"Mbak Hanum," panggil seseorang yang membuatku menoleh ke arah suara itu. Ternyata Wita yang memanggilku.Kami pun cipika-cipiki ketika Wita sudah mendekat."Ngapain kamu kesini?" tanyaku."Ini lho Mbak, memperpanjang SIM," jawab Wita,"Mbak sendiri ngapain kesini?" Aku bingung mau menjawab apa, kalau aku jujur, pasti ia kecewa."Ada sedikit urusan dengan teman lama?" jawabku dengan hati-hati."Cowok apa cewek?" goda Wita sambil melirik genit padaku."Ish kamu kenapa sih." Aku merona."Mbak, Mbak Hanum kan sudah berpisah dengan Mas Fahmi. Mbak Hanum berhak untuk bahagia. Mbak Hanum masih cantik kok, pasti ada yang mau dengan Mbak Hanum.""Belum mikir kesitu, Wita. Fokusku sekarang adalah anak-anak.""Tapi apa salahnya, kalau ada laki-laki yang serius dan Mbak Hanum sreg dengan orang itu. Kenapa enggak? Apalagi kalau anak-anak setuju, gas poll Mbak.""Kayak motor saja," jawabku sambil tertawa."Kalau hari bahagia itu datang, kabari Wita ya Mbak. Wita juga ingin berbahagia bersama Mbak
"Kamu ini sibuk dengan ponsel terus. Apa kamu nggak lihat, kalau dokter itu ngeliatin kamu terus?" tanya Mbak Sarah."Apa iya Mbak. Dia tadi kan sedang ngobrol dengan Mbak, nggak ada urusannya sama aku." "Apa saling mengenal?" "Sebenarnya iya, tapi karena tadi dia cuek saja sama aku, ya aku diam saja. Nanti kalau aku menyapanya, tapi dia jaim di depan para perawat, bisa malu aku.""Kamu ada masalah dengannya?""Tidak ada masalah apa-apa, Mbak. Dia itu temannya Opik. Aku dikenalkan oleh Opik ketika aku kesini menemuinya. Selebihnya nggak ada urusan apa-apa"Kok Mbak nggak percaya ya? Pasti ada sesuatu antara kalian. Karena ketika kamu sibuk dengan ponsel, wajahnya seperti tidak senang. Walaupun ia menutupinya dengan bercerita bersama Naufal. Tapi tetap saja, masih kelihatan.""Benar Mbak, nggak ada apa-apa. Hanya beberapa kali bertemu dengannya. Pernah juga ditraktir makan ketika aku sedang makan sama Adiva.""Dia punya istri atau duda?" selidik Mbak Sarah."Duda.""Pantas saja," gum
"Sudahlah Ray, nggak usah membuatku berharap banyak pada dirimu. Kita sudah dewasa, sama-sama single parent. Aku rasa kita nggak bisa berteman baik atau teman dekat. Apa kata orang akan kedekatan kita nanti. Lebih baik kita hanya saling kenal saja, say hello kalau bertemu. Nggak usah lebih dari itu. Terima Kasih sudah mentraktirku hari ini. Aku harap ini yang terakhir kali kita pergi berdua. Kalau diteruskan, nanti malah menimbulkan banyak masalah.""Maksudmu apa, sih?" tanya Ray."Bukankah kamu sudah punya calon istri? Frida?""Dia bukan calon istriku.""Coba tanya pada Frida, apa yang sudah ia lakukan terhadap Arya?""Arya?""Iya. Dan satu lagi, aku mendengar sendiri kamu berkata pada Opik kalau kamu hanya kasihan padaku, hanya menganggapku teman saja. Jadi nggak usah sok merayuku lagi, berkata-kata yang membuatku bisa terbang ke awan, lalu kau hempaskan aku ke bumi. Sakit rasanya.""Aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu bicarakan.""Oke sekarang begini, apa maksud kamu selalu
Memasuki kamar perawatan Naufal, aku dikagetkan dengan kehadiran Mas Hanif. Kupikir Mas Hanif kerja, ternyata ia ada disini."Mas Hanif nggak kerja?" tanyaku."Izin, Num. Kamu sudah pulang dari sekolah?" sahut Mas Hanif."Iya, Mas. Langsung kesini." Aku pun segera duduk di sofa yang tersedia."Mbak Sarah kemana?" tanyaku karena aku tidak melihat sosok perempuan lembut nan bersahaja itu."Sedang ke kamar mandi.""Oh…." "Num, apa dokter Ray yang menangani Naufal itu, Ray yang waktu itu?" tanya Mas Hanif. Mbak Sarah yang keluar dari kamar mandi langsung berkomentar."Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui?" tanya Mbak Sarah."Hanum pernah kencan dengan Ray." Mas Hanif berkata pada Mbak Sarah."Bukan, Mbak. Hanya kebetulan saja." Aku berusaha menjelaskan, takut terjadi kesalahpahaman."O ya? Kebetulan katamu? Kemarin Mas lihat kamu boncengan motor berdua dengan Ray," kata Mas Hanif sambil menatapku, membuatku sangat gugup.Aku kaget, berarti Mas Hanif kemarin melihatku. Mukaku mer
