Liam memikirkan banyak hal tentang Alesya. Semua tak bisa dijelaskan dengan kata kata. Menghembuskan nafas berat dan berkata, "biarkan saja mereka."
"Tapi Tuan."
"Kamu, lekas kembali!"
Tut, tut, tut.
Panggilan telah berakhir.
Hal itu membuat lelaki yang disuruh Liam menjadi bingung. Dia sudah jauh jauh mengikuti Alesya saat keluar rumah hingga terbang dari Amerika sampai tiba di Paris, Liam malah menyuruhnya kembali.
Lelaki itu tak tinggal diam, mengambil ponsel dan memotret Alesya sebagai bukti kinerja dirinya. Meski berat, ditinggalkan Alesya dan Zidan sendirian. Sedangkan mereka tidak tahu jika ada seorang yang sedang menguntit di belakangnya.
"Menangislah sepuasnya, Alesya. Setelah itu jangan menangis lagi. Oke."
Kalimat sederhana namun benar benar menggugah jiwa. Andai lelaki yang berkata adalah Liam, Alesya pasti makin cinta.
Alesya tersenyum manis meski Zidane tahu senyuman itu dipaksakan. Melihat Alesya saat ini, Zidan juga merasakan kesedihan mendalam. Seperti ada bagian tubuhnya yang patah, nyeri dan sakit sekali.
"Kamu tinggal dimana?" tanya Zidane pelan.
Alesya menggeleng membuat Zidane mengerti. "Em, bagaimana jika kamu tinggal di rumah kontrakan yang aku sewa?"
"Apa?" Alesya tak habis pikir jika Zidane adalah lelaki yang suka to the point.
Zidane baru menyadari jika ucapannya sungguh lancang sekali. "Alesya bukan begitu, maksudnya adalah kamu tinggal di kontrakan yang lama tak aku tinggali, sedangkan aku tinggal disini. Jadi, kita tinggal terpisah. Jangan berasumsi tidak tidak."
Alesya tersenyum lebar, merasa jika Zidan sungguh konyol. Hati Alesya sedikit menghangat atas penuturan sederhana Zidan.
"Ayo Alesya!"
"Kemana?"
"Tentu saja ke rumah kontrakan sederhana miliku. Kamu bisa istirahat disana. Aku lihat kamu lelah," ucap Zidan penuh pengertian.
Alesya kembali memikirkan Liam. Mendapat perhatian dari Zidane, entah mengapa Alesya berharap jika Liam bisa seperti Zidan. "Baiklah, aku ikut denganmu." Alesya bangkit dari duduknya, hendak menyeret koper tapi…
Srekh.
Zidan sudah merebut koper itu dari tangan Alesya. "Ayo, ikuti aku!!"
Mereka pergi ke kontrakan sederhana yang lumayan dekat dengan kedai kopi.
Hanya beberapa langkah, kini mereka telah berdiri di depan pintu kontrakan.
Ceklek.
Pintu dibuka, menampilkan ruang sederhana, semua tertata rapi, bersih dan satu hal yang pasti, perlengkapan elektronik di dalamnya terlihat seperti barang mewah. Alesya masuk ruangan dan melihat detail isi rumah sederhana itu.
"Apa kamu menempati rumah ini sendirian?" tanya Alesya bingung.
Zidan merasa kikuk, menggaruk tengkuk asal, "yah, tentu saja aku tinggal disini sendirian. Memangnya ada Apa?"
"Rumah kontrakan ini memang sederhana namun isi di dalamnya seperti apartemen saja, semua terlihat bersih, rapi dan berkelas membuat aku ragu jika kamu melemparinya sendiri," nilai Alesya sambil melihat lihat kumpulan buku yang berjejer di rak mini.
Zidan tersenyum manis dan berkata, "ya, aku memang tinggal bersama seseorang."
"Apa? Apa dia wanita?"
Zidan mengangguk. Alesya kaget mendengar jawaban Zidan, merasa tak nyaman mengganggu Zidan dengan kekasihnya, segera menarik kopernya.
"Kamu mau Kemana?"
"Tentu saja pergi. Aku tak ingin mengganggu-"
Ucapan Alesya terhenti saat Zidan menutup bibirnya dengan jari telunjuk, syarat akan untuk diam. "Aku belum selesai menjelaskan namun kamu sudah memutuskan sesuai pemikiranmu sendiri."
Zidan menata buku yang tergeletak setelah Alesya lihat tadi sambil berkata, "barang barang mewah ini dari Ibuku. Karena aku sibuk mengurus kedai, aku mempekerjakan art wanita untuk membersihkan tempat ini. Dia berangkat pagi dan pulang sore, kebetulan hari ini dia libur."
Alesya mengangguk paham. "Maaf, aku pikir…"
"Aku tak mempunyai kekasih jadi kamu tenang saja," ucap Zidan terkekeh.
Lagi lagi gurauan Zidan membuat Alesya tersenyum. Namun, sikap hangat yang Zidan berikan semakin mengingatkannya pada sosok dingin Liam.
"Baiklah. Aku akan kembali ke kedai, bersihkan tubuh dan istirahat dulu!"
Zidan pergi meninggalkan Alesya, hatinya begitu bahagia hingga terpancar pada wajahnya yang terus berseri.
Sedangkan Alesya kembali memandangi dinding ruangan dengan cat warna pastel kombinasi abu abu, terasa hangat dan sejuk. Dibuka jendela rumah, terlihat hamparan tanah dengan ilalang selutut yang bergoyang setiap tertiup angin. Pikiran Alesya menerawang jauh, memikirkan seseorang. 'Apakah dia mencariku? Apakah dia merasa kehilangan saat aku tak ada disampingnya?'
Amerika.
"Tuan ini foto Nyonya Ale."
Liam melihat beberapa foto Alesya bersama seseorang. Liam hanya melihat sekilas dan tak penasaran dengan siapa lelaki yang bersama Alesya. Saat foto terakhir, Liam tertegun melihat wajah lelaki yang terlihat jelas di foto.
"Kenapa Ale bersama Zidan? Apa Ale menemuinya?" tanya Liam pada pengawal bernama Edo.
"Bukan Tuan. Aku mendengar percakapan mereka, sepertinya mereka tak sengaja bertemu. Hal itu terlihat dari keterkejutan keduanya saat mereka bertemu," jelas Edo.
"Kamu boleh pergi!"
Sepeninggal Edo, Liam kembali melihat foto Alesya. Ada satu foto, Alesya tersenyum bahagia bersama Zidan. Senyuman yang tak pernah Liam dapati tiga tahun ini. Senyuman tulus tanpa adanya kebohongan di dalamnya.
Ada rasa yang tak bisa dijelaskan. Liam berusaha menekan rasa itu meski terasa nyeri di ulu hati. Alesya pergi tanpa menjelaskan apapun, meninggalkan misteri tak terpecahkan.
Meski pendonor sumsumnya telah diketahui, Liam masih terlihat ragu pada Bella. Rasa sakit dikhianati membuat Liam sulit percaya padahal bukti sudah di depan mata.
Liam mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
"Halo Tuan Liam."
"Bagaimana? Apa kamu menemukannya?"
