura. Malam yang seharusnya menjadi malam paling bahagia dalam hidupnya, berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya udara malam, tetapi karena perasaan kosong yang menggerogoti hatinya.Gaun putih yang masih melekat di tubuhnya kini berantakan. Rambutnya kusut, wajahnya pucat dengan sisa air mata yang tak kunjung kering. Di sudut kamar pengantin yang gelap, Laura duduk memeluk lutut, memandangi pintu kamar yang sejak tadi tidak pernah terbuka.David...Nama itu kini terasa seperti pisau yang menghujam jantungnya.Dia pergi.Tanpa penjelasan. Tanpa kata maaf.Laura menelan napasnya dengan susah payah, dada terasa sesak. Ia ingat betapa dalamnya ia mencintai pria itu, betapa berharapnya cinta permanya menjadi cinta terakhirnya. David selalu terlihat sempurna, penuh kasih sayang sebelum mereka menikah. Dia pria yang selalu membuat Laura merasa dicin
Awal mulaPagi itu, alarm Laura berbunyi keras sejak pukul enam, tapi tubuhnya tetap menolak untuk bangun. Matahari sudah tinggi saat ia akhirnya membuka mata dan melirik jam dinding.“Jam delapan? Astaga!” teriaknya panik.Dia langsung melompat dari tempat tidur, rambut masih berantakan, wajah belum sepenuhnya sadar. Dalam hitungan menit, dia memakai kemeja biru polos, rok kerja, dan menyematkan jarum peniti agar bajunya tetap rapi.Namun satu hal yang tidak bisa ia tinggalkan kopi. Tanpa secangkir kopi, Laura bisa berubah jadi monster pemarah seharian.Dengan langkah tergesa dan mata yang masih separuh terbuka, dia berjalan cepat ke minimarket kecil di bawah apartemennya.“Cuma butuh kopi. Cuma kopi dan semangat palsu,” gumamnya sambil mengambil segelas kopi dingin favoritnya dari rak pendingin.Saat ia berjalan menuju kasir, antrean sudah mengular. Dengan pasrah, ia berdiri paling belakang, tangannya memeluk segelas kopi seperti benda paling berharga di dunia.Di depan, seorang pri
Langit mendung siang itu menyatu dengan suasana hati David. Ia duduk sendiri di ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya hanya memperlihatkan kota yang tampak lesu oleh cuaca. Di tangannya, sebuah ponsel dengan layar masih menyala menampilkan pesan singkat yang baru saja ia terima dari Javier, teman lamanya semasa kuliah. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dihantam badai."Raymond akan bertunangan minggu depan. Wanitanya cantik sekali, anak pengusaha besar di London."David menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar samar-samar."Jadi dia benar-benar pergi..." bisiknya lirih.Tangannya yang memegang ponsel perlahan gemetar. Ingatannya perlahan mundur ke beberapa tahun lalu, saat ia masih menjadi mahasiswa semester akhir yang penuh semangat namun menyimpan satu rahasia besar, perasaannya pada sahabatnya sendiri, Raymond. ....3 Tahun Lalu"Bro, serius banget ngerja
Matahari pagi belum terlalu tinggi saat David sudah berdiri di depan minimarket dekat apartemennya. Dengan sengaja ia memilih waktu yang sama seperti saat pertama kali bertemu Laura. Ia berdiri di dekat rak minuman, tangannya memegang kaleng kopi dingin, namun pikirannya hanya fokus pada satu hal. Laura.Pintu minimarket terbuka. Dentingan lonceng kecil berbunyi. Dan seperti yang ia harapkan, Laura masuk dengan rambut setengah basah dan wajah mengantuk, mengenakan kemeja longgar dan jeans biru muda. David menoleh dan tersenyum kecil."Pagi," sapanya ringan.Laura terkejut, matanya membulat, lalu buru-buru membalas, "Oh… pagi juga.""Kita bertemu lagi. Sepertinya kamu memang penggemar kopi pagi di sini, ya?" goda David sambil mengangkat kaleng kopi di tangannya.Laura tertawa kecil. "Iya… bisa dibilang begitu. Kebiasaan buruk yang tak bisa kutinggalkan."David ikut tertawa. Ia senang karena Laura terlihat lebih santai. "Aku juga mulai ketagihan kopi dari sini sejak seseorang pernah mem
