"Mbak, aku minta maaf atas kejadian itu. Sebenarnya Harry disuruh oleh Frida. Aku tahu rencana itu, tapi tidak berani menolak permintaan Frida. Soalnya kalau aku tidak menuruti Frida, pasti ia mengungkit-ungkit segala kebaikan keluarganya. Tapi sekarang Mas Duta sudah memecat Harry. Beberapa karyawan memang tidak menyukai Harry. Mungkin karena merasa keponakanku, jadi ia berlaku seenaknya," kata Lily menjelaskan padaku. Aku sudah menduga semua ini. Begitu cintanya Frida dengan Ray, sampai ia berbuat nekat. Perempuan yang sangat agresif."Pasti ada hubungannya dengan Ray, kan?" tanyaku."Iya, Mbak." Lily berkata pelan."Jujur saja, aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Ray. Dia itu temannya Opik. Aku juga kenalnya di rumah sakit karena dikenalkan oleh Opik. Ternyata Frida ngebet sekali ya ingin mendapatkan Ray.""Iya, Mbak. Dari dulu Frida itu akan berusaha mati-matian untuk mendapatkan keinginannya. Bahkan dulu Frida pernah pacaran, akhirnya putus karena pacarnya nggak sanggup dengan
"Aku juga minta maaf, aku sengaja tidak memberitahumu. Aku tidak mau merepotkanmu, sedangkan kamu sendiri memang benar-benar sibuk. Aku tidak mau menambah beban pikiranmu," kataku sambil menghapus air mataku yang ikut menetes."Enggak, Num. Kamu enggak pernah merepotkanku. Aku justru senang kalau kamu mau berbagi cerita denganku. Setidaknya kamu tidak sendirian, ada aku yang akan selalu menemanimu. Kita sudah bersama puluhan tahun, sudah begitu kenal karakter masing-masing. Tidak ada yang namanya merepotkan. Tapi saling membantu. Kita ini sudah seperti saudara, bukan hanya teman." Aku sangat terharu dengan kata-kata Opik. Benar kalau kami bukan hanya berteman, tapi sudah seperti saudara. Seharusnya memang aku menceritakan semua pada Opik."Ada Mas Akbar dan Mas Hanif yang mengurus perceraianku. Makanya prosesnya cepat. Kebetulan Mas Akbar bertindak sebagai mediator waktu kami bermediasi."Opik hanya manggut-manggut saja mendengar ceritaku."Kamu masih tinggal di rumah kontrakan?" tan
"Maaf, Mbak. Apa Mas Fahmi masih menafkahi anak-anak?" tanya Zahra dengan pelan."Enggak pernah lagi. Sudah beberapa bulan ini tidak pernah memberi uang. Tapi aku sudah bicara dengan anak-anak, jangan berharap uang dari ayahnya. Kalau diberi, ya diterima. Tapi jangan pernah minta.""Tapi kan itu haknya anak-anak mendapat nafkah dari ayahnya.""Mas Fahmi sendiri sudah pernah bilang, kalau anak-anak ikut aku ia lepas tangan. Kalau aku sih yakin, rezeki itu selalu ada asal kita mau berusaha.""Mbak hebat. Semoga Mbak selalu sehat dan bisa mendampingi anak-anak hingga dewasa nanti," ucap Zahra yang membuatku terharu."Terima kasih untuk doanya. Aku yakin semua ini sudah ketentuan dari Allah. Kita tinggal menjalaninya.""Mbak, maaf kalau aku terlalu lancang. Apa benar rumah Mbak dijual?" tanya Zahra."Iya, uangnya dibagi dua dengan Mas Fahmi. Alhamdulillah, ada simpanan untuk anak-anak kuliah nanti.""Alhamdulillah ya Mbak? Waktu mendengar kabar itu, Ibu marah, katanya rumah itu nggak bole
"Terus kita harus bagaimana? Mas Fahmi kemana sekarang? Ia sudah tahu belum surat panggilan itu?" cecar Fariz."Fahmi sudah tahu, eh malah dia pergi," sahut Ibu dengan kesal."Tuh kan? Yang punya masalah saja, orangnya santai. Kok malah Ibu yang repot? Terus apa tanggapan Ayah?" Fariz menimpali ucapan Ibu."Ayah ya kayak kamu. Nggak peduli dengan apa yang akan terjadi pada Fahmi. Kamu ada teman di Polsek nggak?" tanya Ibu."Untuk apa?" jawab Fariz."Biar Fahmi nggak usah ke kantor polisi.""Bu, biarkan saja Mas Fahmi menjalani semuanya. Nanti kalau tuduhan tidak terbukti, Mas Fahmi nggak akan dipenjara. Besok kan hanya dimintai keterangan," kata Fariz menenangkan ibunya."Tapi semua tuduhan itu benar adanya. Ibu pikir Fahmi menikah siri dengan janda. Nggak tahunya dengan istri orang. Berarti mereka membohongi Ibu. Awas saja kamu, Fahmi," kata Ibu dengan marah, karena merasa dibohongi. "Waktu mereka menikah, Ibu tahu nggak? Atau Ibu malah menghadiri akad nikah mereka?" tanya Fariz."K