Hening. "Maaf Tuan, kami belum menemukan Tuan Marco.""Bagaimana bisa? Kerahkan semua keahlian kalian dalam mencari orang hilang.""Baik Tuan. Selama tiga tahun ini, kami sudah berusaha keras mencari Marco namun masih belum juga menemukan keberadaannya. Kami akan berusaha semaksimal mungkin.""Iya. Jika tidak, aku akan mencopot jabatan kalian!"Pletak.Liam membuang kasar ponselnya di meja kerja. Dirinya sungguh kesal karena ayah mertuanya itu tak hanya pergi membawa uang curian keluarga "Roderick". Marco adalah satu satunya orang yang menjadi saksi transplantasi sumsum tulang belakang Liam."Halo Liam."Bella datang mendekat dan memeluk suaminya. Meski Bella telah kembali, mereka memutuskan untuk tidur terpisah. Hal itu permintaan dari Liam sendiri. Dia butuh waktu untuk menyesuaikan hubungan mereka."Ada apa Bell?""Aku ingin kita pergi ke suatu tempat. Dimana kita bisa mengulang kembali masa masa indah kita."Liam memandang sekilas, duduk dan mulai membuka laporan pekerjaan. "Maa
Alesya mengangguk setuju ketika Zidan menawarkan pekerjaan di kedainya. Dia pikir dengan bekerja, pikiran tentang Liam akan teralihkan.Zidan memandang penuh cinta, merasa bahagia melihat senyuman Alesya. Senyuman yang selalu membayangi pikirannya, baik dari dulu maupun sekarang. Tak ada tempat untuk wanita lain selain Alesya.Pagi hari.Alesya sangat antusias untuk belajar dan tidak butuh waktu lama untuk memahami cara kerja di kedai tersebut. Zidan langsung memberikan pelatihan singkat kepada Alesya, dan tak disangka, Alesya cepat tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam sehari."Baiklah Alesya, kamu bisa kerja sekarang.""Benarkah Zidan?""Itu benar!"Alesya tersenyum bahagia, mulai bekerja di kedai milik Zidan. Kecantikan dan keluwesan Alesya menarik perhatian banyak pelanggan, terutama para pria yang ingin menikmati secangkir kopi bersama pasangan mereka. Semakin sore, kedai semakin ramai setelah kehadiran Alesya, dan Zidan merasa sangat beruntung telah merekrut gadis itu.Keda
Tiga tahun lalu.Di dalam ruang kerja pribadi Liam, ia duduk dengan tenang di belakang meja besarnya. Marco masuk ke ruangan dengan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan. Marco menatapnya dengan dingin dan berkata dengan suara yang keras namun tenang."Liam, kita perlu bicara tentang masa depan keluarga kita. Seperti yang kita ketahui, Bella telah pergi bersama kekasihnya ke luar negeri dan meninggalkanmu. Aku tidak ingin nama baik keluarga ini tercemar.""Aku tahu, aku akan menceraikannya."Jawaban dingin Liam membuat Marco ketakutan, takut dibuang dari konglomerat seperti keluarga Liam Roderick. Dengan gugup berkata, "Bella memang keterlaluan tapi apa yang bisa aku lakukan? Bella telah memilih jalan hidupnya sendiri."Liam tetap diam. Marco memutuskan memberikan penawaran. "Kau harus menikahi anakku yang kedua, Alesya. Dia cantik, pintar, dan akan menjadi istri yang baik untukmu. Jika kau menolak, aku akan membuka keburukan perusahaan milikmu, memberitahukan pada massa mengenai la
"Nyonya Bella.""Apa?!"Liam menatap ketiga anak buah Bella dengan rasa kecewa, tidak mampu mempercayai istrinya setelah mengetahui bahwa Bella-lah yang telah mencelakakan ayah kandungnya sendiri, Marco. Dipandang Marco dan didekati perlahan. "Mengapa Bella menculikmu, Ayah?"Marco diam seribu bahasa, tatapan matanya kosong. Hal itu membuat Liam tak mengerti. "Ayah, lihatlah aku!"Marco menatap Liam sekilas, namun tatapannya sungguh tak bisa dimengerti. "Ayah, ingat operasi sumsung tulang yang kualami tiga tahun lalu?"Lagi lagi Marco diam dengan pandangan kosong. "Apakah benar, yang mendonorkan sumsum tulang belakang untukku adalah Bella?" tanya Liam dengan penuh emosi.Marco masih terdiam, tampaknya ia tidak tahu harus menjawab apa. Liam semakin meradang melihat kebimbangan yang tersirat dalam ekspresi wajah ayah mertuanya.'Ada apa dengannya? Jelas sekali dia berterima kasih padaku dan menoleh saat aku memintanya melihatku,' batin Liam kebingungan."Kalian, cepat urus mereka dan ba
