Malam itu, Morne dengan hati-hati menyetir mobil yang ditumpangi Alesya dan ayahnya, Marco. Mereka pergi ke kediaman Roderick. Namun, tanpa disadari bahaya mengintai mereka. Anak buah Bella, yang menyimpan dendam pada Morne, telah merencanakan serangan balik.Lelaki gempal yang tadi mengancam Alesya di pinggir tebing itu mengejar mobil Morne, mengambil jalan pintas dan mulai melajukan mobil lebih kencang. Siap menabrakkan diri pada target utamanya yaitu mobil Morne.Tiba-tiba ….Dari arah berlawanan datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Sebelum Morne sempat menghindar, mobil tersebut menabrak sisi mobil yang ditumpangi Alesya. Brakh!Aaakh?!Akibat benturan keras itu, mobil Morne terlempar ke sisi jalan dan berguling guling, seakan tak ada harapan untuk selamat.Alesya terkejut dan ketakutan, mendekap Devano sambil memekik lirih, sementara Marco berusaha melindungi putrinya, Alesya. Morne berusaha sekuat tenaga mengendalikan kemudi, namun sia-sia. Mobil mereka akhirnya terpero
"Tolong!"Liam segera berdiri ketika tim SAR tiba di lokasi kecelakaan. "Tolong, mereka ada di bawah sana," ucap Liam berusaha memberitahu tim SARS."Baik Tuan." Tim SARS langsung turun tangan, menuruni jurang yang cukup dalam sambil mencari lokasi mobil Morne. Mereka mengecek puing- puing mobil yang hancur lebur. Liam, yang berdiri di tepi jurang dengan wajah pucat, memberitahu tim SARS, "tolong tambah lagi tim agar Alesya, Devano bayiku dan Marco mertuaku, dan Morne anak buahku, semuanya terperosok ke dalam jurang yang dalam itu."Sebagian tim SAR pun mulai bergerak cepat, mereka menggunakan peralatan pendakian dan penyelamatan untuk turun ke dasar jurang. Mereka melewati bebatuan tajam dan semak belukar yang menghambat jalan, berharap dapat menemukan semua korban secepat mungkin.Setelah beberapa jam pencarian yang melelahkan, tim SAR akhirnya menemukan Marco dan Morne dalam kondisi terluka parah. Keduanya ditemukan dalam posisi penuh luka akibat reruntuhan mobil yang hancur. Para
"Tuan Liam, ada seseorang yang ingin bertemu Anda," ucap Morne mendekati Liam yang kini duduk termangu dalam lamunan."Aku sama sekali tak berminat menemui siapapun saat ini, Morne.""Tapi Tuan …, dia mengatakan jika menemukan sobekan baju Nyonya Alesya.""Apa?!"Kabar itu mengguncang hati Liam hingga seketika. Dalam kebingungan, Liam segera bergegas menuju tempat lelaki tua yang mengabarkan penemuan sobekan baju diduga milik Alesya, istrinya yang hilang. Dia berdiri dengan gelisah, membuat Liam semakin sesak mendekatinya."Apakah benar, ini milik Nyonya Alesya?"Dengan pandangan mata yang berkaca-kaca, Liam mendapati lelaki tua itu mengulurkan sebuah kantong plastik yang berisi sobekan baju. Ketika Liam membuka kantong tersebut, tak bisa dipungkiri lagi, itu memang baju kesayangan Alesya yang sering dikenakan dan memang dipakai saat terakhir kali Liam berpamitan pergi. Tampak darah mengering menempel di sobekan baju itu, seolah menjadi bukti pilu tentang nasib Alesya."Bisakah kamu tu
"Ada perlu apa kamu datang kemari?!""Aku …, aku dihubungi Bella. Dia meminta bantuanku agar membawanya ke Rumah Sakit. Dimana dia sekarang?""Ada di kamarnya," jawab Liam acuh.Mona mengernyit tak mengerti dengan sikap acuh Liam, bergegas ke kamar untuk mencari Bella. Ingin sekali menanyakan sikap Liam yang dingin padanya."Bella.""Akh, Mona. Tolong aku!""Kamu kenapa?""Entahlah, perutku rasanya sakit sekali.'"Baiklah, aku akan membawamu ke Rumah Sakit. Ayo!?"Dengan penuh kekuatan, Mona membantu Bella berdiri dari tidurnya, berjalan pelan menuju Rumah Sakit. Saat sampai di lantai dasar, mereka berpapasan dengan Liam. Bella yang kesal mendekati Liam dan berkata, "Liam aku merasa kesakitan tapi kamu sama sekali tidak peduli. Kamu malah acuh kepadaku!"Liam tersenyum mengejek melihat Bella saat ini disertai perasaan muak yang semakin memuncak. Dia merasa tidak tahan lagi dengan ulah istrinya yang terus berselingkuh dengan Stuart. Dia dalam keadaan berkabung namun Bella masih tetap sa
