Mobil mewah Darren berhenti di depan rumah Jacob, asisten pribadinya. Darren keluar dari mobil, wajahnya tampak lelah, tetapi matanya memancarkan senyum puas. Ia langsung masuk ke rumah Jacob tanpa menunggu sambutan."Jacob, aku butuh minuman," ujar Darren.Jacob yang sedang menonton televisi di ruang tamu langsung berdiri dan menuju dapur. Ia mengambil sebotol wiski favorit atasannya itu dan dua buah gelas."Pak, ada apa sampai siang panas-panas begini datang ke sini?" tanya Jacob sambil menuangkan wiski ke dalam gelas."Aku ingin bercerita tentang Alana," jawab Darren sambil menerima gelas wiski dari Jacob.Darren menceritakan semuanya kepada Jacob, mulai dari proses persidangan hingga putusan hakim yang menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun untuk Alana. Ia juga menjelaskan alasannya tidak memenjarakan Rudi dan Rahayu."Aku sengaja tidak memenjarakan Om Rudi dan Tante Rahayu.
Mentari pagi menyinari gedung pencakar langit tempat Rudi menjalankan perusahaannya. Ia melangkah dengan percaya diri menuju ruang rapat, di mana para investor sudah menunggunya. Senyum ramah terukir di wajahnya, ia berharap rapat hari ini akan berjalan lancar seperti biasanya.Namun, suasana yang menyambut Rudi sangat berbeda. Tatapan para investor menyalang ke arahnya, menyertakan suasana yang tegang dan mengancam. Rudi menatap satu persatu investor, merasa ada yang aneh. Ia mencoba menebak apa yang terjadi."Ada apa ini?" tanya Rudi, suaranya berusaha tetap tenang meskipun hatinya mulai berdebar kencang. "Kenapa kalian memandangku seperti itu?"Seorang investor berkumis tebal menjawab dengan nada tajam, "Pak Rudi, apa benar kalau perusahaan Anda sedang kolaps?"Pertanyaan itu mengejutkan Rudi. Ia terkejut dan menyangkal dengan keras. "Tentu saja tidak! Perusahaan ini baik-baik saja. Kenapa A
Mobil mewah Darren berhenti di depan butik milik Nadia. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk, matanya mencari sosok istrinya."Nadia," panggil Darren dengan suara yang lembut, kakinya melangkah menuju meja kasir. Tampak wanitanya tengah mencatat sesuatu di sana.Ya, Nadia memang terlihat lebih suka berinteraksi dengan pelanggan dibandingkan diam saja di ruangan manager kalau tidak sedang membuat desain."Masih sibuk?" tanyanya lagi saat sudah tiba di depan meja kasir.Nadia yang mendengar suara suaminya segera menoleh. Senyum hangat terukir di wajahnya saat menatap Darren."Kak, kamu sudah datang?" tanya Nadia dengan suara yang gembira. "Aku mau mencatat beberapa pesanan, tadi ada yang minta dibikinkan seragam. Syukurlah ... aku senang sekali."Darren turut terkekeh melihat wajah sumringah wanita cantik itu. "Iya, Nad. Tapi jangan terlalu kelelahan, ya. Kamu sedang hamil muda."Nadia mengangguk, toh ia juga tidak melupakan kondisinya yang
Pintu ruangan rawat terbuka, menyeruak masuk Darren dengan wajah yang penuh harap. Ia langsung menghampiri Nadia yang terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat pasi."Nad, Sayang," panggil Darren dengan suara yang lembut, mencoba menenangkan Nadia yang terlihat panik. "Aku di sini, kamu gak usah takut."Nadia menatap Darren dengan tatapan penuh ketakutan. "Kak, aku takut. Aku takut kehilangan calon anak kita," ujarnya dengan suara yang gemetar.Darren menarik tangan Nadia dan mencengkeramnya lembut. "Gak akan terjadi apa-apa, Sayang. Aku janji," ucap Darren dengan nada tegas. "Kamu hanya perlu istirahat total di rumah. Dokter bilang kamu kelelahan. Aku akan urus semuanya sekarang, mulai butik dan keperluan rumah. Kamu cukup duduk manis saja, ya.."Nadia menangguk lesu. Tubuhnya masih terasa lemas. Ia percaya pada Darren, mau tidak mau ia harus menuruti ucapan Dokter yang memintanya istirahat total."Aku ingi
