Sepanjang perjalanan menuju Apartemen Regatta, Marco terus membagi pandangannya antara jalan raya yang mereka lalui dan Abigail. Marco tak habis pikir, hanya karena debu yang berterbangan membuat wanita yang disampingnya menderita.
Pun bisa Marco pastikan. Bahwa kamar wanita ini super bersih. Tak ada satupun debu yang menempel di apartemennya. Bisa ia pastikan juga, pembantu rumah tangganya harus bekerja extra sabar.
"Nomer berapa kamarmu?" tanya Marco gusar sembari memapah Abigail keluar dari mobil. Dengan nada tidak begitu kentara Abigail menyahut.
"108."
Dengan mata liar Marco terus mengedarkan pandangannya mencari dimana kamar wanita itu berada.
"Lantai lima!" jelas Abigail akhirnya setelah mereka hanya berjalan-jalan di koridor apartemen sambil celingukan, "Bilang dari tadi napa! Jangan cuma keenakan di peluk!" cerca Marco sembari mencari lift.
Abigail menyeringai bodoh. Alergi membuatnya tak bisa berpikir jernih
Keesokan harinya.Sepasang anting-anting bertakhtakan berlian berwarna hijau terpasang cantik di cuping telinga Abigail. Bulu mata panjangnya bergerak-gerak saat memastikan bahwa riasan diwajahnya sempurna. Tak adalagi yang ia risaukan. Bekas bentol-bentol merah akibat alerginya sudah hilang.Abigail menyaut tas kerjanya. Tangannya merogoh kantong tasnya bermasuk untuk mencari kunci mobil dan kunci apartemen. Namun, seketika wajahnya langsung muram durja. Ia mendesis jengkel karena ingat dimana mobilnya sekarang."Dimana laki-laki itu, kenapa tidak ada?" tanyanya sembari mengedarkan pandangannya.Abigail langsung melihat seluruh tubuhnya di cermin besar yang memantulkan dirinya. Ia menghela nafas lega saat sesuatu yang mengisi kepalanya tidak terjadi.Namun, Abigail yang masih curiga kemana perginya laki-laki asing yang hanya ia tahu memiliki panggilan 'Co' itu menghidupkan televisi dan mencari rekaman cctv.Dengan wajah se
Daniel mengerjapkan matanya dengan cemas. Disampingnya ada Andina yang tersenyum manis sembari mengelap telapak tangan suaminya yang berkeringat dingin dengan tissue."Grogi ya mas?"Daniel mengangguk. Andina tersenyum lebar sambil menatap suaminya yang berwajah pucat.Banyak spekulasi yang bercabang di kepalanya. Namun ia paham, jika suaminya sekarang belum siap bertemu dengan ibunya."Semakin cepat, semakin bagus, mas! Semakin mudah untuk kita menjalani hidup ini!" Andina menggenggam tangan Daniel, "Ayo... nanti Abigail keburu di apa-apakan sama Marco!"Daniel terdiam, lama. Seolah tenggorokannya tercekat tanpa bisa berkata apa-apa. Pikirannya berputar-putar sendiri, bingung harus berbuat apa ketika bertemu Sarasvati.Ia rindu dan kecewa dalam satu waktu yang sama. Dan kecewa masih mendominasi isi hatinya sekarang.Andina yang memahami sang suami. Memainkan jemarinya yang lentik, menyusuri lengan Daniel
Abigail terkekeh melihat reaksi tamu-tamunya yang kebingungan melihat dirinya yang mendadak tertawa. "Jadi proses maaf-maafannya seperti ini saja?" Komentar Abigail dengan nada meledek, "Tidak ada baku hantam? Atau main pecah-pecahan gelas?" imbuhnya dengan dahi berkerut. Daniel langsung mencium punggung tangan Sarasvati, begitu lama. "Mama nyesek kan?" ujarnya setelah melepas tangannya dari Sarasvati yang mengelus puncak kepalanya dengan sebelah tangannya. Lembut sekali seolah menjelaskan bahwa ia masih menyayangi putra semata wayangnya. "Mama minta maaf. Iya, Mama nyesel!" balas Sarasvati sembari menyeka air matanya, "Mama baru sadar, jika Mama memang salah sudah mengusirmu dari rumah. Tapi lihatlah kamu, Niel! Kamu benar-benar terlihat seperti pria dewasa sebagaimana mestinya." Sarasvati tersenyum kecil, ia menatap Daniel dengan tatapan
