Pertemuan yang Terasa Takdir

Matahari pagi belum terlalu tinggi saat David sudah berdiri di depan minimarket dekat apartemennya. Dengan sengaja ia memilih waktu yang sama seperti saat pertama kali bertemu Laura. Ia berdiri di dekat rak minuman, tangannya memegang kaleng kopi dingin, namun pikirannya hanya fokus pada satu hal. Laura.

Pintu minimarket terbuka. Dentingan lonceng kecil berbunyi. Dan seperti yang ia harapkan, Laura masuk dengan rambut setengah basah dan wajah mengantuk, mengenakan kemeja longgar dan jeans biru muda. David menoleh dan tersenyum kecil.

"Pagi," sapanya ringan.

Laura terkejut, matanya membulat, lalu buru-buru membalas, "Oh… pagi juga."

"Kita bertemu lagi. Sepertinya kamu memang penggemar kopi pagi di sini, ya?" goda David sambil mengangkat kaleng kopi di tangannya.

Laura tertawa kecil. "Iya… bisa dibilang begitu. Kebiasaan buruk yang tak bisa kutinggalkan."

David ikut tertawa. Ia senang karena Laura terlihat lebih santai. "Aku juga mulai ketagihan kopi dari sini sejak seseorang pernah membayarkannya untukku," ucap David, menyelipkan senyuman.

Laura menunduk malu. "Itu… hanya reflek. Kamu terlihat buru-buru."

"Dan kamu terlihat sangat misterius waktu itu. Pergi bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih," balas David sambil mengarahkan langkah ke kasir.

Laura mengikuti dari belakang. Saat keduanya keluar dari minimarket, suasana terasa lebih hangat meski pagi masih cukup dingin.

"Mau bareng? Kita kayaknya searah ke pusat kota," tawar David dengan nada santai.

Laura sedikit ragu, namun mengangguk. "Boleh, kalau tidak merepotkan."

"Sama sekali tidak."

....

Sepanjang perjalanan menuju kantor, David dan Laura mengobrol ringan. Tentang pekerjaan, kebiasaan pagi, bahkan tentang cuaca yang belakangan tak menentu.

"Kamu kerja di bidang apa?" tanya David sambil sesekali melirik Laura yang duduk di kursi penumpang.

"Aku staf keuangan di perusahaan ekspor impor. Ehmm... Masih magang, kerja kantoran dengan tumpukan angka dan laporan."

"Kamu kelihatan sangat teliti, pasti cocok kerja di bidang itu. Pemagang yang baik juga lambat laun akan menjadi pegawai, jika kinerjanya baik."

Laura tersenyum, merasa dihargai. "Kamu sendiri kerja di mana?"

David tampak berpikir sejenak. "Aku bantu perusahaan keluarga. Sebenarnya lebih banyak urus investasi dan ekspansi bisnis."

"Wow, berarti kamu bos dong," canda Laura.

"Bisa dibilang begitu… tapi aku lebih suka dianggap rekan kerja. Gelar tidak penting."

Laura menatap pria itu dalam diam. Ada sesuatu yang berbeda dari David, ramah, tapi tidak sombong. Tampan, tapi tidak menggoda. Dan sikapnya yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya membuat Laura sedikit… gugup.

Sesampainya di depan gedung kantor Laura, David menghentikan mobilnya perlahan.

"Terima kasih, David. Kamu baik sekali."

"Kalau begitu, besok aku jemput lagi, ya?" tanya David cepat, seolah tak ingin kehilangan kesempatan.

Laura tersenyum, tapi tak langsung menjawab. Ia membuka pintu mobil, lalu menoleh. "Kalau aku butuh tumpangan… mungkin aku akan menghubungimu," katanya sambil tersenyum lembut.

David tertawa kecil. "Aku tunggu."

Setelah Laura berlalu, David tanpa sadar tersenyum. "Jangan khawatir, kita pasti akan segera bertemu lagi. Laura.."

.....

Hari-hari berikutnya, David terus menciptakan “kebetulan”. Ia akan muncul di minimarket beberapa menit sebelum Laura, atau menunggu di lobby apartemen dengan dalih sedang menunggu temannya, padahal matanya selalu menoleh ke arah lift tempat biasanya Laura muncul. Laura pun mulai merasa bahwa semua ini bukan sekadar kebetulan. Tapi ia tak keberatan. Bahkan, diam-diam ia mulai menantikan pertemuan-pertemuan itu.

Suatu pagi, saat langit cerah dan udara cukup sejuk, David muncul lagi, kali ini dengan dua gelas kopi.

"Kupikir kamu mungkin akan kesiangan dan tidak sempat beli kopi," ucap David sambil menyerahkan salah satu gelas.

Laura menerimanya dengan senyum. "Kamu terlalu perhatian."

"Atau mungkin aku hanya ingin mencari alasan untuk bicara denganmu," balas David, langsung menatap mata Laura.

Laura terdiam sejenak. Hatinya berdetak cepat. Tak ada yang pernah menatapnya seperti itu sebelumnya hangat, tulus, dan sedikit gugup.

"Apa aku jatuh cinta pada David?" pikir Laura sambil menyesap kopi yang diberikan pria itu.

Ia menatap David yang sibuk menjelaskan rute tercepat ke kantor, dan senyum kecil mengembang di wajahnya.

"Mungkin… yah mungkin tanpa sadar aku terbiasa dengan kehadirannya."

Mungkin pertemuan yang tidak disengaja itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin hatinya yang selama ini kosong, diam-diam mulai terisi dengan kehadiran David. Dan mungkin, pria yang kini duduk di sampingnya ini bukan hanya ingin jadi teman pagi, tapi seseorang yang akan hadir lebih lama di hidupnya.

Laura hanya bisa memandang ke depan, menahan senyum yang tak mau pergi dari wajahnya, tanpa tahu bahwa David pun sedang menatapnya diam-diam, dengan harapan yang sama. Bahwa ini bukan hanya awal dari kedekatan biasa, tapi awal dari cerita cinta yang dia bangun perlahan, untuk mencoba melupakan cinta lamanya yang tak pernah terbalas.

====

TBC