Aku terkejut bukan kepalang mendengarkan perkataan Adiva. Hatiku tersayat-sayat, tidak mungkin aku sanggup menyerahkan Adiva pada ayahnya. Sedangkan ayahnya sekarang sedang bergulat dengan masalahnya sendiri. Mataku mulai berembun."Jadi kamu menyesal tinggal dengan Ibu? Kamu mau tinggal dengan Ayah? Tapi ayahmu sekarang tinggal di rumah Yang Ti, kamu mau tinggal di sana? Silahkan kalau kamu mau kesana. Ayo telpon ayahmu, supaya ayahmu menjemput. Kalau kamu pergi kesana sendiri, tidak Ibu izinkan. Tapi kalau dijemput ayahmu, akan Ibu izinkan. Nih ponselnya, silahkan telpon ayahmu," tanyaku dengan tegas sambil menyerahkan ponselnya.Adiva mengambil ponsel yang aku berikan, tapi ia masih terdiam."Kenapa nggak jadi menelpon? O, Ibu tahu, kamu malu ya menelpon ayahmu kalau ada Ibu. Oke, Ibu keluar. Nanti kalau ayahmu menjemput, panggil Ibu." Aku berkata sambil menahan sesak di dadaku. Rasanya mau menangis saat ini juga. Aku keluar dari kamar dan masuk ke kamar mandi, menangis sepuasnya.
Deg! Ternyata benar, itu adalah Dinda. Semoga ia tidak melihatku. Aku malas ribut. Aku berusaha untuk tenang, dengan cara memilih baju-baju yang ada di depanku. Ternyata ada yang cocok, sesuai juga dengan isi kantongku."Mbak, aku ini saja ya?" kataku pada pegawai Mbak Rida."Mau dicoba, Bu?" "Boleh.""Mbak, dicoba saja di ruangan saya. Arum, antar Mbak Hanum ke ruangan saya, ya?" kata Mbak Rida yang tiba-tiba muncul di depanku."Iya, Bu. Mari Bu, saya antar," kata perempuan bernama Arum itu.Aku berjalan dengan deg-degan, jangan sampai Dinda melihatku. Sampai juga aku di ruangan Mbak Rida. Kulihat ada beberapa tumpuk baju yang masih dibungkus plastik. Aku segera mencoba pakaian yang tadi aku pilih. Setelah bercermin aku merasa cocok."Mbak, saya ambil yang ini, ya?" kataku."Baik, Bu." Kata Arum sambil keluar menuju ke kasir. Aku pun mengikutinya."Gimana Mbak Hanum? Cocok?" tanya Mbak Rida."Iya, Mbak. Saya ambil ini.""Hanum?" kata seorang perempuan, aku menoleh, ternyata Dinda. H
Seminggu ini hidupku cukup tenang, tidak ada gangguan dari pihak manapun. Mas Fahmi juga tidak menghubungi aku lagi, karena sudah kublokir. Arya dan Adiva, Alhamdulillah, tidak bermasalah. Aku benar-benar menjaga hubunganku dengan anak-anak. Karena hanya mereka yang aku miliki.Aku selalu berusaha untuk memiliki quality time dengan anak-anak. Aku ingin menjadi sahabat dan juga orang tua bagi mereka. Setelah kejadian yang menimpa Arya dan Adiva, aku benar-benar berusaha dekat dengan mereka. Kalau mereka ada waktu senggang, aku mengajak mereka keluar, walaupun hanya sekedar makan atau jalan-jalan. Hari ini kami memiliki rencana mau jalan-jalan ke mall. Sekedar refreshing dan makan. Aku masih disibukkan dengan membereskan sisa kegiatan di dapur tadi. Dibantu Adiva yang membersihkan peralatan masak."Bu, ada Ayah," kata Arya yang muncul di dapur."Oh, ngapain pagi-pagi kesini?" tanyaku."Nggak tahu.""Ya udah, kamu temenin sana. Pasti pengen ngobrol sama kamu. Kan sudah nggak ada urusann
Hari ini aku dikagetkan dengan kedatangan seseorang. Seseorang yang sempat memenuhi hati dan pikiranku. Aku baru saja selesai mandi sebelum orang itu datang.Seseorang tampak duduk di karpet asyik dengan ponselnya. Aku hanya memandangnya seakan tidak percaya. "Kenapa bengong seperti itu?" tanya Ray."Nggak apa-apa. Angin apa yang membuatmu tiba-tiba datang kesini?" "Bukan tiba-tiba, tapi butuh rencana matang." Jawaban Ray membuatku mengernyitkan dahi. "Apa kedatangan kami mengganggumu?" tanya Ray."Kami?" tanyaku heran."Iya, aku dan Lea.""Lea?" "Ada di kamar dengan Adiva."Kedatangannya kesini yang tidak terduga, belum lagi ia datang kesini bersama Lea. Semua ini membuatku bingung dan bertanya-tanya. Jujur saja, hatiku berdebar-debar dengan kejutan-kejutan ini."Apa sebenarnya yang kamu rencanakan Ray?" selidikku sambil memandang Ray."Nggak usah curiga seperti itu. Maksudku ini baik lho. Seperti ucapanmu waktu itu. Buktikan! Itu kata-kata yang selalu terngiang di telingaku. Wak
