"Pak, walaupun saya hanya seorang guru TK swasta, tapi saya lebih terhormat daripada Dinda anak bapak yang PNS. Kelakuannya sangat bejat, masih punya suami berselingkuh dengan suami orang."Brakk! Bapaknya Dinda menggebrak meja."Pak, ini sekolah. Kalau memang Bapak dari keluarga baik-baik, jaga sikap Bapak. Nanti saya teriak, banyak yang datang kesini. Pasti Bapak yang akan dikeroyok." Aku berusaha berkata dengan tenang, walaupun aku sudah sangat emosi. Akhirnya bapaknya Dinda diam, wajahnya tampak sangat kesal."Mana nomor ponsel Bapak, biar saya kirim bukti-bukti perselingkuhan Dinda dan Fahmi. Supaya Bapak lebih percaya apa yang dilakukan Dinda."Awalnya bapaknya Dinda tidak mau."Kalau Bapak tidak mau, berarti Bapak takut menghadapi kenyataan, kalau Dinda memang berselingkuh. Memang Pak, terkadang kenyataan tak seindah bayangan dan harapan. Dan perlu Bapak tahu beberapa video Dinda sudah viral. Alhamdulillah ya, Pak, anak Bapak menjadi bintang kontroversial yang viral." Aku berb
"Belum kepikiran sampai kesitu Bu. Biarlah semua mengalir apa adanya. Kalau memang masih ada jodoh, ya pasti akan Hanum jalani.""Akbar itu kan duda, istrinya meninggal. Kenapa kamu nggak dekati Akbar. Apalagi Akbar tahu kalau kamu juga janda," goda Ibu membuatku tersipu malu."Mas Akbar sudah menikah lagi, Bu.""Masa? Kok nggak ngasih kabar ke Ibu ya?" tanya Ibu. Mas Akbar dan Mas Hanif itu sangat akrab, jadi wajar kalau Ibu tahu tentang Mas Akbar."Kata Mas Hanif sih, pernikahan terpaksa karena balas budi.""Apa Akbar mencintai perempuan itu?""Nggak tahu, Bu.""Ya semoga saja pernikahan mereka langgeng walaupun karena terpaksa," ucap Ibu."Amin." Aku mengaminkan ucapan Ibu."Kamu harus pandai menjaga diri dan pergaulan. Statusmu itu rentan dengan gosip. Apapun yang kamu lakukan akan selalu menjadi sorotan orang-orang. Terutama mereka yang tidak menyukaimu. Mereka akan mencari celah untuk menjelek-jelekkanmu. Hati-hati kalau bergaul dengan suami orang. Memang benar mungkin kamu han
"Mbak Hanum," panggil seseorang yang membuatku menoleh ke arah suara itu. Ternyata Wita yang memanggilku.Kami pun cipika-cipiki ketika Wita sudah mendekat."Ngapain kamu kesini?" tanyaku."Ini lho Mbak, memperpanjang SIM," jawab Wita,"Mbak sendiri ngapain kesini?" Aku bingung mau menjawab apa, kalau aku jujur, pasti ia kecewa."Ada sedikit urusan dengan teman lama?" jawabku dengan hati-hati."Cowok apa cewek?" goda Wita sambil melirik genit padaku."Ish kamu kenapa sih." Aku merona."Mbak, Mbak Hanum kan sudah berpisah dengan Mas Fahmi. Mbak Hanum berhak untuk bahagia. Mbak Hanum masih cantik kok, pasti ada yang mau dengan Mbak Hanum.""Belum mikir kesitu, Wita. Fokusku sekarang adalah anak-anak.""Tapi apa salahnya, kalau ada laki-laki yang serius dan Mbak Hanum sreg dengan orang itu. Kenapa enggak? Apalagi kalau anak-anak setuju, gas poll Mbak.""Kayak motor saja," jawabku sambil tertawa."Kalau hari bahagia itu datang, kabari Wita ya Mbak. Wita juga ingin berbahagia bersama Mbak
"Kamu ini sibuk dengan ponsel terus. Apa kamu nggak lihat, kalau dokter itu ngeliatin kamu terus?" tanya Mbak Sarah."Apa iya Mbak. Dia tadi kan sedang ngobrol dengan Mbak, nggak ada urusannya sama aku." "Apa saling mengenal?" "Sebenarnya iya, tapi karena tadi dia cuek saja sama aku, ya aku diam saja. Nanti kalau aku menyapanya, tapi dia jaim di depan para perawat, bisa malu aku.""Kamu ada masalah dengannya?""Tidak ada masalah apa-apa, Mbak. Dia itu temannya Opik. Aku dikenalkan oleh Opik ketika aku kesini menemuinya. Selebihnya nggak ada urusan apa-apa"Kok Mbak nggak percaya ya? Pasti ada sesuatu antara kalian. Karena ketika kamu sibuk dengan ponsel, wajahnya seperti tidak senang. Walaupun ia menutupinya dengan bercerita bersama Naufal. Tapi tetap saja, masih kelihatan.""Benar Mbak, nggak ada apa-apa. Hanya beberapa kali bertemu dengannya. Pernah juga ditraktir makan ketika aku sedang makan sama Adiva.""Dia punya istri atau duda?" selidik Mbak Sarah."Duda.""Pantas saja," gum
