"Jadi kalian hanya berduaan disini, ya? Ngapain saja?" selidik Jessica."Apa urusannya denganmu?" tanya Ray."Jelas ada urusannya denganku. Aku nggak rela kalau Lea punya Ibu tiri yang murahan. Mau-maunya diajak ke rumah seorang duda, hanya berdua saja. Seorang janda dan duda di dalam rumah, ngapain coba?" sindir Jessica. Mukaku merah padam mendengar ucapan Jessica. Jessica memang cantik, tapi sayang etikanya tidak ada."Nggak usah ikut campur urusanku," sahut Ray. Jessica menunjukkan wajah yang tidak suka karena perkataan Ray.Lea keluar dari kamarnya dan bergabung bersama dengan kami. "Ini ya calon Ibu tirimu, Lea? Melihat penampilannya, Mama yakin kalau dia mendekati papamu hanya untuk menumpang hidup," ejek Jessica."Jessica, jangan mempengaruhi Lea. Kamu nggak berhak memberi pendapat apapun tentang Hanum." Ray berkata dengan emosi yang tertahan. "Pak, saya mau pulang," pamit Siti yang baru keluar dari dapur."Kamu sudah bawa sayur dan lauk?" tanya Ray."Sudah, Pak. Terima kasih
Aku membuka pintu depan, karena tadi ada yang mengetuk pintu. Begitu pintu dibuka, aku kaget melihat siapa yang datang."Boleh aku masuk?" tanya Jessica."Oh, silahkan.""Nggak usah kaget kalau aku datang kesini. Aku hanya ingin melihat-lihat kondisi calon ibu tiri Lea. Ternyata benar ya, kalau kamu disini masih mengontrak. Aku heran, kok bisa-bisanya Ray terpincut padamu. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?" kata Jessica."Atau jangan-jangan kamu sudah memberikan pelayanan ekstra pada Ray, ya? Namanya juga seorang janda, sudah lama anunya nggak dipake. Daripada mubazir, ya diumpankan saja pada Ray. Terus kamu menjebak Ray supaya ia menikahimu, begitu kan?" sinis Jessica."Mbak kalau kesini hanya untuk menghinaku, lebih baik pergi saja. Aku nggak ada urusan dengan Mbak.""Jangan panggil aku Mbak, aku tidak setua kamu. Tentu saja kamu ada urusan denganku. Aku ini ibu kandungnya Lea dan Lita. Sedangkan kamu, calon ibu tiri mereka. Aku harus tahu, siapa calon istri Ray. Aku nggak mau ka
Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Mas Fahmi dan Dinda. Kok bisa Dinda pergi dengan suaminya? Bukankah Dinda tinggal bersama orang tuanya? Kenapa aku nggak menghubungi Lisa saja ya?[Lisa, kemarin Ibu bertemu dengan Dinda. Tapi ia pergi bersama Andrian dan anak mereka. Apakah mereka sudah berbaikan? Bukankah Dinda tinggal bersama orang tuanya?] Aku mengirim pesan pada Lisa.Tak butuh waktu lama, Lisa pun membalas pesan dariku.[Maaf, Bu. Saya nggak tahu. Apalagi Bu Dinda sudah dipindah ke kantor lain. Memang setahu saja Bu Dinda tinggal bersama orang tuanya. Nanti saya cari informasinya ya Bu?][Oke.]Semoga Lisa mendapatkan informasinya. Entah kenapa kok aku kepo dengan mereka."Ngapain aku sibuk dengan urusan mereka? Urusanku saja masih banyak," kataku sambil tertawa kecil.***"Aku takut bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?" Aku berkata dengan pelan.Hari ini aku diajak Ray bertemu orang tuanya. Aku sangat deg-degan, takut dengan pikiranku se
Tampaknya mamanya Ray segan dengan suaminya, akhirnya duduk lagi."Ada yang mau kamu bicarakan Ray?" tanya mamanya Ray."Mama, Ray kesini kan mau memperkenalkan Hanum dengan Mama dan Papa, biar menjadi lebih dekat. Bagaimanapun juga Hanum ini calon istri Ray." Ray menjelaskan."Sudah Mama bilang, Ray. Kalau Mama maunya kamu menikah dengan Frida bukan dengan yang lainnya. Apalagi dengan Dia. Lihatlah, dia jauh berbeda dengan Frida. Tidak ada apa-apanya, apalagi dia hanya guru TK. Berapa sih penghasilannya. Apa kamu nggak malu dengan teman-temanmu ketika memperkenalkan dia?" kata mamanya Ray meremehkanku. Aku sangat tersinggung."Ma, jangan menilai orang dari penampilannya. Penampilan bisa menipu." Papanya Ray angkat bicara."Jangan harap Mama merestui kamu menikah dengan dia." Mamanya Ray tetap pada pendiriannya."Ma, apa Mama nggak kapok menjodohkan Ray? Dulu Mama menjodohkan Ray dengan Jessica, yang kata Mama, orangnya baik. Ternyata apa? Jessica selingkuh," kata Ray pada mamanya."J