Malam itu, langit kota dipenuhi bintang yang malu-malu bersinar di antara lampu-lampu gedung pencakar langit. Laura berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun biru navy yang membalut tubuhnya dengan anggun. Gaun itu bukan miliknya, David yang memberikannya pagi tadi lewat jasa kurir, lengkap dengan sepucuk catatan kecil bertuliskan:“Sampai jumpa malam ini. Aku ingin malam ini jadi kenangan indah pertama untuk kita.”Laura sempat tertawa geli membaca pesan itu, tapi detak jantungnya berdetak lebih cepat sejak saat itu. Dua minggu, mereka baru saling mengenal selama dua minggu. Tapi entah mengapa, kehadiran David mampu membuat hari-harinya terasa berbeda.Ketika mobil hitam berhenti tepat di depan apartemennya dan David turun membukakan pintu, Laura tak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu tampak luar biasa malam ini, mengenakan jas hitam dengan dasi tipis, rambutnya ditata rapi, dan aroma parfum maskulin yang samar tercium saat ia membungkuk kecil.“Kamu cantik sekali malam
Beberapa hari telah berlalu sejak lamaran romantis David kepada Laura. Cincin berlian sederhana di jari manis Laura kini menjadi pengingat manis bahwa kehidupannya akan segera berubah. Tiap pagi yang ia lalui terasa berbeda, lebih bersemangat, lebih penuh warna. Tidak hanya karena status barunya sebagai tunangan David, tapi juga karena perhatian dan kasih sayang yang terus mengalir tanpa henti dari pria itu. Pagi itu, David datang membawakan sarapan, mereka duduk berdua di balkon apartemen Laura, menikmati sarapan sambil memandangi langit cerah "Kamu terlihat bahagia sekali pagi ini," kata David sambil menatap Laura yang duduk bersandar dengan wajah berseri. "Karena memang aku bahagia," jawab Laura jujur. "Mungkin karena kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat hari hariku istimewa." David tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan Laura. "Kalau begitu… aku ingin membuat langkah selanjutnya." "Langkah apa?" t
Satu minggu berlalu begitu cepat.Laura masih ingat hari-hari selama tujuh hari terakhir bersama David, penuh kejutan-kejutan kecil yang seolah dirancang khusus untuk membuatnya jatuh cinta. Mulai dari secangkir kopi hangat yang secara “kebetulan” dititipkan oleh petugas lobi apartemennya dengan nama David, hingga momen-momen sederhana seperti naik bus dan jalan kaki pulang kantor bersama, bercanda di taman sambil makan es krim, dan menatap langit malam dari balkon apartemen masing-masing sambil menelepon. Setiap detik kebersamaan mereka terasa ringan… tapi menyentuh hati.Dan kini, di hari ke tujuh, tepat satu minggu setelah Laura meminta waktu untuk berpikir, David mengajaknya makan malam kembali. Kali ini mereka tidak pergi ke restoran rooftop seperti sebelumnya, melainkan sebuah restoran kecil dengan nuansa taman rahasia yang romantis, tersembunyi di dalam hotel butik mewah di pinggiran kota.Ketika Laura tiba di tempat itu, ia mendapati suasana seperti mimpi. Taman kecil itu dipe
Malam itu, langit kota dipenuhi bintang yang malu-malu bersinar di antara lampu-lampu gedung pencakar langit. Laura berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun biru navy yang membalut tubuhnya dengan anggun. Gaun itu bukan miliknya, David yang memberikannya pagi tadi lewat jasa kurir, lengkap dengan sepucuk catatan kecil bertuliskan:“Sampai jumpa malam ini. Aku ingin malam ini jadi kenangan indah pertama untuk kita.”Laura sempat tertawa geli membaca pesan itu, tapi detak jantungnya berdetak lebih cepat sejak saat itu. Dua minggu, mereka baru saling mengenal selama dua minggu. Tapi entah mengapa, kehadiran David mampu membuat hari-harinya terasa berbeda.Ketika mobil hitam berhenti tepat di depan apartemennya dan David turun membukakan pintu, Laura tak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu tampak luar biasa malam ini, mengenakan jas hitam dengan dasi tipis, rambutnya ditata rapi, dan aroma parfum maskulin yang samar tercium saat ia membungkuk kecil.“Kamu cantik sekali malam