Opik segera menatap Ray kemudian bergantian menatapku. "Apa aku ketinggalan informasi?" tanya Opik."Enggak, Pik. Maksudku hanya meminta pendapat dokter Ray saja." Mas Hanif menjelaskan arti ucapannya."Oooh, ya sudah. Eh kami keluar dulu ya? Apa kamu masih mau disini, Ray?" tanya Opik."E...enggak, mau keluar juga," sahut Ray dengan gugup.Akhirnya mereka berdua pamitan dan keluar dari ruangan Naufal.Tiba-tiba pintu dibuka lagi, ada Opik yang nongol."Num, nanti keruanganku ya?" kata Opik."Iya.""Awas kalau enggak," kata Opik pura-pura mengancam."Iyaaaa," jawabku lagi yang langsung dibalas dengan tawa Opik."Kalian berdua pernah berantem nggak? Kamu sama Opik," tanya Mbak Sarah."Pernah dong Mbak, apalagi berbeda pendapat.""Mbak salut dengan persahabatan kalian. Awet.""Alhamdulillah, Mbak.""Num, kamu mau makan? Ini lho ada nasi," kata Mas Hanif."Enggak Mas, Hanum mau ke ruangan Opik. Siapa tahu nanti ditraktir makan siang," kataku sambil tertawa."Halah, bilang saja kamu mau
Adiva diam, tidak memberi jawaban. "Ikut Ibu atau enggak?" tanyaku lagi."E...e...." Adiva bingung menjawabnya."Kamu mau pulang bareng temanmu? Ya sudah."Aku yang sudah mulai emosi, akhirnya menghidupkan mesin motor dan pergi meninggalkan Adiva. Aku sangat kecewa sekali, maksud hati ingin memberinya kejutan dengan menjemputnya. Ternyata malah aku yang terkejut. Diperjalanan aku mikir, enaknya kemana ya? Aku belum mau pulang, takut Mas Fahmi datang ke rumah.Motor kuhentikan dipinggir jalan, tempat orang jualan es kelapa muda. Aku duduk di salah satu bangku, dan memesan es kelapa muda. Siapa tahu dengan minum es kelapa muda, pikiranku jadi lebih tenang. Sambil menunggu pesanan, aku membuka ponselku ternyata ada lima panggilan tak terjawab dari Mas Fahmi. Apa sih maunya Mas Fahmi, aku penasaran. Tapi kan sudah bukan urusanku lagi. "Ini Bu, esnya," kata penjual es kelapa muda sambil meletakkan es kelapa muda di meja."Terima kasih, Mbak," kataku sambil meletakkan ponselku. Kuseruput
Aku terkejut bukan kepalang mendengarkan perkataan Adiva. Hatiku tersayat-sayat, tidak mungkin aku sanggup menyerahkan Adiva pada ayahnya. Sedangkan ayahnya sekarang sedang bergulat dengan masalahnya sendiri. Mataku mulai berembun."Jadi kamu menyesal tinggal dengan Ibu? Kamu mau tinggal dengan Ayah? Tapi ayahmu sekarang tinggal di rumah Yang Ti, kamu mau tinggal di sana? Silahkan kalau kamu mau kesana. Ayo telpon ayahmu, supaya ayahmu menjemput. Kalau kamu pergi kesana sendiri, tidak Ibu izinkan. Tapi kalau dijemput ayahmu, akan Ibu izinkan. Nih ponselnya, silahkan telpon ayahmu," tanyaku dengan tegas sambil menyerahkan ponselnya.Adiva mengambil ponsel yang aku berikan, tapi ia masih terdiam."Kenapa nggak jadi menelpon? O, Ibu tahu, kamu malu ya menelpon ayahmu kalau ada Ibu. Oke, Ibu keluar. Nanti kalau ayahmu menjemput, panggil Ibu." Aku berkata sambil menahan sesak di dadaku. Rasanya mau menangis saat ini juga. Aku keluar dari kamar dan masuk ke kamar mandi, menangis sepuasnya.
Deg! Ternyata benar, itu adalah Dinda. Semoga ia tidak melihatku. Aku malas ribut. Aku berusaha untuk tenang, dengan cara memilih baju-baju yang ada di depanku. Ternyata ada yang cocok, sesuai juga dengan isi kantongku."Mbak, aku ini saja ya?" kataku pada pegawai Mbak Rida."Mau dicoba, Bu?" "Boleh.""Mbak, dicoba saja di ruangan saya. Arum, antar Mbak Hanum ke ruangan saya, ya?" kata Mbak Rida yang tiba-tiba muncul di depanku."Iya, Bu. Mari Bu, saya antar," kata perempuan bernama Arum itu.Aku berjalan dengan deg-degan, jangan sampai Dinda melihatku. Sampai juga aku di ruangan Mbak Rida. Kulihat ada beberapa tumpuk baju yang masih dibungkus plastik. Aku segera mencoba pakaian yang tadi aku pilih. Setelah bercermin aku merasa cocok."Mbak, saya ambil yang ini, ya?" kataku."Baik, Bu." Kata Arum sambil keluar menuju ke kasir. Aku pun mengikutinya."Gimana Mbak Hanum? Cocok?" tanya Mbak Rida."Iya, Mbak. Saya ambil ini.""Hanum?" kata seorang perempuan, aku menoleh, ternyata Dinda. H