Aku menangis tersedu-sedu, mengingat kejadian tadi. Aku merasa sangat terhina karena direndahkan oleh mamanya Ray. Mentang-mentang orang kaya, angkuhnya luar biasa. Harta, kekayaan dan tingkat sosial tidak dibawa mati, untuk apa disombongkan. Aku juga takut jika Frida berbuat nekat padaku, terutama jika sampai menyakiti anak-anakku."Inilah yang aku takutkan. Semua menjadi nyata. Ray, lebih baik kita tidak usah bersama. Kita cari jalan sendiri-sendiri. Aku dengan kehidupanku dan kamu dengan kehidupanmu sendiri." Aku berkata sambil terisak-isak."Hanum, aku nggak suka kamu berkata seperti itu. Kita berjuang bersama. Sesulit apapun itu, selama bersamamu, aku akan terus berjuang." Ray tetap menyemangati ku."Aku nggak sanggup. Keluargamu sangat berbeda denganku. Kita beda level. Aku tidak mau jadi bulan-bulanan dan objek penderita." Aku masih terus terisak."Hanum, keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap memilihmu menjadi pendamping hidupku. Apapun yang terjadi."Aku memandangnya, kemudi
Pulang dari sekolah, aku sengaja ke rumah Bapak. Ingin ngobrol-ngobrol dengan mereka. Aku ingin menceritakan tentang Ray pada Bapak dan Ibu. Meminta pendapat mereka tentang keputusanku ini.Dulu aku selalu terbuka dengan Bapak dan Ibu. Sampai sekarang aku masih merasa tetap sebagai putri kecil Bapak, terbiasa bermanja-manja dengan Bapak. Bapak adalah cinta pertamaku. Dulu aku berangan-angan, ingin memiliki suami yang sifatnya seperti Bapak. Bapak yang tidak pernah marah, selalu menegur dengan lembut ketika aku melakukan kesalahan. Memasuki halaman rumah Bapak, masih tampak asri. Sudah lama aku tidak kesini, mungkin satu bulan atau lebih. Tapi komunikasi tetap lancar."Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam sambil berusaha membuka pintu rumah."Waalaikumsalam." Terdengar Ibu menjawab salamku dan suara pintu dibuka. Aku tersenyum mendengar suara Ibu, alhamdulillah, ibu ada di rumah.Aku sangat kaget, karena yang membuka pintu itu Mbak Hani. Senyumku langsung memudar, melihat sosok di
Azan subuh berkumandang, tapi entah kenapa mata ini sulit untuk dibuka. Bisikan-bisikan setan mendayu-dayu, membuatku semakin sulit membuka mata. Setan pasti bersorak, berhasil menggoda salah satu umat manusia, yaitu aku. Semakin aku coba untuk membuka mata, semakin lengket mata ini. Aku menangis, mengapa mataku tidak bisa dibuka? Aku berteriak sekuat tenaga, tapi kenapa tidak ada yang datang kesini membantuku? "Arya, Adiva," jeritku sekuat tenaga.Tidak ada tanda-tanda mereka datang kesini, aku hanya bisa pasrah."Ibu kenapa?" tanya Adiva mengagetkanku. Mataku perlahan aku paksa untuk membuka. Kepalaku terasa berputar terus. Aku memegang kepalaku."Ibu kenapa? Adiva mengagetkan Ibu ya? Dari tadi Ibu kok belum keluar dari kamar. Adiva penasaran, makanya Adiva kesini. Biasanya pagi-pagi Ibu sudah bangun" Adiva menjelaskan."Ibu nggak apa-apa. Tolong ambilkan obat vertigo Ibu ya?" pintaku dengan suara pelan."Iya, Bu," kata Adiva sambil membuka laci tempat obatku berada. Kemudian meny
Aku terbangun dari tidur, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul satu siang. Berarti aku tertidur cukup lama. Kuambil ponsel di sebelahku, ada beberapa panggilan dan pesan. Ku buka satu-persatu pesan yang ada.[Assalamualaikum, calon istriku.][Sibuk ya, kok nggak sempat balas pesanku?][Dimana Sayang?]Pesan beruntun dari Ray. Terkirim jam sepuluh pagi.[Waalaikumsalam. Maaf baru sempat buka ponsel.]Centang satu, berarti ponselnya tidak aktif. Mungkin masih sibuk. Aku pun membaca pesan yang lain, ternyata dari Lisa, yang belum lama dikirimnya.[Bu, Bu Dinda sudah melahirkan, perempuan. Prematur, sekarang bayinya masih di inkubator.][Berarti belum cukup umur ya bayinya.][Iya, Bu. Operasi cesar, karena tekanan darah Bu Dinda tinggi, takutnya nanti malah membahayakan Ibu dan Anak.][Oh, begitu, ya? Memangnya Bu Dinda punya penyakit tekanan darah tinggi ya?][Kayaknya enggak, Bu. Mungkin Bu Dinda stress banyak pikiran. Apalagi sejak tinggal bersama Pak Andrian, kemana-mana selalu di
Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.
"Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"
Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer
Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya
Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel
"Nggak ada, kok, Num. Memangnya ada apa?" kilah Mbak Hani."Mbak, nggak usah bohong. Aku sudah tahu semuanya. Aku kan pernah nanya sama Mbak Hani, apa Mbak Hani sakit. Tapi jawaban Mbak Hani, nggak apa-apa, hanya kurang tidur saja. Apa Mbak Hani mau cerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya?"Mbak Hani hanya diam saja."Mbak aku sering memperhatikan Mbak Hani. Aku merasa ada yang lain dari Mbak Hani. Kulihat Mbak Hani badannya menyusut dan terlihat tidak bercahaya. Mbak, aku sayang sama Mbak Hani, tidak mau terjadi apa-apa pada Mbak Hani. Karena itu aku mencari informasi tentang Mbak Hani. Apa Bapak dan Ibu tahu? Mas Hanif, tahu juga?"Mbak Hani menghela nafas panjang."Nggak ada yang tahu, Num. Aku nggak mau membebani mereka.""Bukannya membebani, Mbak. Tapi kalau mereka tahu mereka akan merasa dibutuhkan, bisa untuk saling bertukar pikiran. Aku yakin, mereka pasti akan kesal kalau sampai tahu dari orang lain.""Aku bingung mau memulai dari mana untuk menjelaskan pada mereka." "Bic
Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Mas Fahmi bersama Dinda dan anak mereka. Aku tersenyum."Mas Fahmi," sapaku sambil tersenyum ke arahnya. Dinda diam, tampak wajah yang tidak bersahabat. Memandangku tak berkedip."Apa kabar Hanum," kata Mas Fahmi."Kabar baik. Kenalin Mas ini suamiku," kataku pada Mas Fahmi."O ya. Fahmi, ini Dinda." Mas Fahmi memperkenalkan istrinya."Ray." Mas Ray mengulurkan tangannya."Kami duluan ya, Mas?" pamitku."Oh iya." Mas Fahmi menjawab dengan gugup.Aku dan Mas Ray pun masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan rumah makan."Kok diam saja?" tanya Mas Ray. Kamu memang hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku terasa buntu, banyak sekali yang aku pikirkan."Terus harus ngapain?" "Ngobrol kek, atau apa.""Mas yang ngomong, nanti aku dengar," kataku.Mas Ray hanya diam, kebetulan juga sudah sampai rumah. Aku turun dari mobil, kemudian membuka pintu pagar dan membuka pintu rumah. Meletakkan makanan yang tadi aku beli di meja makan.
Dokter Fajar menarik nafas panjang dan kemudian berkata padaku."Begini Mbak Hanum, Ibu Hanifah Zahira menderita penyakit hipertiroidisme.""Penyakit apa itu dokter?" tanyaku, karena memang aku kurang paham. Lebih baik aku bertanya daripada sok tahu."Penyakit hipertiroidisme adalah gangguan yang terjadi saat kadar hormon tiroksin dalam tubuh terlalu tinggi. Hormon tiroksin yang diproduksi oleh kelenjar tiroid ini memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh. Jika kadarnya berlebihan, maka proses metabolisme pun akan terganggu. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami gejala berupa: tremor,turunnya berat badan, mudah berkeringat,gangguan tidur, gugup, cemas, dan mudah tersinggung, jantung berdebar.""Yang saya tahu Mbak Hani itu berat badannya turun dan mengalami gangguan tidur." Aku berkata dengan pelan."Iya, Ibu Hanifah mengalami yang Mbak Hanum sebutkan tadi." Dokter Fajar menambahi."Apa penyakit ini bisa sembuh?" tanyaku lagi."Bisa, pengobatan rutin selama enam bula