Matahari pagi belum terlalu tinggi saat David sudah berdiri di depan minimarket dekat apartemennya. Dengan sengaja ia memilih waktu yang sama seperti saat pertama kali bertemu Laura. Ia berdiri di dekat rak minuman, tangannya memegang kaleng kopi dingin, namun pikirannya hanya fokus pada satu hal. Laura.Pintu minimarket terbuka. Dentingan lonceng kecil berbunyi. Dan seperti yang ia harapkan, Laura masuk dengan rambut setengah basah dan wajah mengantuk, mengenakan kemeja longgar dan jeans biru muda. David menoleh dan tersenyum kecil."Pagi," sapanya ringan.Laura terkejut, matanya membulat, lalu buru-buru membalas, "Oh… pagi juga.""Kita bertemu lagi. Sepertinya kamu memang penggemar kopi pagi di sini, ya?" goda David sambil mengangkat kaleng kopi di tangannya.Laura tertawa kecil. "Iya… bisa dibilang begitu. Kebiasaan buruk yang tak bisa kutinggalkan."David ikut tertawa. Ia senang karena Laura terlihat lebih santai. "Aku juga mulai ketagihan kopi dari sini sejak seseorang pernah mem
Langit mendung siang itu menyatu dengan suasana hati David. Ia duduk sendiri di ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya hanya memperlihatkan kota yang tampak lesu oleh cuaca. Di tangannya, sebuah ponsel dengan layar masih menyala menampilkan pesan singkat yang baru saja ia terima dari Javier, teman lamanya semasa kuliah. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya terasa seperti dihantam badai."Raymond akan bertunangan minggu depan. Wanitanya cantik sekali, anak pengusaha besar di London."David menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar samar-samar."Jadi dia benar-benar pergi..." bisiknya lirih.Tangannya yang memegang ponsel perlahan gemetar. Ingatannya perlahan mundur ke beberapa tahun lalu, saat ia masih menjadi mahasiswa semester akhir yang penuh semangat namun menyimpan satu rahasia besar, perasaannya pada sahabatnya sendiri, Raymond. ....3 Tahun Lalu"Bro, serius banget ngerja
Awal mulaPagi itu, alarm Laura berbunyi keras sejak pukul enam, tapi tubuhnya tetap menolak untuk bangun. Matahari sudah tinggi saat ia akhirnya membuka mata dan melirik jam dinding.“Jam delapan? Astaga!” teriaknya panik.Dia langsung melompat dari tempat tidur, rambut masih berantakan, wajah belum sepenuhnya sadar. Dalam hitungan menit, dia memakai kemeja biru polos, rok kerja, dan menyematkan jarum peniti agar bajunya tetap rapi.Namun satu hal yang tidak bisa ia tinggalkan kopi. Tanpa secangkir kopi, Laura bisa berubah jadi monster pemarah seharian.Dengan langkah tergesa dan mata yang masih separuh terbuka, dia berjalan cepat ke minimarket kecil di bawah apartemennya.“Cuma butuh kopi. Cuma kopi dan semangat palsu,” gumamnya sambil mengambil segelas kopi dingin favoritnya dari rak pendingin.Saat ia berjalan menuju kasir, antrean sudah mengular. Dengan pasrah, ia berdiri paling belakang, tangannya memeluk segelas kopi seperti benda paling berharga di dunia.Di depan, seorang pri
Hujan deras mengetuk jendela kamar, menciptakan irama yang menyakitkan di telinga Laura. Malam yang seharusnya menjadi malam paling bahagia dalam hidupnya, berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan. Tubuhnya menggigil, bukan karena dinginnya udara malam, tetapi karena perasaan kosong yang menggerogoti hatinya.Gaun putih yang masih melekat di tubuhnya kini berantakan. Rambutnya kusut, wajahnya pucat dengan sisa air mata yang tak kunjung kering. Di sudut kamar pengantin yang gelap, Laura duduk memeluk lutut, memandangi pintu kamar yang sejak tadi tidak pernah terbuka.David...Nama itu kini terasa seperti pisau yang menghujam jantungnya.Dia pergi.Tanpa penjelasan. Tanpa kata maaf.Laura menelan napasnya dengan susah payah, dada terasa sesak. Ia ingat betapa dalamnya ia mencintai pria itu, betapa berharapnya cinta permanya menjadi cinta terakhirnya. David selalu terlihat sempurna, penuh kasih sayang sebelum mereka menikah. Dia pria yang selalu membuat Laura merasa dicin