"Sudahlah Ray, nggak usah membuatku berharap banyak pada dirimu. Kita sudah dewasa, sama-sama single parent. Aku rasa kita nggak bisa berteman baik atau teman dekat. Apa kata orang akan kedekatan kita nanti. Lebih baik kita hanya saling kenal saja, say hello kalau bertemu. Nggak usah lebih dari itu. Terima Kasih sudah mentraktirku hari ini. Aku harap ini yang terakhir kali kita pergi berdua. Kalau diteruskan, nanti malah menimbulkan banyak masalah.""Maksudmu apa, sih?" tanya Ray."Bukankah kamu sudah punya calon istri? Frida?""Dia bukan calon istriku.""Coba tanya pada Frida, apa yang sudah ia lakukan terhadap Arya?""Arya?""Iya. Dan satu lagi, aku mendengar sendiri kamu berkata pada Opik kalau kamu hanya kasihan padaku, hanya menganggapku teman saja. Jadi nggak usah sok merayuku lagi, berkata-kata yang membuatku bisa terbang ke awan, lalu kau hempaskan aku ke bumi. Sakit rasanya.""Aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu bicarakan.""Oke sekarang begini, apa maksud kamu selalu
Memasuki kamar perawatan Naufal, aku dikagetkan dengan kehadiran Mas Hanif. Kupikir Mas Hanif kerja, ternyata ia ada disini."Mas Hanif nggak kerja?" tanyaku."Izin, Num. Kamu sudah pulang dari sekolah?" sahut Mas Hanif."Iya, Mas. Langsung kesini." Aku pun segera duduk di sofa yang tersedia."Mbak Sarah kemana?" tanyaku karena aku tidak melihat sosok perempuan lembut nan bersahaja itu."Sedang ke kamar mandi.""Oh…." "Num, apa dokter Ray yang menangani Naufal itu, Ray yang waktu itu?" tanya Mas Hanif. Mbak Sarah yang keluar dari kamar mandi langsung berkomentar."Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui?" tanya Mbak Sarah."Hanum pernah kencan dengan Ray." Mas Hanif berkata pada Mbak Sarah."Bukan, Mbak. Hanya kebetulan saja." Aku berusaha menjelaskan, takut terjadi kesalahpahaman."O ya? Kebetulan katamu? Kemarin Mas lihat kamu boncengan motor berdua dengan Ray," kata Mas Hanif sambil menatapku, membuatku sangat gugup.Aku kaget, berarti Mas Hanif kemarin melihatku. Mukaku mer
Opik segera menatap Ray kemudian bergantian menatapku. "Apa aku ketinggalan informasi?" tanya Opik."Enggak, Pik. Maksudku hanya meminta pendapat dokter Ray saja." Mas Hanif menjelaskan arti ucapannya."Oooh, ya sudah. Eh kami keluar dulu ya? Apa kamu masih mau disini, Ray?" tanya Opik."E...enggak, mau keluar juga," sahut Ray dengan gugup.Akhirnya mereka berdua pamitan dan keluar dari ruangan Naufal.Tiba-tiba pintu dibuka lagi, ada Opik yang nongol."Num, nanti keruanganku ya?" kata Opik."Iya.""Awas kalau enggak," kata Opik pura-pura mengancam."Iyaaaa," jawabku lagi yang langsung dibalas dengan tawa Opik."Kalian berdua pernah berantem nggak? Kamu sama Opik," tanya Mbak Sarah."Pernah dong Mbak, apalagi berbeda pendapat.""Mbak salut dengan persahabatan kalian. Awet.""Alhamdulillah, Mbak.""Num, kamu mau makan? Ini lho ada nasi," kata Mas Hanif."Enggak Mas, Hanum mau ke ruangan Opik. Siapa tahu nanti ditraktir makan siang," kataku sambil tertawa."Halah, bilang saja kamu mau
Adiva diam, tidak memberi jawaban. "Ikut Ibu atau enggak?" tanyaku lagi."E...e...." Adiva bingung menjawabnya."Kamu mau pulang bareng temanmu? Ya sudah."Aku yang sudah mulai emosi, akhirnya menghidupkan mesin motor dan pergi meninggalkan Adiva. Aku sangat kecewa sekali, maksud hati ingin memberinya kejutan dengan menjemputnya. Ternyata malah aku yang terkejut. Diperjalanan aku mikir, enaknya kemana ya? Aku belum mau pulang, takut Mas Fahmi datang ke rumah.Motor kuhentikan dipinggir jalan, tempat orang jualan es kelapa muda. Aku duduk di salah satu bangku, dan memesan es kelapa muda. Siapa tahu dengan minum es kelapa muda, pikiranku jadi lebih tenang. Sambil menunggu pesanan, aku membuka ponselku ternyata ada lima panggilan tak terjawab dari Mas Fahmi. Apa sih maunya Mas Fahmi, aku penasaran. Tapi kan sudah bukan urusanku lagi. "Ini Bu, esnya," kata penjual es kelapa muda sambil meletakkan es kelapa muda di meja."Terima kasih, Mbak," kataku sambil meletakkan ponselku. Kuseruput