Aku tampar muka Mas Fahmi. Ia tampak terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan berani dengannya."Kamu sudah berani denganku? Dasar perempuan tak tahu diri."Plak! Plak! Mas Fahmi menampar kedua pipiku. Aku memegang pipiku yang terasa panas. Tak terasa aku meneteskan air mata. Baru sekali ini Mas Fahmi menamparku."Kamu puas Mas menamparku. Ayo tampar aku lagi, biar kamu benar-benar merasa puas.""Kamu yang kurang ajar, berani-beraninya menamparku.""Sudah, Mas, pergi saja dari sini. Aku sangat muak melihatmu."Mas Fahmi kelihatan semakin emosi."Aku kesini mau bertanya tentang sertifikat rumah dan tanah. Kamu yang membawanya, kan?" tanya Mas Fahmi. Ia segera masuk ke kamarku, aku mengikutinya. Kemudian Mas Fahmi mendekati lemari baju."Keluar, Mas. Apa yang kamu lakukan?" teriakku."Aku mau mengambil punyaku. Sertifikat rumah itu punyaku.""O ya? Apakah hanya kamu yang mengeluarkan uang? Ingat, ada uang Bapak di rumah itu. Keluarlah Mas."Mas Fahmi mendorongku dengan keras, aku terp
Aku segera mendekat ke cermin, aku kaget, ternyata mukaku sudah tidak karuan. Kedua pipiku terlihat memerah seperti memar. Aku mengelus kedua pipiku, sakit di pipiku tidak sesakit hatiku. "Ibu nggak apa-apa, kok," kataku sambil mengelus pipi."Tadi Ayah kesini, tapi karena Arya sangat mengantuk, Arya tidak bisa menemani ngobrol.""Oh, tadi Ayah kesini, mau mengajak Arya tinggal bersama Ayah.""Kenapa?" tanya Arya."Menurut Ayah, Ibu nggak becus mengurus kamu. Karena melihatmu sampai sakit seperti ini." Aku berkata dengan pelan dan penuh emosi. "Maafkan Arya, Bu. Semua ini kesalahan Arya. Andai Arya tidak berkelahi, pasti tidak akan seperti ini.""Ibu tahu kamu berkelahi karena membela Ibu, kan? Ibu bangga denganmu. Ketika harga diri Ibu diolok-olok orang, kamu membela Ibu mati-matian.""Ibu tahu?""Iya, walaupun kamu tidak jujur dengan Ibu. Ibu tahu semuanya. Mulai besok, kamu nggak usah kerja di tempat Om Duta lagi. Tadi Ibu kesana untuk berpamitan dengan Om Duta.""Kenapa, Bu?""K
Makanan yang kami pesan pun datang, tapi aku heran, kok banyak yang dipesan Mas Hanif? Ada lima porsi makanan. Tongseng kambing tiga porsi, sate ayam dan sate kambing, masing-masing satu porsi."Banyak sekali yang mas pesan," komentarku ketika melihat meja penuh dengan makanan. Selesai aku berbicara, bersamaan dengan kedatangan Mas Akbar."Mas mengundang Akbar untuk merayakan status barumu," kata Mas Hanif."Apa kabar, Hanum," sapa Mas Akbar yang baru datang, kemudian Mas Hanif pindah duduk di sampingku. Mas Akbar duduk di depan kami."Alhamdulillah, kabar baik, Mas," jawabku."Ayo makan dulu, baru nanti ngobrol-ngobrol lagi," ajak Mas Hanif.Mas Hanif dan Mas Akbar makan sambil ngobrol, aku hanya menyimak obrolan seru mereka. "Selamat ya, Num, atas status barunya. Aku yakin pasti banyak laki-laki yang mau mendekatimu," kata Mas Akbar."Tapi kamu harus selektif ya, jaga sikap dan pergaulan. Statusmu itu sangat rentan jadi omongan orang. Kalau memang tidak terlalu penting, hindari per
"Mbak, aku minta maaf atas kejadian itu. Sebenarnya Harry disuruh oleh Frida. Aku tahu rencana itu, tapi tidak berani menolak permintaan Frida. Soalnya kalau aku tidak menuruti Frida, pasti ia mengungkit-ungkit segala kebaikan keluarganya. Tapi sekarang Mas Duta sudah memecat Harry. Beberapa karyawan memang tidak menyukai Harry. Mungkin karena merasa keponakanku, jadi ia berlaku seenaknya," kata Lily menjelaskan padaku. Aku sudah menduga semua ini. Begitu cintanya Frida dengan Ray, sampai ia berbuat nekat. Perempuan yang sangat agresif."Pasti ada hubungannya dengan Ray, kan?" tanyaku."Iya, Mbak." Lily berkata pelan."Jujur saja, aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Ray. Dia itu temannya Opik. Aku juga kenalnya di rumah sakit karena dikenalkan oleh Opik. Ternyata Frida ngebet sekali ya ingin mendapatkan Ray.""Iya, Mbak. Dari dulu Frida itu akan berusaha mati-matian untuk mendapatkan keinginannya. Bahkan dulu Frida pernah pacaran, akhirnya putus karena pacarnya nggak sanggup dengan
