"Om Ray, kami duluan ya?" pamit Arya."Kalian naik apa?" tanya Ray."Taksi, Om." Arya menjawab sambil berjalan."Om antar ya?""Nggak usah repot-repot Mas Ray. Kami duluan," kataku sambil menggandeng tangan Adiva. Kami berjalan keluar ruang resepsi. Arya tampak memesan taksi melalui aplikasi. "Lama sekali, Kak," kata Adiva yang sudah merasa lelah. "Nggak ada taksi yang ada di sekitar sini. Bentar, Kakak cari lagi," kata Arya sambil mengutak-atik ponselnya."Ayo, Om antar," ajak Ray yang tiba-tiba muncul sambil merangkul pundak Arya dan mengajak berjalan."Mobil Om ada di luar sana, jadi gampang keluarnya." Ray melanjutkan berbicara.Mau tidak mau aku mengikuti Arya yang berjalan bersama dengan Ray. Kulihat Ray dan Arya hampir sama tingginya.Sampailah kami di depan mobil Ray. Aku mengkode Arya biar duduk di depan bersama dengan Ray. Aku dan Adiva duduk di tengah.Sepanjang perjalanan Ray dan Arya berbincang seru. Tampak keduanya saling nyambung dalam obrolan. Adiva sibuk dengan pon
Frida tampak sangat kesal dengan ucapanku tadi. Aku pun juga kesal dengan hinaan dia."Apa maksudmu?" tanya Frida."Silahkan pikir sendiri. Aku lihat Sepertinya pendidikanmu tinggi, pasti pola pikirmu sangat luas. Kalau tidak, cari di internet sana, tutorial mendekati laki-laki. Gunakan ini," kataku sambil menunjuk kepalaku sendiri. Supaya ia paham, bahwa segala sesuatu itu harus dipikir dulu. Frida tampak emosi."Jangan sok pintar kamu. Lihat diri kamu sendiri, suamimu selingkuh pasti karena tidak tahan melihat tingkahku yang sok pintar itu.""Kamu nggak usah mencampuri urusan rumah tanggaku. Kamu sendiri bagaimana? Sudah menikah atau masih gadis?""Aku masih gadis, perawan.""Iya, perawan tua. Tapi kelakuan tidak mencerminkan seorang gadis. Kamu itu cantik karena make up mu yang terlalu tebal. Coba hapus make up mu, pasti sudah ada keriput juga." Aku sudah sangat kesal dengan Frida. Frida tampak semakin emosi mendengar ucapanku."Tante Lily, ternyata Tante minta alamat rumahku hany
"Kamu kenapa? Ada apa ini?" Aku berteriak histeris. "Ada apa, Bu," terdengar suara Adiva di kamar Arya."Ya Allah, Kak. Kakak kenapa?" tanya Adiva kaget melihat wajah Arya.Arya pun duduk kemudian menunduk."Ibu butuh penjelasanmu." Aku berkata dengan tegas."Hanya sedikit salah paham, Bu. Tapi nggak apa-apa?" "Kamu berkelahi ya? Dimana? Disekolah?" cecarku dengan beberapa pertanyaan."Pulang sekolah. Sudah Arya bilang, hanya salah paham. Arya nggak apa-apa, hanya capek saja.""Kayak gini kok bilang nggak apa-apa. Adiva, ambilkan Betadine ya?" pintaku pada Adiva. Adiva pun bergegas keluar dari kamar Arya. Tak berapa lama, Adiva masuk membawa Betadine dan kassa. Aku pun mengoles Betadine pada luka Arya. Arya hanya meringis menahan kesakitan. "Berkelahi itu bukan pertanda jagoan. Apa yang kamu dapat dengan berkelahi? Wajahmu jadi babak belur seperti ini. Apakah kamu puas?"Arya terdiam dan menunduk."Berkelahi tidak menyelesaikan masalah. Kalau ada masalah, bicarakan dengan baik-bai
Pulang sekolah, aku punya rencana untuk datang ke kantor Duta. Ingin meminta penjelasan tentang kejadian kemarin. Aku nggak mau masalah ini menjadi berlarut-larut. Kalaupun Arya tidak mau bekerja disana lagi, nggak apa-apa. Tapi keluar dalam keadaan baik, artinya tidak meninggalkan suatu permasalahan atau permusuhan dengan pegawai yang lain. Mungkin tindakanku ini salah, karena mencampuri urusan Arya. Tapi aku tidak mau nanti Arya punya musuh. Juga bisa-bisa hubungan baikku dengan Duta menjadi tercoreng karena perkelahian Arya. Walaupun aku tahu apa alasan Arya berkelahi.Bismillah saja, niatku baik. Kalau yang salah Arya aku akan meminta maaf dengan tulus. Semoga Duta tidak marah dengan kami.Sampai di kantor Duta, suasana tidak begitu ramai. Hanya ada dua karyawan yang sedang mengerjakan sesuatu. Kantor Duta berada di kompleks yang cukup ramai, berupa ruko dua lantai. "Assalamu'alaikum," sapaku pada dua pemuda yang sedang duduk sambil melipat-lipat undangan."Waalaikumsalam." Mere
