Alana terduduk di kursi interogasi, tubuhnya lemas, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan keputusasaan mencengkeram hatinya. "Aku di penjara ...," gumamnya, suara lirihnya hanya terdengar oleh dirinya sendiri.Tiba-tiba, sebuah ide licik muncul di benaknya. Ia ingat, di kantor polisi ini pasti ada telepon. Ia harus menghubungi Papa dan Mamanya.Dengan tangan gemetar, ia meraih telepon di meja interogasi setelah meminta izin dan diizinkan oleh petugas. "Halo, Papa? Ini aku, A-Alana," suaranya bergetar, menahan tangis."Alana? Ada apa, Sayang? Ada apa ..?! Kok pakai nomor telepon kantor polisi, kamu baik-baik saja 'kan?!" Rudi, terdengar panik di seberang telepon."Pa ... Papa, aku di kantor polisi. Aku ditangkap karena dituduh melakukan kejahatan." Alana terisak, suaranya teredam oleh isakannya."Hah? Apa? Kenapa kamu ditangkap? Ceritakan semuanya!" Rudi terdengar semakin panik."Aku ... aku tidak sengaja melakukan itu, Pa. Darren menuduhku menjebaknya dan menyuruh Wilda untuk mer
Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi ini, Darren bersiap-siap untuk menghadiri sidang kasus Alana. Ia mengenakan setelan jas rapi, wajahnya tampak tegang, tetapi matanya memancarkan tekad yang kuat. Ia bertekad untuk menuntut Alana atas semua perbuatannya.Sementara Wilda, karyawan yang disuruh Alana untuk merusak gaun rancangan Nadia, sudah dipecat. Meskipun Wilda memohon dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, Darren tetap bersikeras untuk memecatnya. Ia tidak mau mengambil risiko. Ia tidak ingin ada lagi orang yang mencoba untuk menghancurkan bisnisnya dan keluarganya.Darren berharap sidang hari ini akan menjadi titik akhir dari semua drama yang telah terjadi. Ia ingin Alana mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Mobil mewah Darren berhenti tepat di depan gedung pengadilan yang megah. Darren keluar dari mobil, wajahnya tetap tegang, tetapi matanya memancarkan tekad yang kuat. Ia langsung masuk ke gedung pengadilan, diikut
Mobil mewah Darren berhenti di depan rumah Jacob, asisten pribadinya. Darren keluar dari mobil, wajahnya tampak lelah, tetapi matanya memancarkan senyum puas. Ia langsung masuk ke rumah Jacob tanpa menunggu sambutan."Jacob, aku butuh minuman," ujar Darren.Jacob yang sedang menonton televisi di ruang tamu langsung berdiri dan menuju dapur. Ia mengambil sebotol wiski favorit atasannya itu dan dua buah gelas."Pak, ada apa sampai siang panas-panas begini datang ke sini?" tanya Jacob sambil menuangkan wiski ke dalam gelas."Aku ingin bercerita tentang Alana," jawab Darren sambil menerima gelas wiski dari Jacob.Darren menceritakan semuanya kepada Jacob, mulai dari proses persidangan hingga putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun untuk Alana. Ia juga menjelaskan alasannya tidak memenjarakan Rudi dan Rahayu."Aku sengaja tidak memenjarakan Om Rudi dan Tante Rahayu.