Sampai di rumah, sudah ada perempuan yang menungguku di depan pintu. Perempuan muda yang sangat anggun."Maaf, Mbak. Mencari siapa?" tanyaku dengan sopan."Bu Hanum ya?" "Iya saya sendiri. Ada perlu apa, Mbak?" tanyaku sambil membuka pintu rumahku."Mari masuk," ajakku. Apa perempuan ini yang dikatakan Bu Ani tadi ya?Perempuan itu pun masuk ke dalam rumahku, ia melihat-lihat ruang tamu. Kemudian aku mempersilahkan untuk duduk di karpet yang ada."Perkenalkan saya Desti, istrinya Mas Akbar." Aku kaget mendengarnya, setahuku Mas Akbar itu seorang duda yang istrinya meninggal. Apa Mas Akbar sudah menikah lagi ya? "Kaget ya? Benar sekali, Mas Akbar sudah menikah lagi dengan saya," ucap Desti seolah-olah ia tahu apa yang aku pikirkan."Ooo, terus maksud kedatangan Mbak Desti?" tanyaku.Ia menunjukkan foto-foto ketika aku, Mas Hanif dan Mas Akbar sedang makan di rumah makan. Tapi yang difoto hanya tampak fotoku dan fotonya Mas Akbar saja."Bu Hanum, saya tahu kalau Bu Hanum itu seorang j
"Aku lakukan semua ini karena takut kamu akan meninggalkanku. Kamu selama ini selalu cuek sama aku, bahkan kamu belum pernah menyentuhku," ucap Desti sambil sesenggukan. Aku sangat kaget mendengar ucapan Desti. Jadi mereka menikah tapi belum saling menyentuh?"Itu urusan rumah tangga kita. Kenapa kamu umbar? Aku kan sudah bilang, kalau aku butuh waktu untuk menyiapkan diri menjadi suamimu. Tidak semudah itu aku melupakan almarhumah istriku."Kulihat Mas Akbar berkata dengan wajah yang sedih. Aku tahu kalau Mas Akbar sangat mencintai istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak keduanya, anaknya selamat, tapi istrinya tidak tertolong. Aku nggak tahu sudah berapa lama istrinya meninggal."Hanif, Hanum, maafkan kelakuan Desti. Aku pastikan Desti tidak akan mengganggumu lagi, Num." Mas Akbar berkata sambil menatapku.Aku hanya mengangguk."Ayo pulang, kita selesaikan masalah di rumah, bila perlu kita selesaikan juga pernikahan kita ini," ajak Mas Akbar sambil menarik tangan Desti.
Sudah satu Minggu ini kehidupanku tampak tenang. Aku menjalani aktivitas seperti biasa. Aku berusaha untuk melupakan semua masalahku, ingin benar-benar menikmati hidupku. Menulis merupakan healing bagiku, dimana aku bisa menuangkan segala emosiku dalam bentuk tulisan, jadi tidak akan menyakiti orang lain. Seperti saat ini yang aku lakukan, pulang dari sekolah, bersantai di kamar. Berkhayal sambil menulis di ponsel. Banyak ide cerita mengalir di otakku. Aku jadi sangat bersemangat menulis hari ini. Terdengar suara ponselku, menandakan sebuah pesan. Aku pun membukanya.[ Mbak Hanum, jangan kaget ya? Mungkin besok atau lusa Mbak Hanum dipanggil ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku mohon, Mbak Hanum memberikan keterangan sejujur-jujurnya. Tentang apa yang sebenarnya terjadi.] Sebuah pesan dari Andrian. Aku sebenarnya malas menjadi saksi. Karena akan membuka luka lama yang sedang berusaha aku lupakan. [Ok. Terima kasih untuk informasinya.] Aku pun membalas pesan itu.Pesan d
Deg! Hatiku berdebar-debar. Aku segera duduk di sofa berhadapan dengan Bu Hartini. Kulihat Susan juga menunjukkan ekspresi kaget. Kemudian ia duduk di kursinya mengerjakan tugasnya."Ada perlu apa ya, Bu?" tanyaku."Bu Hanum, maaf kalau kedatangan saya mengganggu kegiatan Ibu. Beberapa hari yang lalu, di rumah saya ada panggilan dari polisi untuk Dinda. Saya tanya Dinda, akhirnya ia bercerita. Katanya ia dituduh selingkuh dengan Fahmi. Sekarang mereka dilaporkan ke polisi. Dinda memang sudah satu bulan ini kembali ke rumah saya. Katanya Andrian selingkuh dan menuduh Dinda yang selingkuh." Bu Hartini menjelaskan tentang Dinda. Aku nggak tahu, siapa yang bohong, Dinda atau ibunya. Karena yang dikatakan Bu Hartini itu jelas memutarbalikkan fakta. "Maksud kedatangan saya kesini, minta tolong dengan Bu Hanum untuk mencabut laporan ke polisi. Kata Dinda Bu Hanum yang melaporkan, karena Bu Hanum cemburu dengan Dinda yang sekantor dengan Fahmi. Dinda anak saya itu PNS lho, Bu. Bukan seperti