Udara di dalam sel terasa pengap, seperti menelan napas di dalam rongga dada yang sempit. Mella duduk di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding dingin yang berlumuran cat mengelupas. Matanya terpejam, tetapi bayangan putrinya terus berputar-putar di kepalanya. Wajah pucat Tania, dengan luka sayatan di pergelangan tangan, membuat Mella meringkuk ketakutan."Tania ... anakku ...." Mella terus merintih, suaranya serak karena tangis yang tak kunjung reda.Kabar kematian Tania baru saja sampai padanya, disampaikan oleh petugas penjara Ia menjadi saksi bagaimana hancurnya Tania selama ini, tak menyangka kalau pada akhirnya putrinya lebih memilih menyerah mengakhiri hidup. Meninggalkannya sendirian di penjara. "Bunuh diri?" gumamnya yang masih tak percaya. Mella bangkit, berjalan mondar-mandir di dalam sel sempitnya. "Tidak! Tidak mungkin! Tania ... anakku ... anakku!" teriaknya, suaranya bergema di dalam ruangan. Tangannya mengepal erat, memukul-mukul jeruji besi yang m
Raka terbangun karena getaran ponselnya yang berdering di atas nakas. Matanya masih berat, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang di kamarnya. Ia melihat jam di layar ponselnya yang menunjukkan pukul dua pagi. Siapa yang menelepon di jam segini? Ia meraih ponselnya dan melihat nama "Polisi" tertera di layar. Raka mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan hingga polisi meneleponnya di tengah malam. "Halo?" suaranya serak karena baru bangun tidur. "Bapak Raka? Ini dari kepolisian. Kami ingin menyampaikan kabar duka." Suara petugas polisi terdengar formal dan penuh simpati. Raka terdiam, menunggu petugas polisi melanjutkan kalimatnya. "Ibu Mella, ibu dari Bu Tania ... baru saja dinyatakan meninggal dunia." Raka terkesiap, menarik napas dalam-dalam. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan. "Meninggal? Bagaimana bisa?" tanyanya, suaranya terdengar datar. "Kami menduga Ibu Mella bunuh diri. Beliau di
Di sebuah rumah mewah dengan interior minimalis, Darren duduk di meja makan, menikmati sarapannya dengan tenang. Nadia, istrinya, baru saja datang dari dapur membawa segelas susu hangat."Nad, Raka baru telepon. Katanya ... Bu Mella meninggal, dia bunuh diri kayak Tania. Tapi jenazahnya udah diurus sama Raka. Dimakamkan di pemakaman yang sama kayak Tania," jelas Darren yang membuat Nadia terhenyak kaget."Ya Tuhan ... Ibu ...." Nadia membekap mulut setelah menaruh susu ke atas meja. "Kasihan sekali."Meskipun Mella adalah ibu tiri yang selalu menyiksa dan menyakitinya dulu, tetapi hatinya iba juga mendapati Mella berakhir tragis mengakhiri hidupnya seperti yang dilakukan Tania.Darren hanya mengangguk singkat, matanya masih tertuju pada ponsel. Sedari tadi, ia terus berkoordinasi bersama Jacob sambil menyantap sarapan."Ya, sudahlah," jawabnya singkat, tanpa menunjukkan rasa iba sedikit pun. "Memang sudah waktunya meninggal, Nad."Nadia mengerutkan kening, merasa heran dengan s
Mentari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah. Udara dingin mencengkeram tubuh Darren saat ia melangkah keluar dari mobil sport mewahnya. Matanya menyipit, mengamati deretan mobil yang terparkir di halaman gedung. Pandangannya terhenti pada sebuah mobil sedan hitam yang familiar."Om Rudi," gumam Darren, senyum sinis mengembang di bibirnya. "Ternyata dia sudah datang."Ia berjalan mendekat, langkahnya pasti dan penuh percaya diri. Rudi yang baru saja keluar dari mobil, tampak terkejut melihat Darren. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin menetes di pelipisnya. Rahayu, istrinya, yang berada di sampingnya, terlihat geram."Berani-beraninya kau datang ke sini, hah ..! Masih punya muka juga kau?!" seru Rahayu, suaranya bergetar menahan amarah. Ia ingin langsung menerjang Darren, tetapi Rudi dengan sigap menahannya."Ma, tenanglah. Jangan buat masalah makin rumit," bisik Rudi, suaranya terdengar lirih.Darren hanya tersenyum sinis, menatap Rudi dengan tatapan tajam. "Ke
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka