"Tuan Liam, ada seseorang yang ingin bertemu Anda," ucap Morne mendekati Liam yang kini duduk termangu dalam lamunan."Aku sama sekali tak berminat menemui siapapun saat ini, Morne.""Tapi Tuan …, dia mengatakan jika menemukan sobekan baju Nyonya Alesya.""Apa?!"Kabar itu mengguncang hati Liam hingga seketika. Dalam kebingungan, Liam segera bergegas menuju tempat lelaki tua yang mengabarkan penemuan sobekan baju diduga milik Alesya, istrinya yang hilang. Dia berdiri dengan gelisah, membuat Liam semakin sesak mendekatinya."Apakah benar, ini milik Nyonya Alesya?"Dengan pandangan mata yang berkaca-kaca, Liam mendapati lelaki tua itu mengulurkan sebuah kantong plastik yang berisi sobekan baju. Ketika Liam membuka kantong tersebut, tak bisa dipungkiri lagi, itu memang baju kesayangan Alesya yang sering dikenakan dan memang dipakai saat terakhir kali Liam berpamitan pergi. Tampak darah mengering menempel di sobekan baju itu, seolah menjadi bukti pilu tentang nasib Alesya."Bisakah kamu tu
"Ada perlu apa kamu datang kemari?!""Aku …, aku dihubungi Bella. Dia meminta bantuanku agar membawanya ke Rumah Sakit. Dimana dia sekarang?""Ada di kamarnya," jawab Liam acuh.Mona mengernyit tak mengerti dengan sikap acuh Liam, bergegas ke kamar untuk mencari Bella. Ingin sekali menanyakan sikap Liam yang dingin padanya."Bella.""Akh, Mona. Tolong aku!""Kamu kenapa?""Entahlah, perutku rasanya sakit sekali.'"Baiklah, aku akan membawamu ke Rumah Sakit. Ayo!?"Dengan penuh kekuatan, Mona membantu Bella berdiri dari tidurnya, berjalan pelan menuju Rumah Sakit. Saat sampai di lantai dasar, mereka berpapasan dengan Liam. Bella yang kesal mendekati Liam dan berkata, "Liam aku merasa kesakitan tapi kamu sama sekali tidak peduli. Kamu malah acuh kepadaku!"Liam tersenyum mengejek melihat Bella saat ini disertai perasaan muak yang semakin memuncak. Dia merasa tidak tahan lagi dengan ulah istrinya yang terus berselingkuh dengan Stuart. Dia dalam keadaan berkabung namun Bella masih tetap sa
"Apa maksudmu, Bella?"Mona tak menyangka jika Bella bisa mengancam dirinya setelah apa yang dilakukan untuk membawa sahabatnya itu ke Rumah Sakit."Maksudku jelas sekali, Mona. Setelah apa yang kamu lakukan dulu pada Liam, memberikan informasi tentang Alesya. Aku tahu kamu bukanlah wanita yang bisa dipercaya."Darimana kamu tahu? Jangan jangan ….""Ya, akulah dalang dibalik semuanya. Kini Alesya telah pergi untuk selamanya, tak ada lagi pengganggu di hidupku.""Apa?"Bagai disambar petir di siang bolong. Ucapan Bella sungguh membuatnya tercengang. "Apakah kamu yang melakukan semua ini, Bella?"Bella menggeleng, "tentu saja bukan aku. Mana bisa aku membunuh adikku sendiri, hah?!"Mona berusaha meyakinkan diri, seorang kakak akan selalu ada untuk adiknya, karena kodrat seorang kakak adalah melindungi dan menjaga adik adiknya. "Baiklah kalau begitu, kita pulang saja sekarang."Mereka memutuskan untuk pulang. Tak butuh waktu lama, Mona dan Bella tiba di kediaman Roderick setelah diberi ta
"Aku akan selalu ada untukmu, dalam suka dan duka," ucap Bella sambil menggenggam tangan Liam.Meskipun luka yang ditinggalkan oleh Alesya belum sepenuhnya sembuh, namun Liam kini percaya bahwa hidup ini harus terus berjalan.Seiring waktu yang berlalu, Liam mencoba untuk bangkit dan kembali menjalani hidupnya, meski rasa sakit itu masih terasa.Dua bulan kemudianLiam duduk termenung di tepi jendela kamarnya, menatap langit sore yang mulai memerah. Sudut matanya terasa perih, namun dia menahan air mata yang hampir jatuh. Rasa sakit yang mendera hatinya begitu dalam, tak mampu diungkapkan dengan kata-kata."Alesya," gumam Liam yang masih saja mengingat istri keduanya itu. Liam tak menyangka jika takdir Tuhan akan serumit ini. Jika diingat lagi, dulu Liam membenci Alesya lalu jatuh cinta padanya. Dan disaat rasa cinta itu menggebu gebu, Alesya pergi meninggalkannya.Di lantai dua, Bella merasa ada yang tidak beres dengan kandungannya, rasa sakit yang begitu menusuk hingga tak tertahank
"Kamu?"Lelaki itu mendekati Bella dan Liam. Dengan senyum merekah, memandangi penuh cinta pada bayi Liam. "Apakah kamu yakin dia adalah anakmu, Liam?""Apa maksudmu?" tanya Liam. Dia tampak terkejut mendengar ucapan lelaki bertubuh jangkung di depannya ini."Stuart, apa yang kamu katakan? Tentu saja Angel adalah bayi Liam," cerca Bella.Liam berdiri tegak di depan Stuart, wajahnya merah padam karena marah yang membuncah. Entah apa yang ada di pikiran Stuart hingga berani mengaku sebagai ayah dari bayi perempuan yang baru saja lahir. "Kau harus melakukan tes DNA, Stuart!" teriak Liam dengan suara gemetar, tak mampu menahan amarahnya. Stuart tersenyum, tampak tak terkejut dengan ucapan Liam. Berdiri menantang, hendak berkata lagi namun Liam segera berbalik, tak mau mendengarkan sepatah kata pun dari mulut Stuart."Kau pikir kau bisa saja mengaku sebagai ayah dari Angel? Aku sudah melakukan tes DNA, dan hasilnya menunjukkan bahwa ada kemiripan 99% antara aku dan Angel!" kata Liam sambil
"Laporan ini, benar kan Dokter?""Tentu saja, Tuan Liam. Angel memang benar anak kandung Anda," jelas Dokter.Liam tersenyum bahagia, memegang erat laporan tes DNA milik Stuart itu. Kini dia akan fokus menjaga Angel di sisinya. Liam tak sabar memberitahukan hal ini pada Bella. Baru saja beberapa langkah, Liam terhenti saat melihat seorang lelaki di depannya. "Ayah!"Ya, Marco sengaja datang ke Rumah Sakit, menjenguk Bella dan juga cucunya. Meski di dalam hati, Marco menyalahkan Bella atas kematian Alesya, naluri seorang Ayah tak bisa untuk membenci anaknya sendiri."Kamu terlihat bahagia sekali nak," ucap Marco mendekat."Itu …, em, cucu Ayah telah lahir, malaikat kecil yang cantik bagai bidadari. Apakah Ayah sudah melihatnya?"Marco menunduk sekilas. Dia memang menjenguk sebentar tadi lewat pintu yang sedikit terbuka. Ada Bella yang penuh perhatian memberikan susu pada Angel. Bayi itu terlihat sangat rakus mengenyot dot di bibirnya."Ya, aku baru saja melihatnya. Aku juga sudah meliha
"Mana ada hantu di siang bolong seperti ini." Liam menggeleng tak percaya atas ucapan Bella. Berniat memastikan apa yang terjadi, Liam membuka pintu mobil."Mau kemana kamu Liam?""Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kamu disini saja."Liam pergi menjauh dari mobil, mengamati keadaan sekitar. Bella yang melihatnya tiba tiba saja dirinya merinding.Tadi, mobil melaju dengan kecepatan sedang, namun Bella merasa ada yang aneh. Ia merasa ada sosok yang mengikutinya, seolah-olah mengintip dari kegelapan malam. Dia merasa takut, seakan-akan sosok itu ingin menghampirinya. Bella semakin ketakutan, dia yakin sosok itu adalah arwah adiknya, Alesya, yang meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Dia merasa seolah-olah Alesya ingin memberinya pesan atau bahkan menuntut balas.Di dalam mobil, Bella merasa cemas dan gelisah. Ia menggenggam erat bayi perempuannya, dan berbisik pelan, "Alesya, apakah itu kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?" Tak ada jawaban, hanya suara angin yang berhemb
Diam-diam Bella mengintip dari balik pintu kamar Angel, bayi mereka yang baru berusia belum ada satu minggu. Ia melihat Liam yang sedang menggendong dan mengelus lembut rambut bayi kecil itu sambil berbicara lembut padanya. Liam tersenyum pada Angel, penuh kasih sayang yang tulus. Bella merasa perasaannya teraduk-aduk, menyaksikan seolah Liam benar-benar mencintai Angel, tapi tidak untuk dirinya. Kesalahan yang Bella lakukan memang berat, tapi dia berharap Liam bisa melupakan semuanya dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, Liam belum bisa memaafkannya. Hati Bella terasa sakit dan sesak, tak bisa menahan rasa sedih yang memenuhi pikirannya. Mata mulai berkaca-kaca, menggigit bibirnya untuk menahan isak tangis yang hendak pecah. Bella berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi kenyataan bahwa suaminya masih menjaga jarak darinya, meski masih bersama dalam satu rumah. Dengan langkah gontai, Bella berjalan pelan menjauhi kamar Angel, menuju kamarnya send