"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku akan pulang untuk menemuimu."Kalimat singkat tertera pada bilah notifikasi ponsel Liam. Pesan itu tak sengaja dibaca Alesya, istri kedua Liam."Apa arti dari semua ini?" gumam wanita yang disapa Ale itu. Keningnya mengkerut sehingga kedua alis hampir menyatu, memikirkan berbagai asumsi tentang si pengirim pesan."Apa yang kamu lakukan?"Ale terperanjat mendengar suara tegas penuh penekanan dari lelaki yang begitu dicintainya. "Ah itu, em… ponselmu dari tadi bergetar, saat aku hendak menjawab tiba tiba panggilan berakhir."Jangan sentuh barangku!"Liam segera meraih ponsel dan pergi meninggalkan Alesya sendiri. Memberinya luka batin untuk kesekian kali.Tiga tahun telah berlalu sejak Alesya dan Liam menjalani kehidupan bersama sebagai suami istri. Setiap hari Alesya berharap ada cinta yang tumbuh di antara mereka, namun Liam sama sekali tidak peduli padanya.Alesya berusaha untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Liam dengan mengurus keperluan rumah tangga, memasak makanan kesukaa
"Kau sudah kembali?" tanya Liam dengan suara berat, berusaha menahan perasaan yang ingin meledak di dalam hatinya."Ya, Liam," jawab Bella, menatap Liam dengan tatapan yang penuh harap. Liam mencoba membaca ekspresi wajah istrinya, mencari tahu apa yang bersembunyi di balik sorot matanya. Tatapan berhenti pada mata Bella."Bella, ini…"Liam menggantung kalimatnya, tak tahu harus berkata apa. Dia sungguh tak mengerti dengan penampilan Bella yang berubah. Sungguh berbeda dengan Bella yang dulu."Ini?" tunjuk Bella pada dirinya yang hanya memakai tank top dan rok jeans minim bahan."Aku akan menjelaskan semuanya tapi sebelum itu, aku ingin meminta maaf padamu, Liam.Aku bersalah karena pergi disaat kamu sakit. Aku mempunyai alasan atas kepergianku.""Alasan apa itu?""Di saat kamu mengalami sakit leukimia, aku sungguh khawatir padamu. Perusahaan pasti terkena dampak negatif jika media massa tahu kamu mengalami lumpuh permanen. Jadi, aku memutuskan mendonorkan sumsum tulang belakangku, un
"Aku mencintaimu sejak dulu. Bahkan sebelum kamu mengenal Bella," ucap Alesya parau.Liam terdiam sejenak, detik berikutnya tertawa sinis. "Cinta? Hah! Aku menikah denganmu karena terpaksa." Liam mengangkat tangan menahan Alesya yang hendak mendekatinya, seakan berkata jika di antara mereka berdua harus ada jarak."Kamu hanya beban yang harus aku tanggung."Alesya merasakan hatinya hancur berkeping-keping mendengar kata-kata suaminya. Ia mencoba mencari kekuatan untuk bangkit, namun Liam kembali menghujatnya."Kamu tidak akan bisa menjadi istri yang baik. Kamu hanya menambah penderitaan dalam hidupku."Tak mampu menahan rasa sakit hatinya, Alesya menatapnya sambil berujar," Liam, seharusnya kamu tahu, orang yang mendonorkannya padamu itu…""Ada apa ini?" Bella datang mendekat, memotong ucapan Alesya dan mencoba melerai pertengkaran yang terjadi. "Alesya, kenapa kamu menangis seperti itu?"Alesya tersenyum samar, menghapus air mata yang sedari tadi tak mau berhenti. "Kebetulan ada kam
"Bella!"Suara Liam menggelegar, memenuhi seluruh ruangan lantai dua. Dia segera mendekat."Li–Liam?" ucap Bella gemetar, ia tak menyangka jika Liam ada di Kediaman Noderick saat ini. 'Apakah Liam mendengarnya?' batin Bella cemas."Se–sejak kapan kamu ada disini?""Baru saja. Sedang apa kamu disini?""Aku… aku sedang menelpon bibiku di luar negeri.""Sudah larut, tidurlah!""Baik." Bella merasa lega setelah kepergian Liam, berfikir jika Liam tak mendengar pembicaraannya di telepon.Alesya sendiri segera berlari setelah mendengar ancaman Bella menuju kamar tidurnya, merasa tak ada lagi tempat yang aman untuknya.Ia sungguh syok mendengar ucapan Bella. 'Bagaimana bisa, kamu berani mencelakai adikmu sendiri?' batin Alesya menangis, merasa terpuruk dan tak ada harapan, seluruh kebahagiaan yang pernah ia rasakan seolah sirna seketika.Alesya duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang. Ia kembali merasa kesepian di ranjang mereka. Liam yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, serin
Liam memutuskan bersiap untuk menghadiri jumpa pers tanpa memikirkan Alesya. Teringat belum sarapan, Liam hendak makan pagi namun meja dapur terlihat bersih sekali, tak ada makanan.Liam berjalan menuju kamar Alesya, ruangan itu juga tertata rapi. Tak ada tanda tanda jika Alesya di kamar. "Ale, dimana kamu?""Ale?!""Alesya!"Liam berteriak mencari Alesya hingga menggema namun istana itu nampak sepi tak berpenghuni. Liam menyerah, memutuskan pergi ke Perusahaan."Selamat datang Tuan Liam. Kami sudah menunggu Anda," ucap Master Ceremony saat Liam tiba di Perusahaan. "Silahkan duduk Tuan Liam. Mari kita mulai jumpa persnya."Banyak sekali reporter, mereka melakukan siaran live dan semua saluran televisi meliput acara tersebut."Baiklah mari kita berikan pada Nyonya Bella selaku istri Tuan Liam untuk mengklarifikasi berita tentang donor sumsum tulang belakang yang diberikan pada Tuan Liam," jelas MC.Salah satu Reporter mulai bertanya, "apakah berita ini benar Nyonya Bella?""Jika benar,
Liam memikirkan banyak hal tentang Alesya. Semua tak bisa dijelaskan dengan kata kata. Menghembuskan nafas berat dan berkata, "biarkan saja mereka." "Tapi Tuan." "Kamu, lekas kembali!" Tut, tut, tut. Panggilan telah berakhir. Hal itu membuat lelaki yang disuruh Liam menjadi bingung. Dia sudah jauh jauh mengikuti Alesya saat keluar rumah hingga terbang dari Amerika sampai tiba di Paris, Liam malah menyuruhnya kembali. Lelaki itu tak tinggal diam, mengambil ponsel dan memotret Alesya sebagai bukti kinerja dirinya. Meski berat, ditinggalkan Alesya dan Zidan sendirian. Sedangkan mereka tidak tahu jika ada seorang yang sedang menguntit di belakangnya. "Menangislah sepuasnya, Alesya. Setelah itu jangan menangis lagi. Oke." Kalimat sederhana namun benar benar menggugah jiwa. Andai lelaki yang berkata adalah Liam, Alesya pasti makin cinta. Alesya tersenyum manis meski Zidane tahu senyuman itu dipaksakan. Melihat Alesya saat ini, Zidan juga merasakan kesedihan mendalam. Seperti ada ba
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d