"Aku juga minta maaf, aku sengaja tidak memberitahumu. Aku tidak mau merepotkanmu, sedangkan kamu sendiri memang benar-benar sibuk. Aku tidak mau menambah beban pikiranmu," kataku sambil menghapus air mataku yang ikut menetes."Enggak, Num. Kamu enggak pernah merepotkanku. Aku justru senang kalau kamu mau berbagi cerita denganku. Setidaknya kamu tidak sendirian, ada aku yang akan selalu menemanimu. Kita sudah bersama puluhan tahun, sudah begitu kenal karakter masing-masing. Tidak ada yang namanya merepotkan. Tapi saling membantu. Kita ini sudah seperti saudara, bukan hanya teman." Aku sangat terharu dengan kata-kata Opik. Benar kalau kami bukan hanya berteman, tapi sudah seperti saudara. Seharusnya memang aku menceritakan semua pada Opik."Ada Mas Akbar dan Mas Hanif yang mengurus perceraianku. Makanya prosesnya cepat. Kebetulan Mas Akbar bertindak sebagai mediator waktu kami bermediasi."Opik hanya manggut-manggut saja mendengar ceritaku."Kamu masih tinggal di rumah kontrakan?" tan
"Maaf, Mbak. Apa Mas Fahmi masih menafkahi anak-anak?" tanya Zahra dengan pelan."Enggak pernah lagi. Sudah beberapa bulan ini tidak pernah memberi uang. Tapi aku sudah bicara dengan anak-anak, jangan berharap uang dari ayahnya. Kalau diberi, ya diterima. Tapi jangan pernah minta.""Tapi kan itu haknya anak-anak mendapat nafkah dari ayahnya.""Mas Fahmi sendiri sudah pernah bilang, kalau anak-anak ikut aku ia lepas tangan. Kalau aku sih yakin, rezeki itu selalu ada asal kita mau berusaha.""Mbak hebat. Semoga Mbak selalu sehat dan bisa mendampingi anak-anak hingga dewasa nanti," ucap Zahra yang membuatku terharu."Terima kasih untuk doanya. Aku yakin semua ini sudah ketentuan dari Allah. Kita tinggal menjalaninya.""Mbak, maaf kalau aku terlalu lancang. Apa benar rumah Mbak dijual?" tanya Zahra."Iya, uangnya dibagi dua dengan Mas Fahmi. Alhamdulillah, ada simpanan untuk anak-anak kuliah nanti.""Alhamdulillah ya Mbak? Waktu mendengar kabar itu, Ibu marah, katanya rumah itu nggak bole
"Terus kita harus bagaimana? Mas Fahmi kemana sekarang? Ia sudah tahu belum surat panggilan itu?" cecar Fariz."Fahmi sudah tahu, eh malah dia pergi," sahut Ibu dengan kesal."Tuh kan? Yang punya masalah saja, orangnya santai. Kok malah Ibu yang repot? Terus apa tanggapan Ayah?" Fariz menimpali ucapan Ibu."Ayah ya kayak kamu. Nggak peduli dengan apa yang akan terjadi pada Fahmi. Kamu ada teman di Polsek nggak?" tanya Ibu."Untuk apa?" jawab Fariz."Biar Fahmi nggak usah ke kantor polisi.""Bu, biarkan saja Mas Fahmi menjalani semuanya. Nanti kalau tuduhan tidak terbukti, Mas Fahmi nggak akan dipenjara. Besok kan hanya dimintai keterangan," kata Fariz menenangkan ibunya."Tapi semua tuduhan itu benar adanya. Ibu pikir Fahmi menikah siri dengan janda. Nggak tahunya dengan istri orang. Berarti mereka membohongi Ibu. Awas saja kamu, Fahmi," kata Ibu dengan marah, karena merasa dibohongi. "Waktu mereka menikah, Ibu tahu nggak? Atau Ibu malah menghadiri akad nikah mereka?" tanya Fariz."K
Sampai di rumah, sudah ada perempuan yang menungguku di depan pintu. Perempuan muda yang sangat anggun."Maaf, Mbak. Mencari siapa?" tanyaku dengan sopan."Bu Hanum ya?" "Iya saya sendiri. Ada perlu apa, Mbak?" tanyaku sambil membuka pintu rumahku."Mari masuk," ajakku. Apa perempuan ini yang dikatakan Bu Ani tadi ya?Perempuan itu pun masuk ke dalam rumahku, ia melihat-lihat ruang tamu. Kemudian aku mempersilahkan untuk duduk di karpet yang ada."Perkenalkan saya Desti, istrinya Mas Akbar." Aku kaget mendengarnya, setahuku Mas Akbar itu seorang duda yang istrinya meninggal. Apa Mas Akbar sudah menikah lagi ya? "Kaget ya? Benar sekali, Mas Akbar sudah menikah lagi dengan saya," ucap Desti seolah-olah ia tahu apa yang aku pikirkan."Ooo, terus maksud kedatangan Mbak Desti?" tanyaku.Ia menunjukkan foto-foto ketika aku, Mas Hanif dan Mas Akbar sedang makan di rumah makan. Tapi yang difoto hanya tampak fotoku dan fotonya Mas Akbar saja."Bu Hanum, saya tahu kalau Bu Hanum itu seorang j