Mentari pagi menyinari gedung pencakar langit tempat Rudi menjalankan perusahaannya. Ia melangkah dengan percaya diri menuju ruang rapat, di mana para investor sudah menunggunya. Senyum ramah terukir di wajahnya, ia berharap rapat hari ini akan berjalan lancar seperti biasanya.Namun, suasana yang menyambut Rudi sangat berbeda. Tatapan para investor menyalang ke arahnya, menyertakan suasana yang tegang dan mengancam. Rudi menatap satu persatu investor, merasa ada yang aneh. Ia mencoba menebak apa yang terjadi."Ada apa ini?" tanya Rudi, suaranya berusaha tetap tenang meskipun hatinya mulai berdebar kencang. "Kenapa kalian memandangku seperti itu?"Seorang investor berkumis tebal menjawab dengan nada tajam, "Pak Rudi, apa benar kalau perusahaan Anda sedang kolaps?"Pertanyaan itu mengejutkan Rudi. Ia terkejut dan menyangkal dengan keras. "Tentu saja tidak! Perusahaan ini baik-baik saja. Kenapa A
Mobil mewah Darren berhenti di depan butik milik Nadia. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk, matanya mencari sosok istrinya."Nadia," panggil Darren dengan suara yang lembut, kakinya melangkah menuju meja kasir. Tampak wanitanya tengah mencatat sesuatu di sana.Ya, Nadia memang terlihat lebih suka berinteraksi dengan pelanggan dibandingkan diam saja di ruangan manager kalau tidak sedang membuat desain."Masih sibuk?" tanyanya lagi saat sudah tiba di depan meja kasir.Nadia yang mendengar suara suaminya segera menoleh. Senyum hangat terukir di wajahnya saat menatap Darren."Kak, kamu sudah datang?" tanya Nadia dengan suara yang gembira. "Aku mau mencatat beberapa pesanan, tadi ada yang minta dibikinkan seragam. Syukurlah ... aku senang sekali."Darren turut terkekeh melihat wajah sumringah wanita cantik itu. "Iya, Nad. Tapi jangan terlalu kelelahan, ya. Kamu sedang hamil muda."Nadia mengangguk, toh ia juga tidak melupakan kondisinya yang
Pintu ruangan rawat terbuka, menyeruak masuk Darren dengan wajah yang penuh harap. Ia langsung menghampiri Nadia yang terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat pasi."Nad, Sayang," panggil Darren dengan suara yang lembut, mencoba menenangkan Nadia yang terlihat panik. "Aku di sini, kamu gak usah takut."Nadia menatap Darren dengan tatapan penuh ketakutan. "Kak, aku takut. Aku takut kehilangan calon anak kita," ujarnya dengan suara yang gemetar.Darren menarik tangan Nadia dan mencengkeramnya lembut. "Gak akan terjadi apa-apa, Sayang. Aku janji," ucap Darren dengan nada tegas. "Kamu hanya perlu istirahat total di rumah. Dokter bilang kamu kelelahan. Aku akan urus semuanya sekarang, mulai butik dan keperluan rumah. Kamu cukup duduk manis saja, ya.."Nadia menangguk lesu. Tubuhnya masih terasa lemas. Ia percaya pada Darren, mau tidak mau ia harus menuruti ucapan Dokter yang memintanya istirahat total."Aku ingi
Udara di dalam sel terasa pengap, seperti menelan napas di dalam rongga dada yang sempit. Mella duduk di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding dingin yang berlumuran cat mengelupas. Matanya terpejam, tetapi bayangan putrinya terus berputar-putar di kepalanya. Wajah pucat Tania, dengan luka sayatan di pergelangan tangan, membuat Mella meringkuk ketakutan."Tania ... anakku ...." Mella terus merintih, suaranya serak karena tangis yang tak kunjung reda.Kabar kematian Tania baru saja sampai padanya, disampaikan oleh petugas penjara Ia menjadi saksi bagaimana hancurnya Tania selama ini, tak menyangka kalau pada akhirnya putrinya lebih memilih menyerah mengakhiri hidup. Meninggalkannya sendirian di penjara. "Bunuh diri?" gumamnya yang masih tak percaya. Mella bangkit, berjalan mondar-mandir di dalam sel sempitnya. "Tidak! Tidak mungkin! Tania ... anakku ... anakku!" teriaknya, suaranya bergema di dalam ruangan. Tangannya mengepal erat, memukul-mukul jeruji besi yang m
Raka terbangun karena getaran ponselnya yang berdering di atas nakas. Matanya masih berat, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang di kamarnya. Ia melihat jam di layar ponselnya yang menunjukkan pukul dua pagi. Siapa yang menelepon di jam segini? Ia meraih ponselnya dan melihat nama "Polisi" tertera di layar. Raka mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan hingga polisi meneleponnya di tengah malam. "Halo?" suaranya serak karena baru bangun tidur. "Bapak Raka? Ini dari kepolisian. Kami ingin menyampaikan kabar duka." Suara petugas polisi terdengar formal dan penuh simpati. Raka terdiam, menunggu petugas polisi melanjutkan kalimatnya. "Ibu Mella, ibu dari Bu Tania ... baru saja dinyatakan meninggal dunia." Raka terkesiap, menarik napas dalam-dalam. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan. "Meninggal? Bagaimana bisa?" tanyanya, suaranya terdengar datar. "Kami menduga Ibu Mella bunuh diri. Beliau di