"Berhenti! Jangan lari?!"Marco dan Alesya berlari kencang, menembus pepohonan dan semak belukar yang menghadang. Terus berlari hingga mereka sampai di ujung hutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Di hadapan mereka, jurang yang dalam dan curam siap menelan mereka jika tak hati hati melangkah."Bagaimana ini, Ayah?" tanya Alesya gemetaran, tak mampu bergerak melihat kengerian yang ada di depan mata. Alesya sungguh tak sanggup menghadapi phobia ketinggian, detak jantungnya berdetak tak karuan. Hal itu membuat Alesya, semakin ketakutan, tubuhnya mengeratkan pegangannya pada Marco, mencari perlindungan dan keberanian. Marco merasakan jika Alesya gemetar ketakutan.Meskipun sama sama ketakutan, Marco berusaha untuk tetap tegas dan berani demi anaknya. Ia tidak ingin Alesya melihat ketakutan di wajahnya. Ia menatap Alesya dan memberikan senyuman yang penuh harapan."Tenang, Nak. Kita akan bisa melewati ini bersama. Percayalah pada Ayah," ucap Marco dengan suara yang tegas namun lembu
Malam itu, Morne dengan hati-hati menyetir mobil yang ditumpangi Alesya dan ayahnya, Marco. Mereka pergi ke kediaman Roderick. Namun, tanpa disadari bahaya mengintai mereka. Anak buah Bella, yang menyimpan dendam pada Morne, telah merencanakan serangan balik.Lelaki gempal yang tadi mengancam Alesya di pinggir tebing itu mengejar mobil Morne, mengambil jalan pintas dan mulai melajukan mobil lebih kencang. Siap menabrakkan diri pada target utamanya yaitu mobil Morne.Tiba-tiba ….Dari arah berlawanan datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Sebelum Morne sempat menghindar, mobil tersebut menabrak sisi mobil yang ditumpangi Alesya. Brakh!Aaakh?!Akibat benturan keras itu, mobil Morne terlempar ke sisi jalan dan berguling guling, seakan tak ada harapan untuk selamat.Alesya terkejut dan ketakutan, mendekap Devano sambil memekik lirih, sementara Marco berusaha melindungi putrinya, Alesya. Morne berusaha sekuat tenaga mengendalikan kemudi, namun sia-sia. Mobil mereka akhirnya terpero
"Tolong!"Liam segera berdiri ketika tim SAR tiba di lokasi kecelakaan. "Tolong, mereka ada di bawah sana," ucap Liam berusaha memberitahu tim SARS."Baik Tuan." Tim SARS langsung turun tangan, menuruni jurang yang cukup dalam sambil mencari lokasi mobil Morne. Mereka mengecek puing- puing mobil yang hancur lebur. Liam, yang berdiri di tepi jurang dengan wajah pucat, memberitahu tim SARS, "tolong tambah lagi tim agar Alesya, Devano bayiku dan Marco mertuaku, dan Morne anak buahku, semuanya terperosok ke dalam jurang yang dalam itu."Sebagian tim SAR pun mulai bergerak cepat, mereka menggunakan peralatan pendakian dan penyelamatan untuk turun ke dasar jurang. Mereka melewati bebatuan tajam dan semak belukar yang menghambat jalan, berharap dapat menemukan semua korban secepat mungkin.Setelah beberapa jam pencarian yang melelahkan, tim SAR akhirnya menemukan Marco dan Morne dalam kondisi terluka parah. Keduanya ditemukan dalam posisi penuh luka akibat reruntuhan mobil yang hancur. Para
"Tuan Liam, ada seseorang yang ingin bertemu Anda," ucap Morne mendekati Liam yang kini duduk termangu dalam lamunan."Aku sama sekali tak berminat menemui siapapun saat ini, Morne.""Tapi Tuan …, dia mengatakan jika menemukan sobekan baju Nyonya Alesya.""Apa?!"Kabar itu mengguncang hati Liam hingga seketika. Dalam kebingungan, Liam segera bergegas menuju tempat lelaki tua yang mengabarkan penemuan sobekan baju diduga milik Alesya, istrinya yang hilang. Dia berdiri dengan gelisah, membuat Liam semakin sesak mendekatinya."Apakah benar, ini milik Nyonya Alesya?"Dengan pandangan mata yang berkaca-kaca, Liam mendapati lelaki tua itu mengulurkan sebuah kantong plastik yang berisi sobekan baju. Ketika Liam membuka kantong tersebut, tak bisa dipungkiri lagi, itu memang baju kesayangan Alesya yang sering dikenakan dan memang dipakai saat terakhir kali Liam berpamitan pergi. Tampak darah mengering menempel di sobekan baju itu, seolah menjadi bukti pilu tentang nasib Alesya."Bisakah kamu tu