Daniel dan Marco keluar dari ruang dokter SpKK dengan wajah tegang. Tidak senang, terasa berat dan membuyarkan semangat.Sekejap, suasana menjadi hening bersamaan datangnya Dokter spesialis kulit dan kelamin yang ikut keluar untuk menemui keluarga pasien."Benar-benar menakjubkan!" seru sang dokter sembari tersenyum lebar kepada Sarasvati yang menghampirinya.Andina gelagapan... Ia yang tidak boleh ikut masuk, ketar-ketir menunggu dan memikirkan suaminya yang sedang diperiksa dokter. Dilihatnya sang dokter tersenyum sembari menjelaskan kapan hasil laboratorium akan keluar, namun senyuman dokter perempuan dengan usia sekitar tiga puluh tahunan itu sangat menyebalkan bagi Andina."Mas diapain? Dilihat gak itunya?" tanya Andina berbisik di telinga Daniel.Daniel mengerutkan keningnya dengan salah satu alisnya yang naik, seolah istrinya ini sedang berusaha menginterogasinya atau menuduhnya melakukan perselingkuhan yang ter
Sarasvati berdiri, sembari berdecak kagum dengan rumah yang Daniel tempati."Kamu beli rumah ini, Niel?"Daniel dan Andina terkikik bersama, mata mereka mengerjap jenaka. Benak keduanya seolah mengerti, jika Sarasvati perlu di beri pelajaran kalian ini.Mereka menggandeng tangan Sarasvati sembari menuntunnya menaiki anak tangga."Beli dong, Ma! Cash!" dusta Daniel dengan nada sombong.Andina menyahut. "Dina berhasil kan, Ma. Membuat mas Daniel menjadi laki-laki pekerja keras." ujarnya menimpali. Meski hatinya tertawa ngakak sembari berdoa agar tidak kualat karena membohongi ibu mertuanya."Mobil itu juga?" Tunjuk Sarasvati pada Mercedes Benz warna hitam yang mengkilap dibawah cahaya matahari.Daniel mengangguk tegas, "Sekarang mama masih mau meremehkan kemampuan Daniel?" ujar Daniel sembari menolehkan kepalanya.Wajah Sarasvati penuh ekspresi heran ketika ia berkata, "Tidak... Kamu mema
Sanjaya menghubungi Sarasvati dari Jakarta ditengah malam buta. Istrinya jelas berdecak kesal. Bukan karena apa-apa, wanita itu baru saja tidur setelah menghabiskan malam bersama Andina dan Abigail membicarakan banyak hal tentang cinta, pekerjaan, masa depan, dan ambisi yang ingin mereka kejar."Sudah saatnya melempar sauh belum, Mah?" ujar Sanjaya di seberang sana. Terlihat kesepian tanpa istrinya yang cerewet.Sarasvati berdehem tanpa membuka matanya yang terasa berat."Jadi mama besok sudah pulang?" Entah bertanya atau memaksa, Sanjaya terlihat tersenyum tipis.Sarasvati mengerjap. Lalu wajahnya menjadi serius, ia bicara dengan dalam dan serak oleh emosi. "Daniel masih ingin meluruskan hidupnya di Jogja, Pa. Kita harus menerima keputusannya. Gak mudah memang untuk membujuknya kembali. Tapi papa percaya saja, bahwa Daniel bisa mengeluarkan kita dari kekacauan yang ia buat."&
Sarasvati menggenggam tangan Andina dengan senyum penuh kasih setelah percakapan panjang penuh kemelut ribut di hati keduanya."Kita akhiri perjanjian diantara kita, Dina! Mama sudah yakin kalau kamu dan Daniel akan terus bersama dalam suka duka berumah tangga."Andina mengangguk dan segera memeluk sang mertua dengan erat."Maaf ya, ma. Tadinya aku dan mas Daniel mau kabur lebih lama biar Mama tahu rasanya ditinggalkan." ujar Andina kembali mengingatkan Sarasvati yang memasang wajah jengah."Mama kan hanya mau memberi pelajaran kepada Daniel, Din! Itu juga berbuah manis dengan memberikan akses kebahagiaan untuk kamu dan Daniel!" seru Sarasvati.Andina terkekeh, ia lantas memandang langit-langit rumah."Bagaimana hasil laboratoriumnya ya, Ma?" tanya Andina.Sarasvati melirik Andina, "Bagaimana jika Daniel kenapa-kenapa? Apa kamu masih mau menerima keadaannya?" tanya Sarasvati hati-hati.Andina
Semua telah berubah sejalan dengan waktu, setiap detik terasa berarti sekarang. Canda, tawa yang mengiringi cerita. Senyum, tangis yang menghiasi air muka seakan tak ingin ada satupun hal yang luput dari mereka, seolah menepikan sebagian gundah yang menganga di benak mereka.Andina dan Daniel, keduanya melewati hari demi hari yang buruk dengan bersuka cita. Saling mendukung dengan cara masing-masing yang membuat keduanya saling menerima dengan legowo. Tak ada yang berubah atau menghindar, karena keduanya sama-sama tahu, mereka punya harapan baru setelah hal buruk yang menjadikan mereka kuat bersama.Tak ada gundah atau air mata, Andina pun setia menemani Daniel dan Marco saat keduanya harus check up rutin ke rumah sakit. Hingga hasil laboratorium menunjukkan bahwa Daniel resmi menyandang gelar negatif yang membuat hatinya membuncah luar bahagia.Di dekatnya, Andina bertepuk tangan dengan riang, diikuti kalimat puji syukur dari Sarasvati