Setelah capek jalan-jalan, tujuan selanjutnya rumah makan."Mau pesan makanan apa?" tanya Ray sambil membolak-balik buku menu.Anak-anak menyebutkan makanan mereka, aku sih ngikut saja. Pegawai rumah makan sibuk mencatat pesanan kami."Kita foto-foto disana, yuk," ajak Lea pada Adiva. Adiva mengangguk."Ayo, Kak," ajak Adiva."Jadi fotografer lagi?" keluh Arya. Kedua remaja cewek itu hanya cengengesan saja. Akhirnya Arya mengikuti mereka. Rumah makan ini tempatnya sangat bagus, dengan taman-taman yang cantik. Wajar saja kalau Adiva dan Lea sibuk mau berfoto."Jadi kamu setuju?" tanya Ray melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda tadi."Setuju apa?" Aku pura-pura lupa, hihi… mau menguji Ray saja.Belum sempat Ray menjawab, pegawai rumah makan datang mengantarkan pesanan kami."Terima kasih," kataku pada pegawai tadi."Oh, jadi ini pilihanmu, Ray?" Sebuah suara mengagetkan kami. Aku menoleh, ternyata Frida bersama seorang temannya. Frida dengan wajah yang marah menatapku tajam. Aku h
Ray mengajakku masuk ke sebuah kompleks perumahan. "Kemana kita?" tanyaku. Ray hanya diam saja. Semuanya serba misteri dan penuh kejutan."Sudah sampai, ayo turun," ajak Ray."Rumah siapa ini?" tanyaku dengan penasaran.Sebuah rumah minimalis yang sangat asri, ada beberapa bunga di depannya."Nanti jadi rumah kita," goda Ray."Ada siapa dirumah? Aku nggak mau kalau hanya kita berdua, padahal nggak ngapa-ngapain. Nanti tahu-tahu di grebek orang, malah viral.""Haha, kamu mau kita ngapa-ngapain gitu ya?" goda Ray."Bukan.""Ada Mbak Siti yang suka bantu-bantu di rumah. Kalau sudah selesai ia pulang. Tapi hari ini aku minta dia untuk pulang agak sore, jadi ada kita bertiga di dalam rumah."Ray turun dari mobil, aku pun mengikutinya."Oh, Bapak sudah pulang?" tanya perempuan muda yang bekerja sebagai ART."Iya, Mbak. Kenalkan ini Hanum."Aku pun berkenalan dengan Siti."Tolong buatkan minum ya, Mbak?" pinta Ray."Iya, Pak."Ray mengajakku duduk di ruang keluarga. Aku memandang sekeliling
"Jadi kalian hanya berduaan disini, ya? Ngapain saja?" selidik Jessica."Apa urusannya denganmu?" tanya Ray."Jelas ada urusannya denganku. Aku nggak rela kalau Lea punya Ibu tiri yang murahan. Mau-maunya diajak ke rumah seorang duda, hanya berdua saja. Seorang janda dan duda di dalam rumah, ngapain coba?" sindir Jessica. Mukaku merah padam mendengar ucapan Jessica. Jessica memang cantik, tapi sayang etikanya tidak ada."Nggak usah ikut campur urusanku," sahut Ray. Jessica menunjukkan wajah yang tidak suka karena perkataan Ray.Lea keluar dari kamarnya dan bergabung bersama dengan kami. "Ini ya calon Ibu tirimu, Lea? Melihat penampilannya, Mama yakin kalau dia mendekati papamu hanya untuk menumpang hidup," ejek Jessica."Jessica, jangan mempengaruhi Lea. Kamu nggak berhak memberi pendapat apapun tentang Hanum." Ray berkata dengan emosi yang tertahan. "Pak, saya mau pulang," pamit Siti yang baru keluar dari dapur."Kamu sudah bawa sayur dan lauk?" tanya Ray."Sudah, Pak. Terima kasih
Aku membuka pintu depan, karena tadi ada yang mengetuk pintu. Begitu pintu dibuka, aku kaget melihat siapa yang datang."Boleh aku masuk?" tanya Jessica."Oh, silahkan.""Nggak usah kaget kalau aku datang kesini. Aku hanya ingin melihat-lihat kondisi calon ibu tiri Lea. Ternyata benar ya, kalau kamu disini masih mengontrak. Aku heran, kok bisa-bisanya Ray terpincut padamu. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?" kata Jessica."Atau jangan-jangan kamu sudah memberikan pelayanan ekstra pada Ray, ya? Namanya juga seorang janda, sudah lama anunya nggak dipake. Daripada mubazir, ya diumpankan saja pada Ray. Terus kamu menjebak Ray supaya ia menikahimu, begitu kan?" sinis Jessica."Mbak kalau kesini hanya untuk menghinaku, lebih baik pergi saja. Aku nggak ada urusan dengan Mbak.""Jangan panggil aku Mbak, aku tidak setua kamu. Tentu saja kamu ada urusan denganku. Aku ini ibu kandungnya Lea dan Lita. Sedangkan kamu, calon ibu tiri mereka. Aku harus tahu, siapa calon istri Ray. Aku nggak mau ka