"Apa maksudmu, Bella?"Mona tak menyangka jika Bella bisa mengancam dirinya setelah apa yang dilakukan untuk membawa sahabatnya itu ke Rumah Sakit."Maksudku jelas sekali, Mona. Setelah apa yang kamu lakukan dulu pada Liam, memberikan informasi tentang Alesya. Aku tahu kamu bukanlah wanita yang bisa dipercaya."Darimana kamu tahu? Jangan jangan ….""Ya, akulah dalang dibalik semuanya. Kini Alesya telah pergi untuk selamanya, tak ada lagi pengganggu di hidupku.""Apa?"Bagai disambar petir di siang bolong. Ucapan Bella sungguh membuatnya tercengang. "Apakah kamu yang melakukan semua ini, Bella?"Bella menggeleng, "tentu saja bukan aku. Mana bisa aku membunuh adikku sendiri, hah?!"Mona berusaha meyakinkan diri, seorang kakak akan selalu ada untuk adiknya, karena kodrat seorang kakak adalah melindungi dan menjaga adik adiknya. "Baiklah kalau begitu, kita pulang saja sekarang."Mereka memutuskan untuk pulang. Tak butuh waktu lama, Mona dan Bella tiba di kediaman Roderick setelah diberi ta
"Aku akan selalu ada untukmu, dalam suka dan duka," ucap Bella sambil menggenggam tangan Liam.Meskipun luka yang ditinggalkan oleh Alesya belum sepenuhnya sembuh, namun Liam kini percaya bahwa hidup ini harus terus berjalan.Seiring waktu yang berlalu, Liam mencoba untuk bangkit dan kembali menjalani hidupnya, meski rasa sakit itu masih terasa.Dua bulan kemudianLiam duduk termenung di tepi jendela kamarnya, menatap langit sore yang mulai memerah. Sudut matanya terasa perih, namun dia menahan air mata yang hampir jatuh. Rasa sakit yang mendera hatinya begitu dalam, tak mampu diungkapkan dengan kata-kata."Alesya," gumam Liam yang masih saja mengingat istri keduanya itu. Liam tak menyangka jika takdir Tuhan akan serumit ini. Jika diingat lagi, dulu Liam membenci Alesya lalu jatuh cinta padanya. Dan disaat rasa cinta itu menggebu gebu, Alesya pergi meninggalkannya.Di lantai dua, Bella merasa ada yang tidak beres dengan kandungannya, rasa sakit yang begitu menusuk hingga tak tertahank
"Kamu?"Lelaki itu mendekati Bella dan Liam. Dengan senyum merekah, memandangi penuh cinta pada bayi Liam. "Apakah kamu yakin dia adalah anakmu, Liam?""Apa maksudmu?" tanya Liam. Dia tampak terkejut mendengar ucapan lelaki bertubuh jangkung di depannya ini."Stuart, apa yang kamu katakan? Tentu saja Angel adalah bayi Liam," cerca Bella.Liam berdiri tegak di depan Stuart, wajahnya merah padam karena marah yang membuncah. Entah apa yang ada di pikiran Stuart hingga berani mengaku sebagai ayah dari bayi perempuan yang baru saja lahir. "Kau harus melakukan tes DNA, Stuart!" teriak Liam dengan suara gemetar, tak mampu menahan amarahnya. Stuart tersenyum, tampak tak terkejut dengan ucapan Liam. Berdiri menantang, hendak berkata lagi namun Liam segera berbalik, tak mau mendengarkan sepatah kata pun dari mulut Stuart."Kau pikir kau bisa saja mengaku sebagai ayah dari Angel? Aku sudah melakukan tes DNA, dan hasilnya menunjukkan bahwa ada kemiripan 99% antara aku dan Angel!" kata Liam sambil
"Laporan ini, benar kan Dokter?""Tentu saja, Tuan Liam. Angel memang benar anak kandung Anda," jelas Dokter.Liam tersenyum bahagia, memegang erat laporan tes DNA milik Stuart itu. Kini dia akan fokus menjaga Angel di sisinya. Liam tak sabar memberitahukan hal ini pada Bella. Baru saja beberapa langkah, Liam terhenti saat melihat seorang lelaki di depannya. "Ayah!"Ya, Marco sengaja datang ke Rumah Sakit, menjenguk Bella dan juga cucunya. Meski di dalam hati, Marco menyalahkan Bella atas kematian Alesya, naluri seorang Ayah tak bisa untuk membenci anaknya sendiri."Kamu terlihat bahagia sekali nak," ucap Marco mendekat."Itu …, em, cucu Ayah telah lahir, malaikat kecil yang cantik bagai bidadari. Apakah Ayah sudah melihatnya?"Marco menunduk sekilas. Dia memang menjenguk sebentar tadi lewat pintu yang sedikit terbuka. Ada Bella yang penuh perhatian memberikan susu pada Angel. Bayi itu terlihat sangat rakus mengenyot dot di bibirnya."Ya, aku baru saja melihatnya. Aku juga sudah meliha
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d