"Kenapa dengan Harry? Memang ia belum lama disini, ia keponakannya Lily." Duta menjawab dengan nada yang belum percaya, terhadap yang aku ucapkan."Tanya saja dengan Harry. Ada apa sebenarnya.""Maaf, Om. Aku nggak tahu apa-apa dan tidak terlibat dalam masalah apapun disini." Harry berkata seolah-olah ia tidak tahu menahu. Dasar bermuka dua, ia memang tampak sangat licik. "Kamu pengecut Harry. Tanggung jawab dong dengan semua yang sudah kamu lakukan," ejekku. Ia tampak marah."Maaf, Tante, aku nggak tahu apa yang Tante maksud," kilah Harry dengan senyum liciknya. Aku sangat emosi mendengar perkataan Harry.Harry tampak percaya diri, seolah-olah ia menantangku."Sebenarnya kamu punya masalah apa sama aku? Aku tidak mengenalmu dan aku rasa kamu tidak mengenalku. Kamu itu tidak tahu apa-apa tentangku. Jadi kamu nggak berhak mengolok-olokku di depan Arya. Wajar kalau Arya marah, karena ia membela ibunya." Aku mulai emosi dengan kelakuan Harry."Aku nggak tahu apa yang Tante maksud. Tante
Aku tampar muka Mas Fahmi. Ia tampak terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan berani dengannya."Kamu sudah berani denganku? Dasar perempuan tak tahu diri."Plak! Plak! Mas Fahmi menampar kedua pipiku. Aku memegang pipiku yang terasa panas. Tak terasa aku meneteskan air mata. Baru sekali ini Mas Fahmi menamparku."Kamu puas Mas menamparku. Ayo tampar aku lagi, biar kamu benar-benar merasa puas.""Kamu yang kurang ajar, berani-beraninya menamparku.""Sudah, Mas, pergi saja dari sini. Aku sangat muak melihatmu."Mas Fahmi kelihatan semakin emosi."Aku kesini mau bertanya tentang sertifikat rumah dan tanah. Kamu yang membawanya, kan?" tanya Mas Fahmi. Ia segera masuk ke kamarku, aku mengikutinya. Kemudian Mas Fahmi mendekati lemari baju."Keluar, Mas. Apa yang kamu lakukan?" teriakku."Aku mau mengambil punyaku. Sertifikat rumah itu punyaku.""O ya? Apakah hanya kamu yang mengeluarkan uang? Ingat, ada uang Bapak di rumah itu. Keluarlah Mas."Mas Fahmi mendorongku dengan keras, aku terp
Aku segera mendekat ke cermin, aku kaget, ternyata mukaku sudah tidak karuan. Kedua pipiku terlihat memerah seperti memar. Aku mengelus kedua pipiku, sakit di pipiku tidak sesakit hatiku. "Ibu nggak apa-apa, kok," kataku sambil mengelus pipi."Tadi Ayah kesini, tapi karena Arya sangat mengantuk, Arya tidak bisa menemani ngobrol.""Oh, tadi Ayah kesini, mau mengajak Arya tinggal bersama Ayah.""Kenapa?" tanya Arya."Menurut Ayah, Ibu nggak becus mengurus kamu. Karena melihatmu sampai sakit seperti ini." Aku berkata dengan pelan dan penuh emosi. "Maafkan Arya, Bu. Semua ini kesalahan Arya. Andai Arya tidak berkelahi, pasti tidak akan seperti ini.""Ibu tahu kamu berkelahi karena membela Ibu, kan? Ibu bangga denganmu. Ketika harga diri Ibu diolok-olok orang, kamu membela Ibu mati-matian.""Ibu tahu?""Iya, walaupun kamu tidak jujur dengan Ibu. Ibu tahu semuanya. Mulai besok, kamu nggak usah kerja di tempat Om Duta lagi. Tadi Ibu kesana untuk berpamitan dengan Om Duta.""Kenapa, Bu?""K
Makanan yang kami pesan pun datang, tapi aku heran, kok banyak yang dipesan Mas Hanif? Ada lima porsi makanan. Tongseng kambing tiga porsi, sate ayam dan sate kambing, masing-masing satu porsi."Banyak sekali yang mas pesan," komentarku ketika melihat meja penuh dengan makanan. Selesai aku berbicara, bersamaan dengan kedatangan Mas Akbar."Mas mengundang Akbar untuk merayakan status barumu," kata Mas Hanif."Apa kabar, Hanum," sapa Mas Akbar yang baru datang, kemudian Mas Hanif pindah duduk di sampingku. Mas Akbar duduk di depan kami."Alhamdulillah, kabar baik, Mas," jawabku."Ayo makan dulu, baru nanti ngobrol-ngobrol lagi," ajak Mas Hanif.Mas Hanif dan Mas Akbar makan sambil ngobrol, aku hanya menyimak obrolan seru mereka. "Selamat ya, Num, atas status barunya. Aku yakin pasti banyak laki-laki yang mau mendekatimu," kata Mas Akbar."Tapi kamu harus selektif ya, jaga sikap dan pergaulan. Statusmu itu sangat rentan jadi omongan orang. Kalau memang tidak terlalu penting, hindari per