"Ada perlu apa kamu datang kemari?!""Aku …, aku dihubungi Bella. Dia meminta bantuanku agar membawanya ke Rumah Sakit. Dimana dia sekarang?""Ada di kamarnya," jawab Liam acuh.Mona mengernyit tak mengerti dengan sikap acuh Liam, bergegas ke kamar untuk mencari Bella. Ingin sekali menanyakan sikap Liam yang dingin padanya."Bella.""Akh, Mona. Tolong aku!""Kamu kenapa?""Entahlah, perutku rasanya sakit sekali.'"Baiklah, aku akan membawamu ke Rumah Sakit. Ayo!?"Dengan penuh kekuatan, Mona membantu Bella berdiri dari tidurnya, berjalan pelan menuju Rumah Sakit. Saat sampai di lantai dasar, mereka berpapasan dengan Liam. Bella yang kesal mendekati Liam dan berkata, "Liam aku merasa kesakitan tapi kamu sama sekali tidak peduli. Kamu malah acuh kepadaku!"Liam tersenyum mengejek melihat Bella saat ini disertai perasaan muak yang semakin memuncak. Dia merasa tidak tahan lagi dengan ulah istrinya yang terus berselingkuh dengan Stuart. Dia dalam keadaan berkabung namun Bella masih tetap sa
"Apa maksudmu, Bella?"Mona tak menyangka jika Bella bisa mengancam dirinya setelah apa yang dilakukan untuk membawa sahabatnya itu ke Rumah Sakit."Maksudku jelas sekali, Mona. Setelah apa yang kamu lakukan dulu pada Liam, memberikan informasi tentang Alesya. Aku tahu kamu bukanlah wanita yang bisa dipercaya."Darimana kamu tahu? Jangan jangan ….""Ya, akulah dalang dibalik semuanya. Kini Alesya telah pergi untuk selamanya, tak ada lagi pengganggu di hidupku.""Apa?"Bagai disambar petir di siang bolong. Ucapan Bella sungguh membuatnya tercengang. "Apakah kamu yang melakukan semua ini, Bella?"Bella menggeleng, "tentu saja bukan aku. Mana bisa aku membunuh adikku sendiri, hah?!"Mona berusaha meyakinkan diri, seorang kakak akan selalu ada untuk adiknya, karena kodrat seorang kakak adalah melindungi dan menjaga adik adiknya. "Baiklah kalau begitu, kita pulang saja sekarang."Mereka memutuskan untuk pulang. Tak butuh waktu lama, Mona dan Bella tiba di kediaman Roderick setelah diberi ta
"Aku akan selalu ada untukmu, dalam suka dan duka," ucap Bella sambil menggenggam tangan Liam.Meskipun luka yang ditinggalkan oleh Alesya belum sepenuhnya sembuh, namun Liam kini percaya bahwa hidup ini harus terus berjalan.Seiring waktu yang berlalu, Liam mencoba untuk bangkit dan kembali menjalani hidupnya, meski rasa sakit itu masih terasa.Dua bulan kemudianLiam duduk termenung di tepi jendela kamarnya, menatap langit sore yang mulai memerah. Sudut matanya terasa perih, namun dia menahan air mata yang hampir jatuh. Rasa sakit yang mendera hatinya begitu dalam, tak mampu diungkapkan dengan kata-kata."Alesya," gumam Liam yang masih saja mengingat istri keduanya itu. Liam tak menyangka jika takdir Tuhan akan serumit ini. Jika diingat lagi, dulu Liam membenci Alesya lalu jatuh cinta padanya. Dan disaat rasa cinta itu menggebu gebu, Alesya pergi meninggalkannya.Di lantai dua, Bella merasa ada yang tidak beres dengan kandungannya, rasa sakit yang begitu menusuk hingga tak tertahank
"Kamu?"Lelaki itu mendekati Bella dan Liam. Dengan senyum merekah, memandangi penuh cinta pada bayi Liam. "Apakah kamu yakin dia adalah anakmu, Liam?""Apa maksudmu?" tanya Liam. Dia tampak terkejut mendengar ucapan lelaki bertubuh jangkung di depannya ini."Stuart, apa yang kamu katakan? Tentu saja Angel adalah bayi Liam," cerca Bella.Liam berdiri tegak di depan Stuart, wajahnya merah padam karena marah yang membuncah. Entah apa yang ada di pikiran Stuart hingga berani mengaku sebagai ayah dari bayi perempuan yang baru saja lahir. "Kau harus melakukan tes DNA, Stuart!" teriak Liam dengan suara gemetar, tak mampu menahan amarahnya. Stuart tersenyum, tampak tak terkejut dengan ucapan Liam. Berdiri menantang, hendak berkata lagi namun Liam segera berbalik, tak mau mendengarkan sepatah kata pun dari mulut Stuart."Kau pikir kau bisa saja mengaku sebagai ayah dari Angel? Aku sudah melakukan tes DNA, dan hasilnya menunjukkan bahwa ada kemiripan 99% antara aku dan Angel!" kata Liam sambil