Tiba-tiba saja, Alesya pingsan tanpa sebab yang jelas, membuat Zidan khawatir setengah mati. "Ale,bangunlah! Alesya?!"Dalam keadaan panik, Zidan langsung menggendong Alesya ke mobil dan bergegas menuju rumah sakit terdekat. Ketika sampai di sana, Dokter dan Perawat segera memberikan penanganan spesifik pada Alesya yang masih tak sadarkan diri.Zidan duduk di kursi ruang tunggu, rasa cemas yang luar biasa menyelimuti pikirannya. Dia tak henti- hentinya berdoa agar wanita yang dicintainya itu baik-baik saja. Wajahnya tampak pucat, jantung berdegup kencang menunggu hasil pemeriksaan.Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Alesya keluar dari ruangan dan menghampiri Zidan. Dengan ekspresi tenang Dokter berkata, "Nyonya Alesya sebenarnya tidak ada masalah serius."Zidan merasa lega mendengarnya, namun Dokter mengungkapkan berita yang mengejutkan. "Ternyata Nyonya Alesya sedang hamil."Zidan merasa seolah dunia berhenti sejenak, mata berbinar syok saat mendengar berita tersebut. Dia sungg
"Liam, aku minta maaf jika pergi dari rumah ini tanpa berpamitan padamu. Aku rasa sudah cukup aku mencintaimu selama tiga tahun ini, berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Besar harapanku jika kamu akan mengerti dan membalas cintaku meski hanya sedikit. Namun, kenyataannya aku tak pernah bisa masuk ke dalam lubuk hatimu, menggantikan Bella.Kini Bella telah kembali dan aku sadar diri, tak seharusnya aku mengalami cinta kalian berdua. Meski kamu berkata jika membenci Bella, aku yakin cintamu yang lebih besar akan mengalahkan rasa benci padanya.Terima kasih sudah menjadikanku istri keduamu. Memberi harapan besar atas cintaku. Aku bersyukur pada Tuhan, mengizinkan aku bersamamu selama tiga tahun ini, meski tak bisa merengkuh hatimu. Aku kembalikan semua yang pernah kamu berikan padaku, tapi… aku akan membawa apa yang berhak menjadi milikku. Jangan pernah mencariku lagi. Aku pergi karena ingin mencari jati diriku yang telah hilang sejak lama. Maafkan aku jika selama ini aku telah
Liam tak bisa tidur nyenyak memikirkan alat test pack sialan itu. 'Apakah semua ini benar?' pikir Liam ragu, mengingat ingat kembali jika dirinya tak pernah membiarkan benihnya tumbuh di dalam rahim Alesya. "Lalu alat ini?"Dipegang erat alat test pack itu sambil menatap langit langit kamar Alesya. Detik demi detik, mata menatap kosong seolah bayangan Alesya menari indah di depan mata. Untuk waktu yang lama hingga mata perlahan menutup dan tenggelam dari buaian dunia nyata.Bella sendiri berjalan mendekati pintu dan menatap Liam di balik pintu. Diberanikan diri untuk kembali masuk ruangan tersebut. Bella duduk di kursi depan meja rias, melihat sebuah black id card, cincin dan robekan kertas berhamburan di atas meja.Tatapan Bella tertuju pada sesuatu yang dipegang oleh Liam. Dengan pelan, Bella mengambil test pack tersebut dan terkejut melihat dua garis merah yang tertera disana. 'Apa ini?' pikir Bella mulai menyimpulkan semuanya.'Jadi kamu pikir dengan ini kamu bisa membuat Liam men
Alesya merasa lega saat mendengar dokter menyatakan kondisinya sudah membaik dan dibolehkan pulang. Zidan yang menemani Alesya sepanjang perawatan di rumah sakit, segera membantu Alesya untuk kembali ke kontrakan.Setibanya di kontrakan, Alesya mencoba untuk beristirahat sejenak. Tubuhnya masih lemas meskipun sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Bagaimana tidak? mungkin karena kehamilan yang terjadi.Morne yang setia menjaga ayah Alesya, memberikan kabar setiap hari tentang kondisi Marco yang lemah.Mendengar kabar tersebut, Alesya merasa tidak tega melihat ayahnya menderita. Hatinya tergerak untuk menjenguk Marco malam ini. Walaupun kondisinya masih lemah, Alesya merasa perlu meluangkan waktu untuk menemani ayahnya yang sedang berjuang melawan sakit.Malam pun tiba, Alesya berusaha bangkit dari tempat tidur dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Zidan yang tadinya tiduran di sofa, melihat kegigihan Alesya segera menghampiri, "mau kemana kamu, Ale?""Aku… aku ingin menemui Ayahku sebe
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d